Animasi & Animator
December 08, 2012
Animasi atau seni menciptakan efek
gambar bergerak bagi Indonesia seolah buku resep masakan yang
terbuka. Isinya sudah dibaca berkali-kali, tapi tak kunjung bisa
membuatnya.
Dua kalimat tersebut membuka artikel
“sosok” pada harian Kompas, yang saya baca di hari Kamis, 1
November 2012. Tulisan pada hari itu mengangkat seorang animator dari
Malang, Achmad Rofiq. Banyak prestasi yang telah ditorehkan oleh
laki-laki kelahiran pasuruan 31 tahun lalu ini. Namun, hal yang
menarik bagi saya adalah visi alumni Universitas Negeri Malang ini
mengenai masa depan animasi Indonesia.
Rofiq bermimpi Indonesia akan memiliki animasi yang berkarakter. Sebagaimana kartun televisi Kapten Tsubasa yang mampu menggerakkan kegairahan sepak bola di Jepang. Meski Kapten Tsubasa “hanyalah” karakter animasi. Rofiq mengatakan sebuah animasi yang baik hendaknya bisa menyatu dengan masyarakat, bahkan menggerakkan 'semangat' masyarakat.
Harapan Rofiq ini mungkin menjadi
harapan masyarakat Indonesia pada umumnya. Saya pribadi mengamati
banyak negara yang sudah mulai menemukan karakter pada animasinya.
India misalnya, memiliki animasi Chotta Bheem yang tayang di ANTV.
Animasi ini menggambarkan petualangan Bima dan teman-temannya
menumpas kejahatan. Meskipun pada akhirnya cerita yang ditawarkan
cenderung klise dan terlalu mudah ditebak ujungnya, saya kira animasi
ini lumayan enak ditonton.
Animasi yang lebih spektakuler saya
kira adalah serial Upin dan Ipin. Serial yang tokoh utamanya dua anak
kembar ini berhasil membentuk karakter yang kuat. Suasana pedesaan,
permasalahan-permasalahan dan kelucuan-kelucuan anak kecil jelas
tergambar di sana. Cerita yang ditawarkan pun sangat menarik, dan
relatif tidak terbawa pada alur yang klise serta bersifat adu fisik.
Demikian hebatnya karakter yang diciptakan untuk tokoh animasi ini,
sampai-sampai ada anak Indonesia yang meniru logat Melayu Upin dan
Ipin. Bahkan di antara mereka memanggil kakek dengan ucapan “Atuk”
atau “Datuk”, alih-alih kakek atau mbah (silakan baca penelitian
Ulfah Rosyidah, Unsoed).
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Beberapa waktu yang lalu saya lihat di MNCTV ada tayangan kartun
Indonesia yang berjudul Didi Tikus. Awalnya kartun ini mempunyai 2
tokoh utama, yakni Didi Tikus dan seorang anak SD (lupa namanya).
Konsepnya adalah cerita “The Boy and His Robot”, mirip film
Doraemon, Pokemon, dan sebagainya. Namun, kemudian ceritanya berubah
menjadi mirip dengan kisah Bernard (yang kebetulan sedang terkenal
saat itu). Tokoh Didi menjadi tokoh yang seringkali apes, walaupun
kadang-kadang ada juga nilai-nilai kemanusiaan yang ditanamkan. Saya
melihat karakter yang ditanamkan belum terlalu kuat.
Kalau boleh saya membandingkan,
tampaknya serial Unyil masih juara dalam urusan karakter. Unyil
sukses membuat para pemirsanya tidak beranjak, dan menunggu-nunggu
tayangan tersebut. Kisah yang dijalaninya juga variatif, dengan plot
yang kadang-kadang tidak terduga. Entah karena waktu itu memang belum
ada pesaing atau memang karena serial Unyil bagus, yang jelas menurut
saya pribadi, karakter masing-masing tokoh betul-betul tergambar
jelas di sana.
Rofiq sendiri mempunyai kebanggaan
terhadap salah satu karyanya, yakni IP (Intellectual Property),
berupa karakter animasi Songgo-Rubuh yang diciptakan dan berhasil
dipasarkan. Kartun ini berkisah tentang persahabatan dua prajurit
Keraton Yogyakarta dengan pakaian khas lombok abang (cabai merah),
dan tayang sejak Mei 2012 di jaringan televisi MNC. Sayang sekali,
saya belum pernah menonton kartun tersebut.
Satu hal yang saya kira patut
dipertimbangkan oleh para animator. Sebagaimana yang dijelaskan
Rofiq, menjadi animator itu baik. Tapi akan lebih baik lagi apabila
animator tersebut berhasil menciptakan tokoh berkarakter, apalagi
yang mampu menggerakkan masyarakat.
2 komentar
mungkin karena animasi di indonesia ini kurang dihargai pak. jadi para animator malas untuk 'tampil'. ada beberapa animator yang saya tau sampai terkenal ke negara lain. tapi di negeri sendiri malah gak pernah kedengeran. ya itulah, di indonesia ini seni macam begini kurang dihargai. unyil contohnya. sampe pak raden berjuang demi mendaptkan pengakuan atas karyanya. menurut saya sih, animator lain malas untuk bernasib sama seperti pak raden atau yang sudah-sudah. kalau di negara lain lebih dihargai, ngapain juga mesti jadi sampah di negeri sendiri. hehe :)
ReplyDeleteBener juga sih. Kata si animator yang profilnya dimuat di Kompas ini, dia malah harus lebih banyak baca buku-buku tentang pemasaran daripada sekedar 'hanya' bergelut dengan dunia animasi. Kesannya, animator murni saja tidak cukup. Karena kata kuncinya satu: siapa yang bakal nonton?
ReplyDeleteTapi, bagaimanapun animator dalam negeri menurut saya seyogyanya mampu menciptakan karakter yang berkarakter. Karena secara bakat animator kita kayanya keren-keren. Saya denger ada yang ngisiin animasi film luar negeri juga. Tinggal semangatnya membangun Indonesia aja.
Mungkin kalau Anies Baswedan buat program Indonesia Mengajar, para animator bisa kali ya buat program Animasi Indonesia Berkarakter. Who knows?