Antara Husserlian dan Heideggerian
November 08, 2012
Mungkin,
judul dengan gambar agak sedikit nggak nyambung. Mungkin juga gambar yang saya
pasang terlalu berlebihan. Tapi saya kira catatan ini menjadi perlu saya
sampaikan di blog ini. Catatan ini saya buat beberapa tahun lalu sebagai
jawaban atas pertanyaan seorang teman yang sangat sulit. Terima kasih buat sang
teman yang sekaligus guru saya, yang telah memotivasi untuk memberi jawaban
ini.
Istilah fenomenologi sebenarnya sudah dikenal sejak Immanuel Kant
mencoba memikirkan dan memilah unsur mana yang berasal dari pengalaman dan
unsur mana yang terdapat dalam akal, yang membedakan antara noumenal
(alam yang sesungguhnya) dan phenomenal (yang tampak/terlihat) (Rapar,
1996:118). Kemudian lebih luas lagi ketika digunakan oleh Hegel dalam memandang
tentang tesis dan antitesis yang melahirkan sintesis (Sukidin, 2002: 30). Kata
fenomenologi ini dibawa ke ruang publik pertama kali oleh Hegel dalam bukunya Phenomenology
of the Spirit (1870). Dalam bukunya tersebut, Hegel mempelajari pola
evolusioner pengetahuan dalam format kesadaran yang paling sederhana hingga
rumit (Adian, 2005: 139)
Fenomenologi lebih dikenal lagi
ketika Edmund Husserl, seorang ahli matematika berkebangsaan Jerman, membawanya
tidak hanya pada ranah filsafat namun telah sampai sebagai metode berpikir.
Husserl tidak hanya memahami fenomenologi sebagai ilmu tentang fenomena,
sesuatu yang tampak dan berdiri sendiri, tetapi lebih kepada makna
transendental objek bersangkutan. Jadi, fenomenologi ala Husserl ini lebih
memusatkan diri tentang ada atau ontologi (Piliang, 2008: 6). Dalam
mengembangkan metode fenomenologisnya, Husserl menyadari betapa sulitnya
membiarkan objek-objek mengungkapkan dirinya dengan murni, sesuai realitas
sesungguhnya. Hakikat fenomena sesungguhnya berada dibalik yang menampakkan
diri tersebut. Menurut Husserl pengamatan pertama belum cukup membuat fenomena
mengungkap hakikat dirinya. Karenanya diperlukan pengamatan kedua yang disebut
sebagai pengamatan intuitif. Pengamatan intuitif sendiri harus melewati tiga
tahap reduksi atau penyaringan (Rapar, 1996:119). Ketiga tahap itu
masing-masing adalah tahap reduksi fenomenologis, tahap reduksi eidetis dan
tahap reduksi transendental.
Reduksi fenomenologis
ditempuh dengan menyisihkan atau menyaring pengalaman pengamatan pertama yang
terarah pada eksistensi fenomena. Pengalaman inderawi itu tidak ditolak
melainkan dipilah-pilah dari prasangka, praanggapan maupun prateori, yaitu
seluruh pandangan yang telah dimiliki sebelumnya. Reduksi eidetis adalah
upaya untuk menemukan eidos atau hakikat fenomena tersembunyi. Pada tahap ini,
dibutuhkan pengamatan dan penganalisisan yang cermat sehingga dijumpai hakikat
sesungguhnya dari fenomena tersebut. Reduksi transendental berarti
menyisihkan dan menyaring semua hubungan dan fenomena yang diamati dan fenomena
lainnya. Pengamatan yang masih terhubung dengan fenomena lain masih berupa
pengamatan empiris, dan bukan pengamatan murni. Pengamatan yang telah terbebas
dari sifat empirisnya mengatasi seluruh pengalaman, maka bersifat
transendental.
Tampaknya usaha melepaskan diri dari fenomena lain, dan mengamati
fenomena secara sendiri-sendiri menjadikan fenomenologi tidak lagi tergantung
pada teori-teori, bahkan ilmu lain. Fenomenologi Husserlian dengan demikian
dapat dikatakan sebagai sebuah ilmu mula (science of beginnings!).
Pemahaman fenomenologi Husserlian ini kemudian dilanjutkan dengan
sempurna oleh Alfred Schutz, yang menggabungkannya dengan konsep verstehen
dari Weber (Sukidin, 2002: 31). Pengembangan yang dilakukan oleh Schutz ini
kemudian menjadi jembatan antara tradisi fenomenologi Husserlian dengan arus
utama sosiologi. Schutz memberikan arti penting untuk mengetahui apa yang ia
sebut sebagai lebenswelt atau dunia kehidupan manusia pada umumnya.
Terdapat tiga kata kunci yang digunakan Schutz untuk dapat merangkum
gagasannya; taken-for-granted world, common-sense knowledge, dan typification
(klasifikasi objek dalam kategori umum). Interaksi sosial harus diterima dalam
lingkup situasi yang sudah ada (taken-for-granted world) dengan
memaksimalkan pengetahuan akal sehat (common-sense knowledge). Menurut
Schutz, interaksi terjadi karena berdasarkan pandangan dunia yang sama.
Pengetahuan akal sehat dan pengalaman dunia fenomena dengan cara sama disebut
sebagai “perspektif timbal balik” (reciprocal perspective).
Schutz hendak menekankan bahwa penyelidikan terhadap suatu sistem budaya
mau tidak mau harus mulai dengan penyelidikan dunia common sense
sekelompok orang, karena disitulah terlihat tanggapan dan pengertian mereka
sehari-hari mengenai dunia hidupnya, yaitu tanggapan yang langsung mempengaruhi
tingkah laku mereka sebelum tersentuh oleh agama, ideologi, atau ilmu
pengetahuan (dalam Sutrisno & Putranto, 2005 : 82).
Heidegger merumuskan
fenomenologi secara lain dibanding gurunya, Edmund Husserl. Fenomenologi ini
dikenal dengan hermeneutika-fenomenologi. Sekilas, hal ini merupakan sesuatu
yang kontradiktif. Di satu sisi fenomenologi membiarkan objek berbicara
sendiri, namun disisi lain hermeneutik merupakan seni melihat objek sebagai
teks yang menyimpan makna. Namun, hermeneutika-fenomenologi Heideggerian ini
harus dilihat dalam kapasitasnya sebagi pemberontakan terhadap arus utama
fenomenologi gurunya, Husserl (Adian, 2002: 54). Berdasarkan konsepnya tentang dasein
jelas bahwa objek pada dirinya tidaklah mungkin karena selalu terkait dengan
keberadaan dasein dalam dunia. Kenyataan, fenomena, bukanlah kenyataan
pada dirinya melainkan merupakan sebuah teks bermakna yang menyembul akibat
kodrat dasein sebagai sang penyingkap.
Hans-Georg Gadamer, seorang
filsuf neo-Heideggerian, mengembangkan konsep Heidegger mengenai fenomenologi.
Gadamer mengatakan bahwa kita tidak dapat menghilangkan penafsiran. Tradisi
penafsiran yang sarat presuposisi tidak menghalangi kejernihan pengamatan.
Penafsiran merupakan jembatan bagi pemahaman yang lebih kaya tentang objek
pengamatan. Pengayaan pemahaman yang lahir dari apa yang disebut Gadamer
sebagai fusi horison. Fusi antara tradisi penafsiran yang menyelubungi
pemaknaan objek, dan tradisi penafsiran kita sebagai penafsir (Adian, 2002:
58).
Pergerakan fenomenologi tradisi
Heideggerian tampaknya fenomenologi sebagai science of beginning tidaklah
tepat. Sebaliknya fenomenologi dalam tradisi Heideggerian ini lebih pada variance
of science (variansi ilmu), bagaimana sebuah fenomena dipahami secara
berbeda-beda, dan tidak berusaha dipisahkan dari presuposisi, prateori atau
fenomena-fenomena lain yang menjangkitinya.
Daftar
Bacaan:
Adian, Donny
Gahral. 2002. Martin Heidegger: Seri Tokoh Filsafat. Jakarta: Teraju
Adian, Donny
Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer.Bandung: Jalasutra
Piliang, Yasraf
Amir. 2008. Multiplisitas dan Diferensi. Bandung: Jalasutra
Rapar, Jan
Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sukidin,
Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya:
Insan Cendekia
Sutrisno,
Mudji & Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius
0 komentar