Iklan Rokok di TV (Lagi…)
September 06, 2013
Seorang sahabat yang sedang belajar di luar negeri membuat status Facebook yang menarik. Statusnya seperti ini: “Sejak saya nonton siaran TV di negeri ini, TIDAK PERNAH SEKALIPUN ada iklan rokok di TV, pagi, siang, sore, maupun malam sampai dini hari. padahal banyak orang negeri ini, cowok maupun cewek, tua maupun muda yang suka merokok (statusnya sedikit saya edit).” Sebagai orang yang mengaku-ngaku tertarik dengan dunia kretek ini, saya mau nggak mau harus menanggapinya. Apalagi yang membuat status adalah seorang sahabat…hehe.
Kalau dibandingkan dengan Indonesia, siaran iklan televisi di luar negeri (terutama Eropa) sudah beberapa langkah lebih maju. Jangankan dibanding Eropa, dibanding dengan beberapa negara Asia pun Indonesia relatif tertinggal. Jepang misalnya, ternyata telah “memahami” mengenai segmentasi tayangan televisi. Setidaknya kesaksian seorang komentator status teman di atas membuktikannya : “Pengalaman di Jepun Pak, orang LN masiyo rusak, itu segmented. Artinya, mau jalan "buruk" monggo. Mau sex bebas monggo. Terus televisi, mau yg free monggo, ada channel-nya (freesex, dsb.). Mau minum ada t4 sendiri. Jadi semua ada t4 nya. (Ini di Jepun lho). Untuk TV umum, senantiasa terjaga. Kalau di tanah air.....campur aduk ora karuwan. Acara pengajian, iklane wong wudo. Iklane rokok. Sinetron misuh2 jam 7 malam. Wis....wis”
Menilik komentar Facebook itu, pada kenyataannya siaran iklan yang kita tonton “hampir” tanpa segmen. Sebuah acara televisi dengan segmentasi anak-anak seringkali diiringi iklan segmentasi penonton dewasa. Iklan rokok tidak jauh beda, selalu menghiasi setiap slot iklan mulai dari jam 21.30 hingga jam 05.00 pagi, tidak peduli acaranya. Untung penayangan iklan masih dibatasi waktu, seandainya tidak, saya yakin iklan rokok akan "berkeliaran" di setiap acara.
Pembatasan waktu terhadap iklan rokok ternyata “ditanggapi secara kreatif” oleh para pengiklan. Ketika ada tayangan potensial namun tayang di luar jam iklan rokok, biasanya akan dibuat format sponsorship berbeda. Format sponsorship seperti ini lolos karena dianggap tidak berasosiasi dengan ajakan merokok. Biasanya hanya muncul tagline iklan saja seperti "Pria Pemberani", "Petualangan Pria", dan sejenisnya. Padahal, menurut saya pribadi, tayangan iklan seperti itu tetap saja berasosiasi dengan produk rokok.
Khusus tentang iklan rokok, Indonesia sepertinya belum meratifikasi undang-undang pertembakauan yang sudah banyak dilakukan negara-negara maju. Undang-undang ini dinamakan sebagai Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC ini telah diratifikasi oleh 175 negara anggota WHO pada 2003. Namun, hingga saat ini Indonesia dengan 10 negara lain belum melakukan ratifikasi tersebut. Bahkan menurut data terakhir, Indonesia menjadi satu-satunya negara di regional Asia yang belum menandatangani dan mengaksesi FCTC ini.
Tampaknya, pemerintah masih gamang melangkah. Pokok-pokok FCTC yang isinya antara lain adalah mengurangi konsumsi melalui mekanisme pengendalian harga dan pajak, iklan, promosi dan sponsor, serta pemberian label peringatan kesehatan pada kemasan rokok mungkin dianggap mengancam perekonomian rakyat, terutama para petani tembakau serta industri rokok. Padahal, apabila FCTC tidak segera diratifikasi, Indonesia berpotensi mengalami kerugian karena akan menjadi negara target market atau tujuan pemasaran utama pemasaran industri rokok multinasional. Jangka panjangnya, petani tembakau dan industri rokok lokal kemungkinan juga akan mengalami kerugian, karena kalah bersaing dengan industri rokok luar negeri.
Kegamangan pemerintah mengenai industri rokok ternyata merembet-rembet pada industri periklanan juga (terutama iklan rokok). Nampak pada salah satu pasal yang dibuat oleh P3I dalam EPI (Etika Pariwara Indonesia), tepatnya Pasal 2.2.2 poin a yang kurang lebih berbunyi “Penyiaran iklan rokok dan produk tembakau wajib tidak merangsang atau menyarankan orang untuk merokok”. Kalau direnung-renungkan pasal ini unik bin aneh. Saya sepakat dengan Budiman Hakim yang mengatakan di bukunya (yang sepertinya hampir semua orang iklan punya, judulnya: “Ngobrolin Iklan…Yukk!”) bahwa iklan itu tugasnya ya mempengaruhi orang agar membeli produk yang diiklankan. Lha kalau iklan nggak boleh merangsang orang untuk membeli produk namanya bukan iklan, ya nggak sih? Demikian juga iklan rokok, pasti menyuruh orang untuk membeli rokok. Aturan ini berkesan seperti orang Jawa bilang: Ndase diculke, dicekeli buntute (dilepas kepalanya dipegang ekornya alias nggak ikhlas ngelepasnya). Industri rokok boleh beriklan (yang menguntungkan banyak industri lainnya), tapi nggak boleh nyuruh orang ngerokok…aneh bukan? Tapi, wong EPI itu kan disusun secara swakramawi, disusun oleh para pakar dan praktisi periklanan sendiri, mereka pasti sudah lebih ngerti mengenai maksud dan filosofi aturan itu. Nah, tugas pentingnya barangkali mensosialisasikan maksud kata-kata seperti di pasal 2.2.2 poin a ini kepada orang awam seperti saya. Gitu aja kok repot!
Tampaknya, pokok permasalahan dari tertundanya ratifikasi rokok akhirnya mengerucut pada ekonomi. Ada saling-silang pendapat mengenai dukungan rokok terhadap perekonomian tanah air. Pihak yang pro iklan rokok mengklaim bahwa rokok mempunyai sumbangsih yang sangat besar melalui cukainya. Rokok juga berperan besar dalam mendukung ekonomi para petani tembakau. Artinya kalau tidak ada iklan rokok, petani tembakau akan kehilangan mata pencaharian. Di sisi lain, pihak yang anti terhadap iklan rokok melihat bahwa potensi ekonomi rokok lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak asing,sehingga tidak ada gunanya produk ini dilindungi eksistensinya oleh pemerintah. Saya sendiri berada di posisi yang bingung menanggapi silang pendapat ini, karena terus terang saja sampai sekarang belum meneliti fenomena sosial ekonomi industri rokok tersebut.
Lain di Indonesia, lain pula di Eropa. Saya amati pemerintah di Benua Biru ini kok lebih memerhatikan isu kesehatan alih-alih persepsi tentang sumbangsih ekonomi rokok ya? Hal itu kiranya yang membuat banyak negara eropa yang telah meratifikasi undang-undang pertembakauan dengan melarang iklan rokok tampil di televisi. Mereka sepertinya bahwa keuntungan dari industri rokok ini tidak sebanding dengan kerugian akibat biaya kesehatan yang ditimbulkannya. Nah, kalo di Indonesia gimana? Lagi-lagi perlu dilakukan penelitian holistik nih!
Namun, secara common sense saya pribadi lebih setuju iklan rokok dilarang saja. Rokok itu sepertinya sudah menjadi budaya di negeri ini. Orang kondangan di kampung disediakan rokok. Pertemuan RT, ruangan dipenuhi asap rokok. Artinya, walaupun iklan rokok dilarang, orang tetap merokok. Hanya saja, mungkin yang mereka rokok bukan lagi rokok branded. Mereka mungkin akan merokok merek-merek lokal, dan ini justru menguntungkan ‘kan? Namun, sekali lagi ini hanya hipotesis common sense saja, perlu pendalaman lebih lanjut untuk pembuktiannya. Setuju?
Kalau dibandingkan dengan Indonesia, siaran iklan televisi di luar negeri (terutama Eropa) sudah beberapa langkah lebih maju. Jangankan dibanding Eropa, dibanding dengan beberapa negara Asia pun Indonesia relatif tertinggal. Jepang misalnya, ternyata telah “memahami” mengenai segmentasi tayangan televisi. Setidaknya kesaksian seorang komentator status teman di atas membuktikannya : “Pengalaman di Jepun Pak, orang LN masiyo rusak, itu segmented. Artinya, mau jalan "buruk" monggo. Mau sex bebas monggo. Terus televisi, mau yg free monggo, ada channel-nya (freesex, dsb.). Mau minum ada t4 sendiri. Jadi semua ada t4 nya. (Ini di Jepun lho). Untuk TV umum, senantiasa terjaga. Kalau di tanah air.....campur aduk ora karuwan. Acara pengajian, iklane wong wudo. Iklane rokok. Sinetron misuh2 jam 7 malam. Wis....wis”
Menilik komentar Facebook itu, pada kenyataannya siaran iklan yang kita tonton “hampir” tanpa segmen. Sebuah acara televisi dengan segmentasi anak-anak seringkali diiringi iklan segmentasi penonton dewasa. Iklan rokok tidak jauh beda, selalu menghiasi setiap slot iklan mulai dari jam 21.30 hingga jam 05.00 pagi, tidak peduli acaranya. Untung penayangan iklan masih dibatasi waktu, seandainya tidak, saya yakin iklan rokok akan "berkeliaran" di setiap acara.
Pembatasan waktu terhadap iklan rokok ternyata “ditanggapi secara kreatif” oleh para pengiklan. Ketika ada tayangan potensial namun tayang di luar jam iklan rokok, biasanya akan dibuat format sponsorship berbeda. Format sponsorship seperti ini lolos karena dianggap tidak berasosiasi dengan ajakan merokok. Biasanya hanya muncul tagline iklan saja seperti "Pria Pemberani", "Petualangan Pria", dan sejenisnya. Padahal, menurut saya pribadi, tayangan iklan seperti itu tetap saja berasosiasi dengan produk rokok.
Khusus tentang iklan rokok, Indonesia sepertinya belum meratifikasi undang-undang pertembakauan yang sudah banyak dilakukan negara-negara maju. Undang-undang ini dinamakan sebagai Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC ini telah diratifikasi oleh 175 negara anggota WHO pada 2003. Namun, hingga saat ini Indonesia dengan 10 negara lain belum melakukan ratifikasi tersebut. Bahkan menurut data terakhir, Indonesia menjadi satu-satunya negara di regional Asia yang belum menandatangani dan mengaksesi FCTC ini.
Tampaknya, pemerintah masih gamang melangkah. Pokok-pokok FCTC yang isinya antara lain adalah mengurangi konsumsi melalui mekanisme pengendalian harga dan pajak, iklan, promosi dan sponsor, serta pemberian label peringatan kesehatan pada kemasan rokok mungkin dianggap mengancam perekonomian rakyat, terutama para petani tembakau serta industri rokok. Padahal, apabila FCTC tidak segera diratifikasi, Indonesia berpotensi mengalami kerugian karena akan menjadi negara target market atau tujuan pemasaran utama pemasaran industri rokok multinasional. Jangka panjangnya, petani tembakau dan industri rokok lokal kemungkinan juga akan mengalami kerugian, karena kalah bersaing dengan industri rokok luar negeri.
Kegamangan pemerintah mengenai industri rokok ternyata merembet-rembet pada industri periklanan juga (terutama iklan rokok). Nampak pada salah satu pasal yang dibuat oleh P3I dalam EPI (Etika Pariwara Indonesia), tepatnya Pasal 2.2.2 poin a yang kurang lebih berbunyi “Penyiaran iklan rokok dan produk tembakau wajib tidak merangsang atau menyarankan orang untuk merokok”. Kalau direnung-renungkan pasal ini unik bin aneh. Saya sepakat dengan Budiman Hakim yang mengatakan di bukunya (yang sepertinya hampir semua orang iklan punya, judulnya: “Ngobrolin Iklan…Yukk!”) bahwa iklan itu tugasnya ya mempengaruhi orang agar membeli produk yang diiklankan. Lha kalau iklan nggak boleh merangsang orang untuk membeli produk namanya bukan iklan, ya nggak sih? Demikian juga iklan rokok, pasti menyuruh orang untuk membeli rokok. Aturan ini berkesan seperti orang Jawa bilang: Ndase diculke, dicekeli buntute (dilepas kepalanya dipegang ekornya alias nggak ikhlas ngelepasnya). Industri rokok boleh beriklan (yang menguntungkan banyak industri lainnya), tapi nggak boleh nyuruh orang ngerokok…aneh bukan? Tapi, wong EPI itu kan disusun secara swakramawi, disusun oleh para pakar dan praktisi periklanan sendiri, mereka pasti sudah lebih ngerti mengenai maksud dan filosofi aturan itu. Nah, tugas pentingnya barangkali mensosialisasikan maksud kata-kata seperti di pasal 2.2.2 poin a ini kepada orang awam seperti saya. Gitu aja kok repot!
Tampaknya, pokok permasalahan dari tertundanya ratifikasi rokok akhirnya mengerucut pada ekonomi. Ada saling-silang pendapat mengenai dukungan rokok terhadap perekonomian tanah air. Pihak yang pro iklan rokok mengklaim bahwa rokok mempunyai sumbangsih yang sangat besar melalui cukainya. Rokok juga berperan besar dalam mendukung ekonomi para petani tembakau. Artinya kalau tidak ada iklan rokok, petani tembakau akan kehilangan mata pencaharian. Di sisi lain, pihak yang anti terhadap iklan rokok melihat bahwa potensi ekonomi rokok lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak asing,sehingga tidak ada gunanya produk ini dilindungi eksistensinya oleh pemerintah. Saya sendiri berada di posisi yang bingung menanggapi silang pendapat ini, karena terus terang saja sampai sekarang belum meneliti fenomena sosial ekonomi industri rokok tersebut.
Lain di Indonesia, lain pula di Eropa. Saya amati pemerintah di Benua Biru ini kok lebih memerhatikan isu kesehatan alih-alih persepsi tentang sumbangsih ekonomi rokok ya? Hal itu kiranya yang membuat banyak negara eropa yang telah meratifikasi undang-undang pertembakauan dengan melarang iklan rokok tampil di televisi. Mereka sepertinya bahwa keuntungan dari industri rokok ini tidak sebanding dengan kerugian akibat biaya kesehatan yang ditimbulkannya. Nah, kalo di Indonesia gimana? Lagi-lagi perlu dilakukan penelitian holistik nih!
Namun, secara common sense saya pribadi lebih setuju iklan rokok dilarang saja. Rokok itu sepertinya sudah menjadi budaya di negeri ini. Orang kondangan di kampung disediakan rokok. Pertemuan RT, ruangan dipenuhi asap rokok. Artinya, walaupun iklan rokok dilarang, orang tetap merokok. Hanya saja, mungkin yang mereka rokok bukan lagi rokok branded. Mereka mungkin akan merokok merek-merek lokal, dan ini justru menguntungkan ‘kan? Namun, sekali lagi ini hanya hipotesis common sense saja, perlu pendalaman lebih lanjut untuk pembuktiannya. Setuju?
Foto : www.radioaustralia.net.au
0 komentar