Mengenal Psikologi Sosial (Bagian 2)
February 27, 2016Setiap kajian ilmiah selalu memiliki definisi yang seringkali merupakan proses penyederhanaan yang rumit. Pada tulisan kali ini terdapat beberapa definisi; antara lain dari Baron et al. (2006), yang menyatakan bahwa psikologi sosial merupakan “…the scientific field that seeks to understand the nature and causes of individual behavior and thought in social situations.” Selain itu ada definisi dari Taylor, Peplau, dan Sears (2006) yang menyatakan bahwa psikologi sosial “…as the scientific study of how people think about, influence, and relate to others.” Sementara itu Sarwono (2002) mendefinisikan bahwa psikologi memelajari manusia, khususnya dalam kaitannya dengan lingkungan sosialnya. Adapun Ahmadi (2009) mendefinisikannya sebagai ilmu yang memelajari dan menyelidiki tingkah laku individu dalam hubungannya dengan situasi perangsang sosial. Masih banyak definisi psikologi sosial yang lainnya yang tidak disebutkan di kesempatan ini. Secara umum definisi psikologi sosial dari masing-masing pakar tidak jauh berbeda, meskipun kadangkala ada yang berorientasi pada kekhususan konsentrasi kajiannya.
Definisi-definisi psikologi sosial secara tidak langsung menjelaskan mengenai ruang lingkup kajiannya. Kebanyakan ahli psikologi sosial memfokuskan diri utamanya pada hal-hal berikut: memahami bagaimana dan mengapa individu berperilaku, berpikir, dan merasakan sebagaimana yang mereka alami dalam sebuah situasi sosial tertentu—situasi yang melibatkan kehadiran orang lain baik secara nyata maupun tidak nyata. Dengan mengetahui prinsip-prinsip psikologi sosial akan membantu kita untuk memahami berbagai isu penting, termasuk pemahaman terhadap gaya hidup yang lebih sehat, pengaruh media terhadap sikap publik, hingga testimoni saksi mata mengenai perilaku kriminal.
Pada kebanyakan buku-buku psikologi sosial, akan tampak kecenderungan peminatan para ahli. Ada sebagian yang berminat pada kajian persepsi dan sikap: Bagaimana manusia melihat diri mereka sendiri dan bagaimana mereka melihat satu sama lain? Bagaimana mereka menginterpretasikan perilaku orang lain? Dan bagaimana sikap mereka terbentuk dan berubah? Sementara itu, sebagian pakar psikologi sosial lain meminati kajian interaksi antarmanusia, termasuk persahabatan dan perhatian, prasangka dan agresi, hingga konformitas dan kekuasaan. Ada juga yang memilih untuk meneliti bagaimana peranan manusia dalam kelompok serta bagaimana kelompok mempengaruhi anggota-anggotanya. Berikut ini akan sedikit dipaparkan beberapa karakter psikologi sosial (Baron et al., 2006).
Tentang nilai-nilai ilmiah yang hendaknya dimiliki sebuah ilmu murni, berikut ini empat nilai paling penting yang harus dimiliki oleh sebuah ilmu. Pertama, akurasi yakni komitmen untuk mendapatkan dan mengevaluasi informasi tentang dunia (termasuk perilaku dan pemikiran sosial) secara hati-hati, akurat dan sebisa mungkin terbebas dari bias. Akurasi ini penting agar kajian ilmiah tepat sasaran, bukannya justru menyasar hal lainnya. Kedua, objektivitas yakni komitmen untuk mendapatkan dan mengevaluasi sebuah informasi dalam sebuah proses yang sebisa mungkin bebas bias. Objektivitas inilah yang nantinya akan membangun keberlanjutan sebuah prosedur ilmiah, yakni apabila seseorang menempuh sebuah jalan yang sma dengan yang ditempuh pendahulunya dengan objektif, dia akan cenderung mendapatkan hasil yang serupa. Ketiga, skeptis yakni komitmen untuk tidak hanya menerima temuan yang tampak akurat, namun juga memverifikasinya berulangkali. Terakhir, terbuka yakni komitmen untuk melakukan perubahan pandangan meskipun pandangan tersebut sudah kokoh, apabila fakta-fakta terbaru tidak mendukung pandangan tersebut.
Meskipun jelas sekali bahwa psikologi sosial merupakan sebuah ilmu murni, namun kebanyakan orang masih meragukan kegunaannya. Kita semua telah menghabiskan umur kita dengan berinteraksi antarmanusia dan berpikir mengenai interaksi tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa kita ini merupakan seorang amatir dalam ilmu psikologi sosial. Apakah tidak cukup hanya menggunakan pengalaman dan intuisi kita saja sebagai basis pemahaman sisi-sisi sosial dalam kehidupan?
Jawabannya adalah tidak bisa, karena pengalaman serta intuisi tersebut seringkali hanya memberikan panduan yang tidak konsisten dan tidak reliabel. Misalnya saja ada kontradiksi dalam pepatah “Absence makes the heart grow fonder” dengan pepatah “Out of sight, out of mind.” Demikian juga kontradiksi antara pepatah “Two heads are better than one” dengan pepatah “Too many cooks spoil the brooth.”
Para pakar psikologi sosial tentu saja menyadari bahwa manusia tidak hidup di ruang hampa, melainkan hidup dalam pengaruh-pengaruh sosial dan budaya. Kebanyakan perilaku sosial terjadi dalam setting kelompok, dan hal ini dapat menghasilkan efek kuat terhadap anggota kelompok tersebut. Dari itu, kajian utama psikologi sosial berpijak pada pemahaman terhadap faktor-faktor yang membentuk perilaku serta pemikiran individu dalam setting sosial.
Pertama, perilaku dan karakteristik orang lain. Mungkin pernah ada yang mengalami ketika sedang berada dalam sebuah bioskop dan sedang menonton film yang sangat menegangkan. Tiba-tiba saja telepon genggam orang di sebelah berbunyi dengan suara yang sangat keras. Orang tersebut menerima panggilan, serta terlibat diskusi dengan penelpon, lagi-lagi dengan suara yang keras. Atau ada juga ada juga yang pernah makan di sebuah restoran padang, di mana pelayannya sangat ramah, selalu tersenyum dan menyapa. Belum lagi aksinya dalam membawa beberapa piring secara bersamaan dan seperti berakrobat. Mungkin pernah pula berada pada situasi yang memaksa kita memacu kendaraan melewati batas kecepatan. Tiba-tiba saja kita melihat ada seseorang yang ditilang karena kesalahan yang sama.
Ketiga situasi yang diceritakan di atas adalah keadaan yang melibatkan orang lain. Apakah ada pengaruhnya dalam perilaku dan pemikiran kita? Tentu saja iya. Kita tentu akan sangat merasa terganggu dengan orang yang menerima telpon dan mengatur volume ponselnya pada level maksimal. Sedangkan rumah makan Padang yang kita singgahi mungkin saja segera menjadi destinasi yang selalu ada dalam agenda kuliner kita karena ‘pertunjukan’ serta keramahan yang dipamerkan oleh para pelayannya. Sementara itu, setelah melihat pengemudi lain dihentikan oleh polisi, kita tentu menyadari akan mendapatkan kemalangan yang sama apabila tidak segera mengurangi kecepatan dan mengikuti peraturan batas kecepatan maksimal di jalan yang dilalui tersebut.
Sebagai tambahan, selain perilaku orang lain ada karakteristik yang juga seringkali memberikan pengaruh dalam perilaku kita. Pernahkah kita merasa tidak nyaman ketika dekat dengan seorang difabel? Atau mungkin kita bertingkah berbeda ketika berbincang dengan orang yang menarik dan orang yang tidak menarik? Apakah ketika berdiskusi dengan orang yang lebih senior berbeda dengan yang lebih muda? Kemungkinan jawaban pertanyaan-pertanyaan ini adalah iya, mengingat kita seringkali bereaksi terhadap karakteristik seseorang yang tampak. Jadi kalau ada pepatah “Don’t judge the book by it cover”, tampaknya seringkali kita abaikan dan melihat orang serta membentuk kesan dari penampilan luarnya terlebih dahulu.
Kedua, proses-proses kognitif. Ada sebuah ilustrasi menarik mengenai proses-proses kognitif ini. Pada suatu ketika kita memiliki janji dengan seseorang untuk makan malam di sebuah tempat yang romantis. Janji bertemu jam tujuh malam. Ditunggu lima menit, sepuluh menit, belum juga datang. Hampir dua jam berlalu, ketika tiba-tiba orang yang kita tunggu datang dengan tergesa-gesa sambil berkata, “Wah, maaf sekali lupa kalau ada janji malam ini. Baru ingat setengah jam tadi.” Kira-kira apa yang terpikirkan oleh kita, ketika orang yang kita tunggu berkata seperti itu? Bagaimana dengan alasan berikut ini, “Wah maaf, terlambat lama. Kebetulan di jalan tadi ada kecelakaan beruntun sehingga macet total, enggak bisa gerak.” Mungkin kita akan lebih memaafkan orang yang terlambat karena alasan kedua daripada alasan pertama. Namun apabila dia seringkali terlambat ketika ada janji, mungkin reaksi kita terhadap alasan dua juga akan berbeda. Tentu saja kita tidak akan lekas percaya, bahkan cenderung menganggapnya berbohong.
Reaksi manusia terhadap sebuah peristiwa atau situasi tertentu banyak tergantung dengan memori terhadap peristiwa serupa yang terjadi pada masa lalu. Demikian juga reaksi manusia terhadap manusia lain yang berinteraksi terhadapnya juga tergantung pada memori perilakunya di masa silam. Hal ini menjadi sebuah fakta yang menyatakan bahwa proses kognitif memainkan peranan penting dalam perilaku sosial dan pemikiran sosial. Kita selalu berusaha memahami dunia sosial di sekitar kita, dan upaya ini membawa kita terlibat banyak dalam kognisi sosial—seperti memikirkan dengan lama dan mendalam mengenai orang lain: seperti apakah mereka, apa yang mereka lakukan, dan mengapa mereka melakukan tindakan tersebut, bagaimana kemungkinan reaksi mereka terhadap perilaku kita, dan sebagainya.
Ketiga, variabel lingkungan atau dampak dari lingkungan fisik. Misalnya saja, apakah kita lebih mudah marah dan lebih agresif ketika cuaca sedang panas dan lembab dibandingkan dalam keadaan sejuk serta nyaman? Mungkin kita juga sering memberikan stereotype kepada orang-orang yang berasal dari kota-kota yang panas sebagai orang yang agresif, sementara mereka yang datang dari kota yang realitf dingin disebut lebih penyabar. Pada dasarnya beberapa penelitian psikologi sosial mengindikasikan bahwa lingkungan fisik memiliki pengaruh perasaan kita, pemikiran, serta perilaku kita. Jadi variabel ekologis dapat dikatakan menjadi bagian dalam ranah psikologi modern saat ini.
Keempat, konteks kultural. Nilai dan kepercayaan kultural menjadi bagian penting dari sebuah perilaku. Pada beberapa dekade yang lalu, perceraian dipandang sebagai sebuah tindakan yang sangat berani—hal yang hanya dilakukan ketika seseorang berada pada keadaan yang ekstrim (misalnya saja adanya kekerasan yang berlebihan dalam interaksi dengan pasangan). Lebih jauh, perceraian sering dilihat dari sudut pandang yang negatif. Nilai-nilai budaya ketika itu cenderung mendorong seseorang untuk lebih memilih berdiam diri daripada menghancurkan rumah tangganya sendiri dengan perceraian.
Beberapa puluh tahun kemudian, meskipun perceraian masih dipandang sebagai sesuatu yang menyedihkan dan tidak menyenangkan, nilai budaya mengenai perceraian telah berubah secara drastis. Faktanya, saat ini orang yang mampu memertahankan pernikahannya seumur hidup hanya sedikit saja.
Contoh di atas menunjukkan bahwa perilaku sosial tidak berada di ruang hampa. Sebaliknya, perilaku sosial seringkali dipengaruhi oleh norma-norma budaya, keikutsertaan seseorang dalam sebuah kelompok, hingga nilai-nilai kemasyarakatan yang berubah. Budaya sendiri dimaknai sebagai sistem pertukaran makna, persepsi dan kepercayaan antarindividu yang berada dalam kelompok tertentu.
Kelima, faktor biologis. Di masa lalu, kebanyakan pakar psikologi sosial akan mengatakan “tidak” ketika ditanya mengenai pengaruh genetis terhadap perilaku. Saat ini banyak yang mulai memercayai bahwa kecenderungan, perilaku, emosi, bahkan sikap kita cenderung dipengaruhi salah satunya oleh warisan biologis. Psikologi evolusioner menyatakan bahwa spesies kita, sebagaimana spesies lain di planet ini, menjadi subjek proses evolusi biologis. Sebagai hasilnya, saat ini kita telah melewati mekanisme evolusi psikologis yang banyak yang menolong kita mengatasi masalah dalam kerangka bertahan hidup.
0 komentar