Masa Depan Komunikasi (Keluarga)?

April 04, 2018


Keadaan di masa depan sejatinya berada dalam kegelapan, tiada seorang pun yang tahu kejadian esok hari. Manusia hanya bisa memperkirakan keadaan di masa depan berdasarkan pola-pola kejadian yang telah dilewati. Misalnya saja perkiraan mengenai kecenderungan terjadinya hujan setelah ada awan hitam, perkiraan arah angin berdasarkan perbedaan tekanan udara, atau perkiraan jarak yang bisa ditempuh oleh setiap liter bahan bakar.

Perkiraan-perkiraan tersebut merupakan hasil olah pikir manusia dalam disiplin ilmu eksakta. Biasanya perkiraan dalam ilmu eksakta cenderung mendekati kebenaran. Berbeda dengan perkiraan dalam ilmu sosial yang lebih sulit dilakukan. Ilmu sosial, yang mengkaji manusia dengan segala perilakunya, memiliki tantangan karena keunikan manusia itu sendiri. Manusia kadangkala berperilaku nganeh-anehi, atau nyeleneh.

Ilmu komunikasi, sebagai bagian dari ilmu sosial, juga mengalami kesulitan-kesulitan ketika harus menerawang masa depan kajiannya. Kegiatan komunikasi kita saat ini barangkali tidak terbayang oleh Harold Lasswell yang terkenal dengan model komunikasinya: WHO-SAYS WHAT-IN WHICH CHANNEL-TO WHOM-WITH WHAT EFFECT. Lompatan-lompatan teknologi yang luar biasa mengakibatkan berubahnya kegiatan komunikasi secara signifikan.

Pada kesempatan ini, saya mencoba menulis terawangan tentang komunikasi keluarga setelah membaca beberapa artikel media massa di bulan Februari dan Maret 2018. Sebenarnya terawangan ini termasuk bagian dari ketakutan saya, terutama dengan nasib anak-anak kita (anak saya yang paling besar berusia 8 tahun, dan semoga saja tidak termasuk kategori anak yang saya ceritakan nanti).

Tabloid Info Komputer edisi Maret 2018 mengutip laporan penelitian dari sebuah lembaga nirlaba bernama Common Sense Media. Hampir setengah responden yang disurvei lembaga ini mengatakan bahwa anak-anak mereka menunjukkan perilaku adiktif dalam penggunaan smartphone. Perilaku adiktif anak-anak ditunjukkan dengan peningkatan durasi penggunaan smartphone mereka. Pada tahun 2013, anak-anak berusia 8 tahun atau lebih kecil menghabiskan sekitar 15 menit perhari untuk menatap layar ponsel. Di tahun 2017 mereka menghabiskan waktu 48 menit perhari, meningkat sampai menjadi 3 kali lipat. Peningkatan durasi penggunaan smartphone seiring dengan peningkatan kepemilikan gawai. Laporan tersebut juga menemukan bahwa 42 persen anak-anak berusia 8 tahun sudah memiliki perangkat komputer tablet mereka sendiri, meningkat tajam dari 7 persen pada 4 tahun yang lalu dan kurang dari 1 persen pada tahun 2011.

Realitas melimpahnya gawai rupanya juga beriringan dengan peningkatan akses terhadap internet. Lagi-lagi saya mengutip Info Komputer yang melansir hasil riset We Are Social, sebuah agensi pemasaran sosial yang rutin memaparkan data jumlah pengguna situs, mobile, dan media sosial dari seluruh dunia. Rupanya populasi digital Indonesia telah mencapai 132,7 juta jiwa, hampir separuh jumlah penduduk yang mencapai 265,4 juta jiwa. 120 juta jiwa dari populasi digital tersebut adalah pengguna mobile. Keberadaan pengguna internet mobile yang besar menyebabkan 79 persen penduduk digital mengakses internet setiap hari.

Angka-angka statistik yang disajikan oleh dua lembaga riset tersebut kiranya berimplikasi pada banyak hal. Dalam konteks komunikasi keluarga, akan sangat sulit bagi orang tua untuk benar-benar memonitor banyak hal yang dilihat dan dilakukan anak-anak mereka. Di sisi lain, kemampuan orang tua memonitor gawai yang dipegang anaknya juga terbatas. Anak-anak, sebagai generasi digital native, umumnya lebih pandai memainkan perangkat berteknologi ini.

Keadaan anak-anak yang tidak terkontrol dalam penggunaan internet menimbulkan akibat negatif. Media Indonesia pada tanggal 7 Februari 2018 memaparkan hasil penelitian End Child Prostitution, Child Pornography, and Traficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia yang dilakukan pada 2017 di enam kota. Hasilnya mengerikan, 97% anak pada rentang usia 14-18 tahun terpapar konten pornografi dari internet.

Lalu bagaimana masa depan komunikasi anak-anak kita? Bagaimana implikasinya terhadap komunikasi keluarga? Apabila paparan pornografi terus berlanjut, hampir dapat dipastikan negara kita tercinta ini akan dihuni oleh penduduk yang 97 persennya berpikiran mesum pada 10-15 tahun ke depan. Standar moral yang saat ini kita pedomani mungkin akan bergeser. Bagi saya, pergeseran moral ini merupakan sebuah bencana budaya!

Implikasi pola komunikasi anak-anak kita yang semakin akrab dengan gawainya adalah kemungkinan semakin renggangnya hubungan dalam keluarga di masa depan. Peran orang tua tidak lagi diperlukan dalam komunikasi keluarga masa depan. Sosialisasi pada akhirnya diambil alih oleh gawai. Nilai-nilai yang dipercaya adalah nilai-nilai dari produser konten, yang berarti merupakan nilai-nilai global (baca: Barat).

Ah, namanya terawangan belum tentu benar. Saya hanya berangakat dari kekhawatiran berbasis data yang dirilisi oleh berbagai lembaga riset. Harapan saya yang paling besar adalah peran pemerintah serta masing-masing keluarga untuk menggagalkan terawangan tersebut. Salah satunya dengan membatasi konten-konten internet, dan menunda memberikan gawai terhadap anak, setidaknya hingga mereka cukup dewasa sebagaimana dilakukan bos-bos teknologi seperti Bill Gates dan Steve Jobs.

Gambar: insight.kellogg.northwestern.edu

You Might Also Like

0 komentar

Friends

Galeri

Ada warna biru muda di lingkaran ini. Mengingatkan cerahnya langit pascahujan
Biarkanlah balon-balon bebas itu beterbangan, sebebas warna-warna yang menyelimutinya
Budaya batik yang berinovasi Mencerahkan masa depan tradisi
Cinta tidak selamanya berwarna merah muda, bisa juga kuning oranye
Ketika warna ungu menjadi ceria, dia bersama hijau dan kuning istimewa