Quo Vadis Radio?
December 29, 2013Tanggal 29 Desember 1891 dikenang umat manusia sepanjang masa sebagai hari di mana seorang ilmuwan serba bisa, Sir Thomas Alva Edison, mematenkan kotak ajaib yang kemudian kita kenal dengan nama radio. 112 tahun kemudian artikel ini ditulis, yang uniknya, tidak pernah dipublikasi melalui radio.
Apa sih yang istimewa dari radio? Buat apa membahas media jadul ini? Pertanyaan-pertanyaan itu juga sering menggelayut pada pikiran saya, dan justru membuat saya berpikir akan sejauh manakah radio bertahan? Pernah suatu ketika dalam sebuah pertemuan perkuliahan saya bertanya kepada mahasiswa ilmu komunikasi, apakah hari ini Anda mendengarkan radio? Sekelas menjawab kompak "Tidaakkkk!" Kemudian saya bertanya lagi, dalam seminggu ini adakah di antara Anda yang mendengarkan radio? Lagi-lagi sekelas menjawab serempak "Tidaakkkk!" Saya berkata dalam batin: berarti radio sudah tidak lagi diminati di kalangan anak muda, atau setidaknya pada tingkatan anak kuliahan wabilkhusus mahasiswa jurusan ilmu komunikasi.
For your information, radio dulu sangat digdaya. Pada tahun 1938, Orson Welles bersama Mercury Theatre menyiarkan sebuah buletin berita palsu mengenai cerita alien yang menginvasi sebuah kota di Amerika bernama Grover’s Mill, New Jersey. Mereka menyisipkan siaran buletin berita ini dalam sebuah acara radio yang bertajuk “The War of the Worlds”. Konon siaran tersebut didengarkan oleh 12 juta orang Amerika, di mana satu juta diantaranya benar-benar serius memercayai. Berita tersebut akhirnya membuat kepanikan di seluruh negeri. Fenomena sosial tersebut, ditambahkan dengan beberapa fenomena lainnya, seperti teknik propaganda yang digunakan oleh Hitler, mendorong dua ahli komunikasi untuk merekamnya ke dalam sebuah teori. Kedua tokoh komunikasi tersebut adalah Paul Lazarsfeld dan Herta Berzog. Sedangkan nama teorinya adalah Hypodermic Needle Theory atau Magic Bullet Theory. Meskipun teori ini akhirnya dianulir, namun dalam kajian sejarah ilmu komunikasi tetap dibahas sebagai referensi.
Kedahsyatan fenomena radio juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 1945, di Surabaya - Jawa Timur, seorang tokoh yang bernama Bung Tomo, melalui corong RRI, dengan lantang menggelorakan semangat puluhan ribu pejuang untuk mengadang serangan tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA. Hasilnya, tentara sekutu tersebut seperti berada dalam neraka, bahkan salah satu jenderal mereka tewas.
Tidak perlu jauh-jauh, saya sendiri mengalami masa kejayaan radio juga. Ketika masih kecil, saya termasuk orang yang paling rajin mendengarkan sandiwara radio. Ada beberapa judul yang menjadi favorit saya, seperti: Tutur Tinular, Saur Sepuh, Babad Tanah Leluhur, dan Puteri Cadar Biru. Hampir setiap hari saya mengalokasikan waktu setengah sampai satu jam untuk mendengarkan siaran sandiwara radio ini.
Beranjak sewaktu kuliah, radio juga masih menjadi idola. Waktu itu biasanya pagi hari kami diisi dengan mendengarkan radio bersama-sama, sambil sarapan tentunya. Selain itu, pada malam Senin ada jadwal siaran radio yang menjadi favorit kami juga. Saya agak lupa judul acaranya, tapi intinya acara ini berisi kisah-kisah misterius yang dialami pendengar dan diceritakan secara langsung melalui telepon.
Lalu bagaimana kabar radio saat ini? Lain dulu lain sekarang, orang awam pun tahu bahwa radio sedang mendekati titik nadhir. Kita, sebagaimana mahasiswa ilmu komunikasi yang saya ceritakan di atas, barangkali termasuk orang yang belum tentu sebulan sekali mendengarkan radio. Radio seringkali hanya menjadi teman di atas mobil saja, ketika macet. Padahal apabila dimanfaatkan, media radio memiliki beberapa kelebihan. Sebut saja kelebihan dalam fleksibilitas media, di mana radio dapat dibawa ke mana-mana tanpa merepotkan. Kemudian, pesawat radio saat ini harganya sangat murah. Belum lagi jangkauannya yang mampu menembus daerah-daerah terpencil.
Fenomena merosotnya pendengar radio seharusnya menjadi genderang perang bagi para pegiat di dalamnya. Momentum peringatan Hari Radio Nasional, pada tiap tanggal 11 September hendaknya digunakan sebagai ajang kontemplasi. Produser, penyiar, serta sponsor bekerja sama bahu membahu untuk mencari formula penyelamatan radio. Sehingga semboyan RRI yang terkenal “Sekali di Udara, Tetap di Udara” selalu membahana.
-----
kredit foto: www.wpclipart.com
2 komentar
RADIO memang sudah tidak dipandang sekarang. Tetapi ya memang begitu itu kodratnya. Radio memang bukan untuk dipandang, tetapi untuk didengarkan.
ReplyDeleteDi Surabaya ini, atau di kota-kota besar lainnya, radio justru tumbuh secara jumlah stasiunnya. Dengan kenyataan yang sedemikian, perebutan segmen pendengar tajam sekali. Tetapi bagi pelaku bisnis radio yang jeli, selau ada celah untuk (tidak hanya bertahan) berkembang.
Salah satu yang membuat umur radio lebih panjang adalah, adanya mobil yang memadati jalanan. Dalam kemacetan atau kelancaran lalu lintas, satu-satunya teman yang paling setia adalah radio. Tak mungkinlah orang membaca koran atau gadget dalam mengemudi karena itu berbahaya. Menonton televisi apalagi. Media ampuh yang sama sekali tak mengganggu adalah radio. Darinya orang bisa sambil apa saja untuk mendapatkan informasi, lagu atau tips-tops kesehatan, misalnya.
Dengan kenyataan yang demikian, tidak perlu pesimis, sepanjang orang masih butuh informasi atau hiburan, sepanjang ada mobil yang diproduksi, radio belum akan mati.
Salam dari Surabaya.
Sebelumnya terima kasih sudah mampir di blog saya. Ketemu sesama orang Jatim nih...hehehe
ReplyDeleteSaya kira stasiun radio di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Medan diuntungkan dengan adanya traffic jam. Ketika keadaan jalan sudah macet parah, dan tidak ada alternatif hiburan di mobil, orang lari ke radio. Sementara kota kecil seperti Purwokerto tidak memiliki itu.
Memang betul sekali pengamatannya, jumlah stasiun radio mengalami peningkatan. Hanya saja, saya kok belum mendengar ada survei holistis mengenai profil pendengarnya. Apakah meningkat seiring peningkatan jumlah radio? Seandainya meningkat, apakah diiringi dengan kualitas mendengar (misal durasi)?
Saya sendiri hanya sekedar survei sepintas saja dengan mahasiswa terkait keminatan mereka terhadap radio. Hasilnya seperti di atas. Mereka juga kurang suka kalau diminta magang ke radio, alasannya gaji penyiar kecil. Entah benar atau tidak mereka hanya digaji belasan ribu rupiah setiap jam siaran (mungkin ini tarif untuk mahasiswa magang kali ya?). Kalau gaji penyiar kecil, saya mengasumsikan pendapatan radio juga kecil.
Terakhir, saya sepakat bahwa kita harus optimis. Saya bukan pakar radio dan bukan spesialis radio, tapi kayanya sedih juga kalau radio akan jadi barang antik di museum. Semoga tidak.