Mengenal Psikologi Sosial (Bagian 4)

February 27, 2016

Berbicara mengenai sejarah psikologi sosial, banyak yang memiliki perspektif berbeda dalam memandangnya. Sejati (2012) misalnya menelusuri sejarah psikologi sosial hingga zaman Plato yang dianggap telah memelajari individu dan situasi-situasi politik di sekelilingnya. Kemudian ada August Comte (1798-1857) yang mengatakan bahwa perilaku individu dapat dipelajari secara ilmiah karena hal itu ada hubungannya dengan masalah-masalah biologis dan pengaruh-pengaruh sosial.

Ahmadi (2009) melihat sejarah psikologi sosial dari perspektif yang berbeda. Disebutkan seorang sosiolog dan kriminolog dari Perancis, Gabriel Tarde (1842-1904), merupakan bapak Psikologi Sosial. Tarde antara lain berpendapat bahwa semua hubungan sosial selalu berkisar pada proses imitasi; bahkan semua pergaulan manusia hanyalah semata-mata berdasarkan proses imitasi tersebut. Masyarakat, dengan demikian, tidak lain merupakan pengelompokan manusia, di mana individu yang satu mengimitasi yang lain dan sebaliknya.


Pada awal abad ke-20 ada dua ahli yang menerbitkan buku mengenai psikologi sosial. E.A. Ross, seorang sosiolog yang pada tahun 1908 menerbitkan buku yang menyebutkan bahwa perilaku manusia terjadi karena adanya imitasi dan sugesti. Ia juga menulis tentang masalah-masalah psikologi klasik seperti konformitas, konflik, teori tentang kerumunan orang, hingga pendapat publik. Pada tahun yang sama seorang pakas psikologi, W. McDougall, juga menerbitkan buku yang menjelaskan bahwa perilaku manusia disebabkan oleh adanya insting sosial (kecenderungan bawaan). Ini merupakan hal yang lazim terjadi pada seseorang. Insting sosial ini berkaitan dengan emosi, misalnya saja ketika seseorang berhadapan dengan bahaya, di mana individu akan punya kecenderungan menghindar.

Taylor et al. (2006) lebih melihat perspektif yang menjadi dasar perkembangan psikologi sosial hingga saat ini. Perspektif dasar tersebut dimulai di awal tahun 1900-an, di mana terdapat tiga perspektif teori utama yang dibangun oleh pakar psikologi. Masing-masing teori merupakan kajian yang masih relevan dibicarakan hingga saat ini. Pertama, Sigmund Freud yang pertama kali mengembangkan Teori Psikoanalisis, yang tertarik dengan studi fungsi dan perilaku psikologis manusia. Freud menawarkan wacana bahwa perilaku dimotivasi dari oleh adanya dorongan dan impuls dari dalam diri manusia, seperti seksualitas dan agresi. Freud juga percaya bahwa perilaku orang dewasa dibentuk oleh konflik psikologis yang tidak terpecahkan yang dapat dilacak hingga kepada pengalaman masa kecilnya dalam keluarga. Para pengikut psikoanalisis berusaha memahami kekuatan dorongan yang berasal dari dalam manusia, baik yang disadari maupun bawah sadar, yang mendorong serta memberi arah sebuah perilaku.

Teori utama kedua dalam psikologi sosial adalah Behaviorisme, yang menawarkan perspektif yang sangat berbeda dalam mengkaji pengalaman manusia. Mazhab yang dikembangkan oleh Ivan Pavlol, B.F. Skinner dan beberapa ahli lain ini memfokuskan diri pada perilaku manusia yang dapat diobservasi. Para pengikut mazhab behaviorisme tidak tertarik terhadap perasaan dan pemikiran yang dianggap subjektif; mereka cenderung memilih apa yang dapat diamati dan dapat diukur secara langsung melalui perilaku. Mazhab ini berusaha menggali cara-cara lingkungan membentuk perilaku binatang, dan meyakini bahwa perilaku saat ini merupakan hasil dari belajar di waktu lampau. Mereka mengidentifikasi pelbagai prinsip untuk menjelaskan proses spesifik dimana pembelajaran penting terjadi. Meskipun kebanyakan penelitian mereka menggunakan objek tikus dan merpati, mazhab behaviorisme percaya prinsip serupa berlaku bagi manusia.

Perspektif utama ketiga adalah Psikologi Gestalt yang dikembangkan oleh Wolfgang Kohler, Kurt Koffka, Kurt Lewin, dan pakar psikologi Eropa yang berimigrasi ke Amerika pada tahun 1930-an. Fokus perspektif ini adalah pada bagaimana individu melihat dan memahami objek, kejadian, dan orang lain. Menurut pandangan perspektif ini, manusia melihat sebuah situasi tidak berdasarkan elemen-elemen yang berbeda-beda, namun lebih kepada “fakta keseluruhan.” Cobalah kita mengingat sahabat kita. Apakah kita melihatnya sebagai kumpulan jari, kulit, hidung, mata, rambut, dan sebagainya? Mungkin tidak seperti itu. Orang cenderung akan melihat sahabat sebagai satu kesatuan utuh seseorang sebagaimana yang dikenal dan disukainya. Perspektif yang melihat cara melihat lingkungan sebagai satu kesatuan utuh alih-alih kumpulan dari bagian-bagian yang lebih kecil disebut sebagai “Psikologi Gestalt”, dari kata-kata bahasa Jerman “bentuk.”

Pada perkembangan selanjutnya, psikologi sosial telah merambah berbagai permasalahan dalam kehidupan yang semakin berkembang seiring perkembangan zaman. Meskipun begitu, pemikiran-pemikiran para tokoh psikologi tersebut tetap tidak lekang dimakan zaman. Pendekatan mereka yang mengimitasi ilmu eksakta memang dianggap oleh beberapa pakar terkini tidak mampu menjawab realitas sosial yang ada. Namun, beberapa bagian teori yang digagas oleh para tokoh psikologi sosial tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, melainkan menjadi warisan dalam kerangka membangun semesta teori yang lebih besar lagi.

Foto:
www.maastrichtuniversity.nl

Referensi:
Ahmadi, A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Sejati, S. (2012). Psikologi Sosial. Yogyakarta: Penerbit Teras.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2006). Social Psychology (12 ed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall.

You Might Also Like

0 komentar

Friends

Galeri

Ada warna biru muda di lingkaran ini. Mengingatkan cerahnya langit pascahujan
Biarkanlah balon-balon bebas itu beterbangan, sebebas warna-warna yang menyelimutinya
Budaya batik yang berinovasi Mencerahkan masa depan tradisi
Cinta tidak selamanya berwarna merah muda, bisa juga kuning oranye
Ketika warna ungu menjadi ceria, dia bersama hijau dan kuning istimewa