Sehat Sosial
February 22, 2016
Data dari majalah Intisari edisi nomor 641 Februari 2016 halaman 22-25 menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara surga herbal. Dibandingkan dengan sejumlah negara di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi obat-obatan alami atau jamu dengan jumlah yang tergolong tinggi. Bahkan kalau dirupiahkan, tingkat konsumsi obat herbal telah mencapai 8 triliun rupiah pada tahun 2010.
Fenomena ini menjadi menarik karena ada beberapa dugaan yang dapat mengarah ke sana. Misalnya saja karena sulitnya akses terhadap dunia medis, atau mungkin karena mahalnya harga obat-obatan farmasi (alih-alih menyebutnya dengan obat-obatan kimia). Bisa jadi juga karena pemberitaan yang berkaitan dengan kebobrokan dunia farmasi yang beberapa kali menghias layar kaca, sehingga masyarakat semakin malas mengakses dunia medis, dan lebih memilih penyembuhan alternatif.
Sebenarnya banyak dugaan yang terbantahkan dengan adanya BPJS. Mengingat kebutuhan akan kesehatan dapat ditanggung secara penuh menggunakan salah satu kartu sakti ini. Hanya saja barangkali masyarakat banyak yang berpikir ulang dengan adanya adagium, “Ingin selamat kok gratis?” Adagium itu seakan-akan menjadi penguat bahwa kalau mau benar-benar sembuh ya harus bayar (obat, konsultasi dokter), kalau bayarnya murah ya sembuhnya lama, kalau gratis ya enggak sembuh-sembuh. Seorang teman yang bekerja di industri farmasi bahkan menggambarkan bedanya obat generik dan obat bermerek. Katanya kedua obat itu menyembuhkan, tapi minum obat generik itu seperti naik angkot, sedangkan minum obat bermerek itu seperti naik taksi. Disimpulkan sendiri ya.
Ada kemungkinan lain kenapa Indonesia menjadi negara dengan konsumsi obat herbal yang tinggi. Pernahkah Anda mengakses google translate? Saya yakin, kalau Anda seorang pelajar atau orang yang banyak bergaul dengan internet pasti pernah mengakses fitur terjemahan dari raksasa internet tersebut. Namun, pernahkah Anda memasukkan kata: “masuk angin” ke dalam kotak terjemahan google translate? Apa terjemahannya? Saya baru saja mencoba mengakses google translate, dan terjemahan masuk angin adalah seperti gambar di bawah ini.
Apa artinya? Masuk angin itu diterjemahkan sebagai flu. Apakah betul? Kalau saya kok memaknai masuk angin beda dengan flu ya. Kalau flu, saya harus minum obat flu. Kalau masuk angin ya minum obat masuk angin, mungkin juga kerokan. Tidak cukup hanya dipunggung, kerokan juga bisa dilakukan hingga lengan. Tempo hari ketika pijat, saya dikerok di lengan sampai ampun-ampunan sakitnya. Katanya angin itu masuk melalui lengan, dan terperangkap ke tubuh. Harusnya pori-pori tubuh dibuka biar anginnya keluar. Kalau enggak, harus kentut biar anginnya keluar. Alhamdulillah, habis dikerok sembuh masuk anginnya. Saya juga tidak mengonsumsi obat masuk angin, apalagi obat flu. Nah, gimana itu?
Jadi teringat beberapa tahun lalu ketika ikut menonton pengukuhan dua guru besar ilmu komunikasi, Dedy Mulyana dan Engkus Kuswarno. Dedy Mulyana, dalam pidato pengukuhannya mengenai komunikasi kesehatan menengarai bahwa ada konteks budaya dalam rasa sakit. Seorang pesepakbola secara budaya akan memaknai patah kaki lebih menyakitkan dibanding dosen. Pesepakbola yang karirnya ditumpukan pada kakinya tentu akan merasa lebih tersiksa, sementara dosen masih bisa mengajar sambil duduk, bahkan mungkin mengajar secara daring dari rumah sakit tempatnya dirawat.
Demikian pula perawatan terhadap sakit juga berkaitan dengan konteks budaya. Perancis adalah negara yang sangat menghargai estetika, sehingga pengobatan kanker akan lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan metode kemoterapi yang tidak merusak estetika tubuh. Dokter Amerika Serikat akan cenderung menyarankan pembedahan untuk mengobati kanker tersebut. Bagaimana dengan Indonesia? Orang-orang akan lebih suka meminum beberapa tanaman herbal seperti daun Sirsat yang diyakini dapat menghilangkan kanker, serta menghindari beberapa makanan yang dianggap memicu pertumbuhan kanker, seperti daging ayam, serta telur. Kebetulan saya melihat sendiri orang yang sembuh dari kanker skala kecil (baca: kista) karena metode alternatif ini. Bagaimana pula ini?
Saya berusaha mencari referensi mengenai bagaimana sebenarnya kesehatan ditinjau dari perspektif sosial. Ketemulah dengan definisi mengenai social health seperti berikut : “The state of one’s social health can be defined as the degree of appropriateness of one’s behavior with the individual members of one’s family, with one’s family as an entity and the hierarchy of homo sapiens systems which provide the institutions, person, and other species with which one must integrate”
Lebih lanjut, kesehatan sosial digambarkan dengan perilaku individu/seseorang terhadap anggota individu lain ataupun antara satu keluarga dengan keluarga lainnya sebagai satu kesatuan sistem yang saling berintegrasi. Perilaku sosial yang merusak dari individu dapat ditunjukkan dari perilaku mengendarai kendaraan yang terlalu cepat, mengonsumsi makanan yang berlebihan, mengonsumsi minuman keras, merokok dan konsumsi obat-obatan terlarang. Ketika resiko mulai dirasakan dan perilaku yang rusak tersebut tetap dilakukan, maka akan muncul fenomena sakit secara fisik dan sosial. Masyarakat yang mengalami perubahan cepat dan dipengaruhi oleh budaya lain, lebih sulit memertimbangkan kesehatan.
Konon katanya, penyakit kesehatan sosial yang sering muncul adalah proses penuaan. Memasuki proses penuaan, maka orang menjadi tidak bisa lagi mengerjakan aktivitas rutin yang sering dilakukan sebelumnya, sehingga peran keluarga harus tetap mendorong untuk memiliki rasa tetap berguna secara sosial dan merasa sehat secara fisik. Tetapi ketika orang lanjut usia hidup dalam keterasingan/isolasi, maka mereka tidak lagi bisa menjadi kesatuan atau tidak bisa berguna dalam sistem keluarga. Sehingga penuaan biasanya dihubungkan dengan penurunan daya tangkap, penurunan keseimbangan tubuh, dan penurunan kontrol subsistem. Dengan kata lain, kegagalan secara somatik dan fisik bisa terjadi jika mereka tidak mampu menggabungkan kondisinya dengan cara berpenampilan seperti anak muda yang sering disebut “mislabeling”. Jika mereka masih belum bisa menerima bahwa kematian sebagai hal normal maka akan menyebabkan “intolerable ending”. Mungkin seperti inilah salah satu faktor yang menyebabkan orang-orang tua kita cenderung sakit-sakitan, disamping kondisi metabolisme tubuh yang memang sudah jauh menurun.
Kesehatan sosial ini ada yang memandang dari relasi antara orang sakit dengan praktisi kesehatan. Dedy Mulyana menduga bahwa dari tiga model komunikasi yang dikenal dewasa ini, yakni Model Linier, Model Interaktif, dan Model Transaksional, yang dalam komunikasi kesehatan (dokter-pasien) paralel dengan Paternalistic Model, Informed Model, dan Shared Model, Model Linier merupakan yang paling dominan. Hal ini sesuai dengan karakter masyarakat yang paternalistik yang gemar mendengarkan dan meminta petuah orang yang punya status lebih tinggi, dokter di antaranya. Ini menjadikan perspektif sehat seseorang seringkali dipengaruhi oleh sudut pandang dokter bukan pasien. Ada dugaan bahwa sebagian malapraktek di Indonesia disebabkan oleh miskomunikasi antara dokter dengan pasien, meskipun belum ada penelitian yang ekstensif mengenai hal ini.
Permasalahan medis yang dihadapi profesional medis, khususnya dokter dan perawat, akan lebih rumit jika kita mempertimbangkan perbedaan budaya di antara profesional medis dan pasien. Dewasa ini tidak dapat disangkal bahwa definisi kesehatan (health), keadaan sakit (illness), penyakit (disease), dan perawatan kesehatan (healthcare) sebenarnya terikat oleh budaya. Saya belum bisa memprediksi ketika dokter-dokter ASEAN datang di Indonesia (dalam rangka MEA) dengan membawa serta budayanya masing-masing. Apakah kira-kira mereka bisa mengobati masuk angin?
Terakhir, saya mau memetikkan kata-kata tukang pijat langganan yang tuna netra itu. Dia bilang punya langganan memijat dokter yang gemuk sekali. Seringkali ketika dipijat dokter tersebut tertidur. SI tukang pijat tanya, “Kok Pak Dokter masuk angin malah pijat ke Saya, enggak minum obat?” Kata dokter, “Obat itu kan buat pasien Saya, kalau Saya sendiri pilih pijat saja.” Ah, barangkali tukang pijat saya sedang mimpi.
Foto:
www.healthypanacea.com
Screen capture from translate.google.com
Referensi:
Mulyana, D. (2008). Membangun Komunikasi Kesehatan di Indonesia, Perspektif Komunikasi Antarbudaya. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Komunikasi. Bandung: Tidak Diterbitkan
Priyoto. (2014). Teori Sikap & Perilaku dalam Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Majalah Intisari Edisi 641, Bulan Februari, 2016.
0 komentar