Saatnya Intrapreneurship?
September 10, 2013
foto : bluenove.com |
Semenjak kecil kita sering ditanya mengenai cita-cita.
Kebanyakan kita akan menyebut profesi tertentu seperti tentara, dokter, atau
insinyur. Kanak-kanak jaman sekarang mungkin lebih variatif cita-citanya. Ada
yang ingin jadi bintang sinetron (biar bisa seperti Raden Kian Santang), ada
juga yang ingin jadi pembaca berita di televisi, bahkan ada pula yang
bercita-cita menjadi astronot (mudah-mudahan nggak ada yang cita-citanya
menjadi pengantin ya...hehehe).
Dari sekian banyak jawaban cita-cita, sangat jarang yang
menyebut kata wirausaha / entrepreneur. Padahal, cita-cita wirausaha ini mulia
lho. Seorang wirausahawan tidak akan menjadi beban orang lain, baik kepada
orang lain atau kepada negara. Yang jelas seorang wirausahawan akan sangat pede
berkata : "Ini lho uang saya, yang didapat dari kerja keras dan peras
keringat, serta hampir tidak tergantung kepada orang lain". Nah kalau
bukan wirausaha pasti perkataannya lain. Misalnya, “Wah kok gaji nggak
naik-naik ya? Si Bos pelit ah…” Kesannya bergantung banget dengan orang lain.
Angka wirausahawan di negeri ini termasuk kecil (termasuk
saya tentunya yang belum masuk sebagai wirausahawan). Kata data dari
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah jumlahnya hanya 1,6 persen dari
240 juta penduduk. Sementara sebagai perbandingan, Singapura memiliki angka
pengusaha 7 persen, sedangkan Jepang 10 persen. Dalam beberapa tahun ke depan
pemerintah menargetkan jumlah pengusaha menjadi 2 persen (data Tribunnews.com
& Kompas.com). Kira-kira cita-cita luhur pemerintah dapat tercapai nggak
ya? Termasuk, orang seperti saya ini biasa jadi penggusaha nggak ya beberapa
tahun ke depan? Soalnya kelangkaan wirausahawan ini sudah kronis. Proses pembentukan
karakter sebagai pekerja (bukan pengusaha) sudah terjadi sejak zaman penjajahan.
Hal ini diperkuat juga dalam dunia pendidikan. Saya masih ingat dulu waktu
kecil membaca cerita tentang Budi dalam buku Bahasa Indonesia. Kata buku :
"Budi pergi ke pasar membeli baju", bukan “Budi ke pasar hendak
menjual ikan”, nah kesannya anak-anak diajari konsumtif khan?
Kenyataan kecilnya minat menjadi pengusaha mendorong saya
untuk tidak akan banyak berbicara tentang entrepreneurship dulu (yang saya
sendiri belum melaksanakannya). Sebaliknya saya akan mengajak diri saya
sendiri, juga sidang pembaca yang masih menjadi pekerja untuk menggali sebuah
ide mengenai intrapreneurship.
Apa sih intrapreneurship? Kalau lagi buka-buka kamus Bahasa
Inggris coba dicek sendiri ya…hehe.
Katanya dalam Bahasa Inggris dikenal istilah entrepreneur dan
intrapreneur. Apabila entrepreneur, seperti sedikit saya paparkan di atas, adalah
pengusaha yang aktivitasnya adalah berusaha untuk melakukan terobosan agar
selalu memperoleh peluang usaha, sehingga usaha bisnis atau industrinya dapat
berkembang dan berkelanjutan, maka intrapreneur adalah orang yang bekerja pada
orang lain atau sebuah lembaga dalam suatu kesatuan sistemik. Walaupun ia bukan
seperti pemilik perusahaan, tapi perilaku dan cara berpikirnya mirip seperti
wirausaha. Sense of belonging (rasa
ikut memiliki) terhadap tempat dia bergiat diri sangat kuat. Inilah yang
disebut sebagai wiraupaya.
Seorang pegawai yang baik
seharusnya tidak sekaligus menjadi wirausaha yang baik kan? Takut juga kan kalo
punya karyawan yang pandai wirausaha? Giliran dia suruh kirim ekspedisi barang
ke rekanan, eh malah dijual. Karyawan seperti ini harus cepat-cepat
diwirausahakan aja alias dijual...hehehe. Wiraupaya atau intrapreneurship ini merupakan semangat
menjadi seorang pegawai yang memahami bidang kerjanya, serta dapat kreatif
namun tetap dalam koridor tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) sebagai pegawai.
Pegawai menjalankan tupoksi tidak
terlalu kurang, dan tidak boleh terlalu berlebih juga.
Kenapa wiraupaya ini menjadi penting? Karena tampaknya budaya
wirausaha di negeri ini sudah salah kaprah. Bukannya menjadi wirausaha betulan, namun malah menjadi
wirausaha jadi-jadian. Pegawai negeri misalnya yang seharusnya menjadi intrapreneur yang baik, malah pandai wirausaha. Dengan kreativitasnya, pegawai itu mewirausahakan aset negara
yang bukan miliknya, akhirnya terjadilah korupsi.
Bekal wiraupaya ini penting
juga bagi pegawai negeri, terutama ketika mengelola keuangan. Jangan sampai
seorang pegawai negeri terlalu kreatif mengelola keuangan. Sehingga, karena
kreativitas dan ketidaktahuannya tentang prosedur keuangan membuat pegawai
negeri yang bersangkutan terkena jeratan pidana korupsi. Padahal yang bersangkutan
tidak ada niatan untuk memperkaya diri. Sebaiknya pegawai negeri dengan pangkat
serendah apapun memahami pengelolaan keuangan.
Tidak hanya pegawai negeri,
pegawai swasta pun perlu dibekali sense
of intrapreneurship. Setidaknya agar mereka tidak terlalu sering menjadi
kutu loncat. Berusaha membangun karir sebaik-baiknya, serta dapat mencapai
posisi puncak atau top management. Siap
menjadi entrepreneur atau intrapreneur yang baik?
3 komentar
Intrapreneurship.. jawaban tepat buat Para pegawai yang galau .
ReplyDeleteTp seandainya udah jadi PNS dan karyawan tetep bisa jadi enterpreneur asal jadi investornya saja Pak, soalnya bisa tetap fokus ke pekerjaan dan nggak nyuri-nyuri waktu buat urus usaha.
Ngomong-ngomong apa Pak Ganjar juga tertarik untuk coba buka lapak sendiri ? hehe
Emmm, tertarik juga sih jadi entrepreneur alias buka lapak. Tapi sepertinya perlu bakat dan energi tambahan biar lebih sukses jadi juragan.
ReplyDeleteArtikel yang menarik pak :D
ReplyDeleteIzin bertanya pak, apakah intrapreneurship ini hanya dibutuhkan untuk karyawan yang sudah mencapai posisi tinggi saja?
Atau sebagai karyawan baru yang ada di perusahaan kita perlu juga memiliki nilai-nilai intrapreneurship?
Terima Kasih Pak