No Brand, No Ads?
November 06, 2012
Produk hampir selalu berkaitan dengan
merek. Produk makanan, produk minuman, tempat tidur, sikat gigi,
pasta gigi, bahkan tusuk gigi pun ada mereknya. Saking hebatnya
perpaduan antara produk dengan merek ini, sebuah produk kadang-kadang
disebut dengan nama mereknya. Pedagang air minum di kereta api
misalnya, selalu bilang “Aqua...Aqua...Aqua!”, padahal yang
dijual adalah air minum merek lainnya. Saya kadang-kadang ke warung
beli “Indomie”, yang sama pemilik warungnya ditanya balik
“Indomienya apa? Sarimi, Supermie, atau...?”
Sedemikian besar kekuatan merek,
sehingga hampir-hampir tidak ada produk yang tidak bermerek. Konsumen
bisa jadi kebingungan ketika sebuah merek dilepas dari produknya.
Sebagai contoh adalah produk mobil minibus kembar: Avanza dan Xenia.
Nah, sendainya segala logo yang berkaitan dengan merek kedua mobil
tersebut dicopot, kira-kira pembeli bingung tidak ya? Saya yakin
mereka bingung. Namun ketika segala merek tersebut ditempelkan pada
badan mobil, harga keduanya bisa berselisih. Itulah kehebatan merek.
Karena adanya merek inilah, kemudian
produk harus membuat kampanye pemasaran. Salah satunya adalah
beriklan. Sehingga ketika suatu ketika ada seorang mahasiswa bertanya
di kelas periklanan “Mungkinkah sebuah produk tidak beriklan?”
Serta merta Saya memberikan penjelasan panjang lebar, yang intinya
bahwa saat ini sebuah produk hampir tidak mungkin tidak beriklan,
kecuali produk generik. Belakangan saya merenungkan jawaban tersebut,
benar atau salah ya?
Ada dua buah studi kasus tentang merek
yang hendak saya munculkan di sini. Pertama adalah sebuah artikel di
website kompas.com tentang Jokowi yang tidak mengenakan baju bermerek, dan membelinya di factory outlet di Bandung. Komentar
Jokowi adalah: “Bajunya keren.” Berarti produk factory outlet
tersebut telah berhasil memposisikan diri sebagai produk keren
walaupun tanpa menggunakan merek alias “KW2” kata Jokowi.
Studi kasus kedua adalah sebuah produk
dari Jepang yang sukses dipasarkan dengan tanpa merek (no brand)
seperti dipaparkan oleh website marketing.co.id tentang sebuah toko ritel. Toko ritel tersebut bernama Muji atau Mujirushi Ryohin
memajang beragam produk yang tidak ada mereknya. Baju, celana,
peralatan dapur, semuanya tanpa merek, yang ada hanya nama toko
“Muji” di ruangan saja. Secara logika, seharusnya produk-produk
itu tidak laris, karena tidak ada penanda kualitas berupa merek.
Naumn kenyataannya, toko ini justru membuka gerai di mana-mana, di
Eropa bahkan hingga ke Indonesia.
Dua fenomena tersebut mungkin ada yang
mengartikan sebagai bukti kemampuan produk tetap mampu bersaing
meskipun tanpa merek yang berarti tanpa iklan. Tapi menurut Saya,
nama toko Muji sebagaimana Jokowi sudah cukup untuk mewakili
produk-produk no brand tersebut. Alhasil produk itu tetap “beriklan”
melalui brand yang lebih besar, Muji dan Jokowi. Jadi masih
mungkinkah sebuah produk tidak beriklan?
0 komentar