Aspek Komunikasi Antarpribadi: Perspektif Sarwono

February 05, 2016

Tulisan kali ini didasari pada ketertarikan terhadap pemikiran Sarlito W. Sarwono mengenai komunikasi antarpribadi. Sebagaimana diketahui bersama, beliau akhir-akhir ini banyak diekspos media dalam kasus racun sianida yang meracuni Mirna Salihin lewat es kopi Vietnam. Beliau diundang ke Polda Metro Jaya sebagai saksi ahli.

Guru besar psikologi Universitas Indonesia ini kemudian memberikan keterangan kepada wartawan tentang sudah jelasnya bukti-bukti yang dikumpulkan oleh polisi. Pernyataan tersebut diungkapkan beliau beberapa hari sebelum penetapan tersangka. Ketika tulisan ini dibuat akhirnya Jessica, teman minum kopi Mirna, ditetapkan sebagai tersangka. Belum jelas apakah akan ada tersangka lain yang membantu, aktor intelektual ataukah Jessica sebagai tersangka tunggal?

Tidak perlu ditanyakan lagi sumbangsih Sarwono dalam bidang ilmu psikologi. Salah satu pemikiran beliau ditulis dalam buku teks yang berjudul Psikologi Sosial. Konon ini adalah buku teks psikologi sosial pertama yang berbahasa Indonesia. Salah satu bab yang menarik perhatian adalah mengenai hubungan antarpribadi, di mana salah satunya membahas mengenai komunikasi antarpribadi. Berikut ini saya coba memetikkan beberapa poin tulisan beliau, tentu saja dengan penafsiran di sana-sini (jadi lebih kepada tafsir tulisan daripada rangkuman).




Dari berbagai jenis komunikasi, komunikasi antarindividu yang langsung (bertatap muka) adalah yang paling lengkap mengandung berbagai faktor psikologis dan karena itu patut mendapat perhatian pertama. Komunikasi antarpribadi yang bertatap muka menurut Hartley (1993) mengandung beberapa aspek. Tatap muka itu sendiri membedakannya dari komunikasi jarak jauh atau komunikasi dengan alat.

Baca juga tulisan ‘Teknologi Maaf’, tentang komunikasi antarpribadi.

Komunikasi tatap muka memiliki peran yang harus dijalankan oleh masing-masing pihak (misalnya pemberi informasi - penerima informsi, dosen - mahasiswa, suami - istri, ibu - anak, majikan – asisten rumah tangga, dan sebagainya), dan peran itu merupakan bagian dari proses komunikasi itu sendiri. Peran ini pada akhirnya memerlukan adanya saling percaya, saling terbuka, atau saling suka antara kedua pihak agar terjadi komunikasi.

Komunikasi yang melibatkan dua orang yang pada dasarnya tidak saling menyukai, atau bentuk emosi yang lain dinamakan sebagai komunikasi noninterpersonal, atau komunikasi karena terpaksa. Dalam hubungan seperti ini, kematangan kepribadian bisa lebih membantu komunikasi, karena kepribadian yang matang lebih siap menerima berbagai peran dari pasangan komunikasinya.
Sarwono mencontohkan dalam bukunya bagaimana dua orang yang tinggal bersama dalam satu kamar asrama kadang-kadang tidak terlibat dalam komunikasi interpersonal. Masing-masing lebih nyaman berkomunikasi dengan teman-teman tetangga kamar yang memiliki kedekatan emosional, dan peran yang dapat lebih mereka terima.

Perlu diperhatikan bahwa peran dalam komunikasi tidak harus selalu berkait dengan status seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Seorang wanita bisa saja berkomunikasi dengan mengambil peran pria, atau pria berperan sebagai wanita, tergantung pada situasi, kondisi, dan tujuan komunikasi itu sendiri. Tentang perubahan peran ini, akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan mengenai pemikiran Erving Goffman mengenai Teori Dramaturgi.

Aspek lain dalam komunikasi antarpribadi menurut Hartley adalah adanya hubungan dua arah. Kedua belah pihak yang berkomunikasi dapat saling menukar pesan. Dengan pertukaran pesan itu, terjadi saling pengertian akan makna atau arti dari pesan itu. Jadi dalam komunikasi yang penting bukanlah pesannya semata,melainkan arti/makna (meaning) dari pesan itu. Komunikasi yang terbatas pada isi pesan hanya terdapat pada komunikasi yang teknis. Dalam komunikasi non-teknis kriteria dimengertinya pesan adalah adanya kepuasan dan saling pengertian dalam interaksi yang bersangkutan. Pada kenyataannya menurut Sarwono, komunikasi lebih banyak didominasi dengan komunikasi non-teknis.

Setelah makna, aspek berikut dari komunikasi tatap muka adalah niat, kehendak atau intensi dari kedua pihak. Adanya intensi untuk saling berkomunikasi akan mempercepat proses guna mencapai saling pengertian secara kognitif dalam komunikasi antarpribadi. Proses itu sendiri berjalan dalam kaitannya dengan waktu. Waktu merupakan aspek yang juga melekat dalam komunikasi karena pencapaian saling pengertian kognitif, misalnya, membutuhkan waktu. Seringnya pengulangan sehingga makin dicapai saling pengertian yang makin tinggi berarti juga waktu yang lebih lama. Sementara itu, komunikasi selalu terjadi dalam konteks waktu. Mengajak orang makan rujak di pagi hari tentu saja kesannya akan berbeda dengan mengajak makan nasi goreng di waktu yang sama.

Pemahaman terhadap aspek-aspek komunikasi antarpribadi dapat mengantarkan manusia dalam kehandalan komunikasi. Kesalalahan-kesalahan elementer dalam berkomunikasi dapat diminimalisir. Kecanggungan-kecanggungan komunikasi antarpribadi juga dapat dihilangkan, sehingga komunikasi tidak hanya didominasi oleh alat atau media.

Sumber : Sarwono, S.W. (2002). Psikologi Sosial, Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka

You Might Also Like

0 komentar

Friends

Galeri

Ada warna biru muda di lingkaran ini. Mengingatkan cerahnya langit pascahujan
Biarkanlah balon-balon bebas itu beterbangan, sebebas warna-warna yang menyelimutinya
Budaya batik yang berinovasi Mencerahkan masa depan tradisi
Cinta tidak selamanya berwarna merah muda, bisa juga kuning oranye
Ketika warna ungu menjadi ceria, dia bersama hijau dan kuning istimewa