Saya tertarik
dengan sebuah artikel yang dimuat pada kompas.com mengenai pendapat Fisikawan
Stephen Hawking yang tentang kemungkinan keabadian manusia. Hawking mengatakan,
“Otak seperti program dalam pikiran, seperti komputer, jadi secara teoretis sebenarnya
mungkin untuk menyalin otak ke komputer dan mendukung kehidupan setelah mati.”
Artikel yang berisi pernyataan Profesor Hawking tersebut dapat diakses DISINI.
Alhamdulillah.
Kata itu spontan meluncur dari mulut saya ketika pemain dengan nomor punggung
20, Ilham Udin, sukses
memasukkan si kulit bundar ke gawang Le Van Truong. Saya kira ucapan yang sama juga keluar
dari jutaan mulut para penggemar sepak bola di tanah air. Ya, alhamdulillah
Indonesia Muda berhasil menjadi juara AFF U19 setelah melalui perjuangan
panjang selama 120 menit melawan Vietnam, tim yang pernah mengalahkannya pada
babak group. Untung sejarah tidak berulang (Baca tulisan tentang kiprah
Indonesia di Piala AFF : Untung Kita (Pernah) Kalah).
Foto : amtekcompany.com |
Sebagaimana kita bersama
ketahui, perkembangan komputer sebagai alat bantu manusia sudah tidak
disangsikan lagi. Komputer telah menjadi kebutuhan primer manusia.
Demikian juga dalam pembelajaran, komputer telah menjadi sebuah
kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penggunaan komputer
secara intensif dalam pembelajaran lebih dikenal sebagai computer
based instruction.
Metode
pembelajaran berbasis komputer memang lebih rumit. Harus ada sebuah
kerjasama tim dalam pembuatannya. Ada programer yang memahami
berbagai piranti perangkat lunak yang terlibat dalam proses
pembelajaran. Ada pembuat skenario, apabila proses pembelajaran
tersebut melibatkan proses simulasi. Bahkan
mungkin perlu ada spesialis pembuat skrip, agar proses pembelajaran
yang dikemas melalui komputer dapat terasa alami.
Salah satu, metode pembelajaran berbasis komputer yang paling sederhana adalah presentasi multimedia. Dikatakan sederhana karena metode ini masih merupakan gabungan antara metode pembalajaran berbasis komputer yang digabung dengan metode konvensional (klasikal). Masih terjadi interaksi antarmanusia dalam metode pembelajaran ini, yang berarti tidak semuanya diskenario. Sebagian dari prosesnya tetap membutuhkan kemampuan pengajar dalam menguasai kelas.
Presentasi
multimedia akan lebih berhasil apabila tepat dalam menggunakan alat
bantu (software).
Kebanyakan orang di Indonesia
telah terbiasa menggunakan Microsoft
Powerpoint sebagai piranti pembantu presentasinya. Padahal, banyak
piranti lain yang sebenarnya dapat membantu proses presentasi ini.
Sebut saja LibreOfficeImpress, Kingsoft Presentation, Adobe Captivate, Prezi, PowToon,
bahkan Google Presentation. Semua bisa digunakan asalkan mengetahui
caranya.
Pada
pertemuan perkuliahan kedua, mahasiswa diharapkan mampu menguasai
piranti lunak pembantu presentasi. Karena, selama mereka berada di
kampus, mereka akan berhadapan dengan kewajiban presentasi yang rutin
dilakukan. Untuk menambah pemahaman, mahasiswa dapat mengunduh materi
online DISINI.
Satu kata itu cukup menyihir ribuan orang. Terbukti ketika ada formasi tersedia, rumah Pak RT ramai oleh orang yang minta pengantar. Padahal biasanya rumah Pak RT sepi karena warga takut jadi sasaran penderita (alias disuruh kerja bakti). Kelurahan juga tampak lebih meriah. Pegawai kelurahan yang biasanya sering santai, kali ini harus sedikit pontang-panting melayani rakyatnya. Puskesmas jadi ikutan laris melayani orang yang minta keterangan sehat, meskipun kadang ada juga yang datang ke sana sambil bolak-balik membersihkan ingusnya...hehehe. Nah saya kira di antara yang lainnya, Mapolres adalah yang paling sibuk. Mata para petugas tampak memerah karena kerja lembur (kalau kata-kata terakhir ini nggak usah dimasukkan memori ya, karena hanya majas hiperbolis saja). Pokoknya euphoria PNS menggejala di mana-mana.
Tidak hanya di dunia nyata, dunia maya juga dipenuhi dengan hal-hal yang berbau PNS. Ada kultwit tentang tips dan trik masuk PNS. Ada situs yang khusus menyediakan informasi PNS. Bahkan, ada website yang tega berbuat dusta dengan mengatasnamakan PNS (menurut informasi dari website resmi pemerintah, ada beberapa website yang mencoba menipu pengaksesnya dengan mengutip uang untuk mendaftar). Kesibukan menyambut PNS juga tampak pada beberapa situs pemerintah. Mereka sepertinya telah menyiapkan infrastruktur untuk menampung para peminat PNS ini, karena pengalaman sebelumnya yang sering jebol oleh berlimpahnya pendaftar online. Rasanya tak salah juga kalau blog ini ikut-ikutan memasang judul PNS, tujuannya ya mengail di air bening, biar lalu lintas blog agak meningkat…hehehe.
Sebenarnya apa sih tujuan orang menjadi PNS? Pertanyaan yang sebenarnya absurd, dan tak perlu dijawab. Tapi Saya nekat saja iseng-iseng tanya ke orang yang sedang antri mencari SKCK. Inti pertanyaannya adalah alasan dia ingin masuk PNS. "Sebenarnya udah kerja sih Mas, tapi saya ingin kerja yang lebih santai", begitu jawabnya. Mungkin sebagian besar pembaca menyetujui apa yang dikatakan “informan” saya tadi. Bekerja sebagai PNS lebih santai. Barangkali persepsi ini merupakan akumulasi pengalaman saat berinteraksi dengan para PNS. Seringkali PNS belanja saat jam kerja, main game saat harus melayani masyarakat, datang ke kantor siang, pulang sebelum waktunya dan lain-lain.
Alasan lain menjadi PNS barangkali adalah ketenangan hidup. Prestasi menjadi tidak penting lagi di dunia kerja PNS. Hitungan kenaikan pangkat biasanya karena senioritas. Akhirnya, orang yang bekerja di institusi negara cenderung lebih santai bekerja, tidak dikejar-kejar target, tidak dihantui tuntutan untuk berprestasi. Ketenangan hidup juga dicerminkan dengan harapan mendapatkan jaminan hari tua ketika mereka bekerja sebagai PNS. Pensiunan PNS dianggap sudah mencukupi kebutuhan hidup. Ketenangan hidup PNS semakin lengkap dengan kepercayaan yang tinggi pihak perbankan untuk memberikan pinjaman.
Terus, kira-kira bagaimana sebenarnya kehidupan para pegawai negeri sipil ya? Saya akan merangkum pengalaman berinteraksi dengan beberapa orang yang berstatus PNS. Pertama, sebut saja si Jonjon seorang pegawai bagian Humas di Pemkab. Saya amati Jonjon ini kok kerjanya sibuk sekali ya. Ketika Pemkab tempat Jonjon bekerja mempunyai kebijakan 5 hari kerja, kadang-kadang hari Sabtu pun dia ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan. Jam pulang yang seharusnya pukul 17.00 dia langgar dengan pulang Maghrib. Ketika kebijakan Pemkab berubah menjadi 6 hari kerja, si Jonjon yang seharusnya pulang jam 14.00, seringkali pulang jam 16.00. Kata Jonjon, kalau pekerjaan tidak diselesaikan hari itu akan menumpuk dan menambah pekerjaan di hari kemudian.
Ekonomi Jonjon pun saya lihat tidak bagu-bagus amat. Ukuran “ketenangan hidup” tampaknya tidak berlaku bagi PNS Jonjon ini. Bayangkan saja, baru tujuh hari melewati awal bulan, keuangan Jonjon sudah di ambang sekarat. Mana kendaraannya sering mogok. Wah, kok sepertinya memprihatinkan ya?
Berbeda dengan Jonjon, beda pula si Tiwi (bukan nama sebenarnya) yang menjadi PNS dosen. Tiwi ini jam kerjanya di kampus sampai sore (jam 16.00, sesuai kebijakan 5 hari kerja). Selain itu, dia mengerjakan segala sesuatunya di rumah. Pekerjaannya menumpuk. Menyiapkan materi kuliah, mengoreksi tugas, dan melakukan penelitian. Sering dia hanya tidur 3 jam sehari. Bahkan kabarnya saking menumpuknya pekerjaan, Tiwi sampai sakit.
Nah kalau PNS cara kerjanya seperti itu, dan tiba-tiba saja ada aturan yang terinspirasi dari blog ini serta meminta semua PNS untuk bekerja seperti Jonjon dan Tiwi di atas, masih adakah yang berminat menjadi PNS? Jawabnya mungkin masih. Alasannya, “Ah itu ‘kan hanya aturan, bisa di nego lah”. Case closed!
NB: Ketika tulisan ini mau saya publish kebetulan ketemu teman yang sudah kerja di sebuah perusahaan farmasi. Dia juga hendak melamar kerja sebagai PNS. Menurut teman itu, PNS bisa buat sambilan. Kemudian dia cerita mengenai teman-teman ibunya yang guru, sementara profesi utamanya adalah tukang ojek. Mereka datang semaunya saja ke sekolah. Anehnya gaji mengalir terus. Betulkah cerita teman itu? Ah, Allah yang Maha Tahu.
Foto : padangekspres.co.id
foto : bluenove.com |
Semenjak kecil kita sering ditanya mengenai cita-cita.
Kebanyakan kita akan menyebut profesi tertentu seperti tentara, dokter, atau
insinyur. Kanak-kanak jaman sekarang mungkin lebih variatif cita-citanya. Ada
yang ingin jadi bintang sinetron (biar bisa seperti Raden Kian Santang), ada
juga yang ingin jadi pembaca berita di televisi, bahkan ada pula yang
bercita-cita menjadi astronot (mudah-mudahan nggak ada yang cita-citanya
menjadi pengantin ya...hehehe).
Pada masa sekarang siapa
sih yang tidak kenal
komputer? Semua pasti kenal. Setidaknya
tahu bentuknya. Apalagi mahasiswa, harus kenal itu yang namanya
komputer. Bahkan, sebisa mungkin mahasiswa memiliki komputer. Soalnya
alat yang satu ini sangat menunjang perkuliahan. Tugas-tugas,
presentasi, bahkan sebagai ajang kreatif bikin
desain. Tidak hanya hal
serius, komputer juga bisa digunakan untuk yang
santai-santai
kok. Buat nonton film
bisa, download mp3
lagu-lagu terbaru bisa, buat main game online
sangat mungkin. Pokoknya hampir semuanya mungkin dilakukan komputer,
selain bikin nasi goreng tentu saja.
Pertimbangan
inilah yang membuat muatan-muatan yang bernuansa komputer menjadi
perlu dibekalkan bagi mahasiswa. Salah satunya yang termuat dalam
mata kuliah Komputer & Multimedia (SPK1102). Kan nggak
bagus juga kalau ada mahasiswa
yang punya komputer canggih tapi hanya buat ngetik saja.
Atau sebaliknya, mahasiswa yang punya komputer jangkrik alias
setengah hidup setengah mati, tapi dipaksa bahkan diperkosa untuk
menjalankan aplikasi software berspesifikasi
tinggi. Akan lebih baik kalau
komputernya digunakan sesuai peruntukannya. Bahkan, lebih baik lagi
kalau komputer itu digunakan untuk ajang produktivitas yang sehat.
Setelah
menempuh mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan dapat mengenali
piranti komputer yang dimilikinya dengan lebih baik lagi. Mahasiswa
diharapkan juga mampu memunculkan potensi komputer secara optimal.
Untuk materi kuliah perdana komputer & multimedia dapat diunduh
DI SINI.
foto : anisyahsurya.blogspot.com
foto : anisyahsurya.blogspot.com
Seorang sahabat yang sedang belajar di luar negeri membuat status Facebook yang menarik. Statusnya seperti ini: “Sejak saya nonton siaran TV di negeri ini, TIDAK PERNAH SEKALIPUN ada iklan rokok di TV, pagi, siang, sore, maupun malam sampai dini hari. padahal banyak orang negeri ini, cowok maupun cewek, tua maupun muda yang suka merokok (statusnya sedikit saya edit).” Sebagai orang yang mengaku-ngaku tertarik dengan dunia kretek ini, saya mau nggak mau harus menanggapinya. Apalagi yang membuat status adalah seorang sahabat…hehe.
Kalau dibandingkan dengan Indonesia, siaran iklan televisi di luar negeri (terutama Eropa) sudah beberapa langkah lebih maju. Jangankan dibanding Eropa, dibanding dengan beberapa negara Asia pun Indonesia relatif tertinggal. Jepang misalnya, ternyata telah “memahami” mengenai segmentasi tayangan televisi. Setidaknya kesaksian seorang komentator status teman di atas membuktikannya : “Pengalaman di Jepun Pak, orang LN masiyo rusak, itu segmented. Artinya, mau jalan "buruk" monggo. Mau sex bebas monggo. Terus televisi, mau yg free monggo, ada channel-nya (freesex, dsb.). Mau minum ada t4 sendiri. Jadi semua ada t4 nya. (Ini di Jepun lho). Untuk TV umum, senantiasa terjaga. Kalau di tanah air.....campur aduk ora karuwan. Acara pengajian, iklane wong wudo. Iklane rokok. Sinetron misuh2 jam 7 malam. Wis....wis”
Menilik komentar Facebook itu, pada kenyataannya siaran iklan yang kita tonton “hampir” tanpa segmen. Sebuah acara televisi dengan segmentasi anak-anak seringkali diiringi iklan segmentasi penonton dewasa. Iklan rokok tidak jauh beda, selalu menghiasi setiap slot iklan mulai dari jam 21.30 hingga jam 05.00 pagi, tidak peduli acaranya. Untung penayangan iklan masih dibatasi waktu, seandainya tidak, saya yakin iklan rokok akan "berkeliaran" di setiap acara.
Pembatasan waktu terhadap iklan rokok ternyata “ditanggapi secara kreatif” oleh para pengiklan. Ketika ada tayangan potensial namun tayang di luar jam iklan rokok, biasanya akan dibuat format sponsorship berbeda. Format sponsorship seperti ini lolos karena dianggap tidak berasosiasi dengan ajakan merokok. Biasanya hanya muncul tagline iklan saja seperti "Pria Pemberani", "Petualangan Pria", dan sejenisnya. Padahal, menurut saya pribadi, tayangan iklan seperti itu tetap saja berasosiasi dengan produk rokok.
Khusus tentang iklan rokok, Indonesia sepertinya belum meratifikasi undang-undang pertembakauan yang sudah banyak dilakukan negara-negara maju. Undang-undang ini dinamakan sebagai Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC ini telah diratifikasi oleh 175 negara anggota WHO pada 2003. Namun, hingga saat ini Indonesia dengan 10 negara lain belum melakukan ratifikasi tersebut. Bahkan menurut data terakhir, Indonesia menjadi satu-satunya negara di regional Asia yang belum menandatangani dan mengaksesi FCTC ini.
Tampaknya, pemerintah masih gamang melangkah. Pokok-pokok FCTC yang isinya antara lain adalah mengurangi konsumsi melalui mekanisme pengendalian harga dan pajak, iklan, promosi dan sponsor, serta pemberian label peringatan kesehatan pada kemasan rokok mungkin dianggap mengancam perekonomian rakyat, terutama para petani tembakau serta industri rokok. Padahal, apabila FCTC tidak segera diratifikasi, Indonesia berpotensi mengalami kerugian karena akan menjadi negara target market atau tujuan pemasaran utama pemasaran industri rokok multinasional. Jangka panjangnya, petani tembakau dan industri rokok lokal kemungkinan juga akan mengalami kerugian, karena kalah bersaing dengan industri rokok luar negeri.
Kegamangan pemerintah mengenai industri rokok ternyata merembet-rembet pada industri periklanan juga (terutama iklan rokok). Nampak pada salah satu pasal yang dibuat oleh P3I dalam EPI (Etika Pariwara Indonesia), tepatnya Pasal 2.2.2 poin a yang kurang lebih berbunyi “Penyiaran iklan rokok dan produk tembakau wajib tidak merangsang atau menyarankan orang untuk merokok”. Kalau direnung-renungkan pasal ini unik bin aneh. Saya sepakat dengan Budiman Hakim yang mengatakan di bukunya (yang sepertinya hampir semua orang iklan punya, judulnya: “Ngobrolin Iklan…Yukk!”) bahwa iklan itu tugasnya ya mempengaruhi orang agar membeli produk yang diiklankan. Lha kalau iklan nggak boleh merangsang orang untuk membeli produk namanya bukan iklan, ya nggak sih? Demikian juga iklan rokok, pasti menyuruh orang untuk membeli rokok. Aturan ini berkesan seperti orang Jawa bilang: Ndase diculke, dicekeli buntute (dilepas kepalanya dipegang ekornya alias nggak ikhlas ngelepasnya). Industri rokok boleh beriklan (yang menguntungkan banyak industri lainnya), tapi nggak boleh nyuruh orang ngerokok…aneh bukan? Tapi, wong EPI itu kan disusun secara swakramawi, disusun oleh para pakar dan praktisi periklanan sendiri, mereka pasti sudah lebih ngerti mengenai maksud dan filosofi aturan itu. Nah, tugas pentingnya barangkali mensosialisasikan maksud kata-kata seperti di pasal 2.2.2 poin a ini kepada orang awam seperti saya. Gitu aja kok repot!
Tampaknya, pokok permasalahan dari tertundanya ratifikasi rokok akhirnya mengerucut pada ekonomi. Ada saling-silang pendapat mengenai dukungan rokok terhadap perekonomian tanah air. Pihak yang pro iklan rokok mengklaim bahwa rokok mempunyai sumbangsih yang sangat besar melalui cukainya. Rokok juga berperan besar dalam mendukung ekonomi para petani tembakau. Artinya kalau tidak ada iklan rokok, petani tembakau akan kehilangan mata pencaharian. Di sisi lain, pihak yang anti terhadap iklan rokok melihat bahwa potensi ekonomi rokok lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak asing,sehingga tidak ada gunanya produk ini dilindungi eksistensinya oleh pemerintah. Saya sendiri berada di posisi yang bingung menanggapi silang pendapat ini, karena terus terang saja sampai sekarang belum meneliti fenomena sosial ekonomi industri rokok tersebut.
Lain di Indonesia, lain pula di Eropa. Saya amati pemerintah di Benua Biru ini kok lebih memerhatikan isu kesehatan alih-alih persepsi tentang sumbangsih ekonomi rokok ya? Hal itu kiranya yang membuat banyak negara eropa yang telah meratifikasi undang-undang pertembakauan dengan melarang iklan rokok tampil di televisi. Mereka sepertinya bahwa keuntungan dari industri rokok ini tidak sebanding dengan kerugian akibat biaya kesehatan yang ditimbulkannya. Nah, kalo di Indonesia gimana? Lagi-lagi perlu dilakukan penelitian holistik nih!
Namun, secara common sense saya pribadi lebih setuju iklan rokok dilarang saja. Rokok itu sepertinya sudah menjadi budaya di negeri ini. Orang kondangan di kampung disediakan rokok. Pertemuan RT, ruangan dipenuhi asap rokok. Artinya, walaupun iklan rokok dilarang, orang tetap merokok. Hanya saja, mungkin yang mereka rokok bukan lagi rokok branded. Mereka mungkin akan merokok merek-merek lokal, dan ini justru menguntungkan ‘kan? Namun, sekali lagi ini hanya hipotesis common sense saja, perlu pendalaman lebih lanjut untuk pembuktiannya. Setuju?
Kalau dibandingkan dengan Indonesia, siaran iklan televisi di luar negeri (terutama Eropa) sudah beberapa langkah lebih maju. Jangankan dibanding Eropa, dibanding dengan beberapa negara Asia pun Indonesia relatif tertinggal. Jepang misalnya, ternyata telah “memahami” mengenai segmentasi tayangan televisi. Setidaknya kesaksian seorang komentator status teman di atas membuktikannya : “Pengalaman di Jepun Pak, orang LN masiyo rusak, itu segmented. Artinya, mau jalan "buruk" monggo. Mau sex bebas monggo. Terus televisi, mau yg free monggo, ada channel-nya (freesex, dsb.). Mau minum ada t4 sendiri. Jadi semua ada t4 nya. (Ini di Jepun lho). Untuk TV umum, senantiasa terjaga. Kalau di tanah air.....campur aduk ora karuwan. Acara pengajian, iklane wong wudo. Iklane rokok. Sinetron misuh2 jam 7 malam. Wis....wis”
Menilik komentar Facebook itu, pada kenyataannya siaran iklan yang kita tonton “hampir” tanpa segmen. Sebuah acara televisi dengan segmentasi anak-anak seringkali diiringi iklan segmentasi penonton dewasa. Iklan rokok tidak jauh beda, selalu menghiasi setiap slot iklan mulai dari jam 21.30 hingga jam 05.00 pagi, tidak peduli acaranya. Untung penayangan iklan masih dibatasi waktu, seandainya tidak, saya yakin iklan rokok akan "berkeliaran" di setiap acara.
Pembatasan waktu terhadap iklan rokok ternyata “ditanggapi secara kreatif” oleh para pengiklan. Ketika ada tayangan potensial namun tayang di luar jam iklan rokok, biasanya akan dibuat format sponsorship berbeda. Format sponsorship seperti ini lolos karena dianggap tidak berasosiasi dengan ajakan merokok. Biasanya hanya muncul tagline iklan saja seperti "Pria Pemberani", "Petualangan Pria", dan sejenisnya. Padahal, menurut saya pribadi, tayangan iklan seperti itu tetap saja berasosiasi dengan produk rokok.
Khusus tentang iklan rokok, Indonesia sepertinya belum meratifikasi undang-undang pertembakauan yang sudah banyak dilakukan negara-negara maju. Undang-undang ini dinamakan sebagai Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC ini telah diratifikasi oleh 175 negara anggota WHO pada 2003. Namun, hingga saat ini Indonesia dengan 10 negara lain belum melakukan ratifikasi tersebut. Bahkan menurut data terakhir, Indonesia menjadi satu-satunya negara di regional Asia yang belum menandatangani dan mengaksesi FCTC ini.
Tampaknya, pemerintah masih gamang melangkah. Pokok-pokok FCTC yang isinya antara lain adalah mengurangi konsumsi melalui mekanisme pengendalian harga dan pajak, iklan, promosi dan sponsor, serta pemberian label peringatan kesehatan pada kemasan rokok mungkin dianggap mengancam perekonomian rakyat, terutama para petani tembakau serta industri rokok. Padahal, apabila FCTC tidak segera diratifikasi, Indonesia berpotensi mengalami kerugian karena akan menjadi negara target market atau tujuan pemasaran utama pemasaran industri rokok multinasional. Jangka panjangnya, petani tembakau dan industri rokok lokal kemungkinan juga akan mengalami kerugian, karena kalah bersaing dengan industri rokok luar negeri.
Kegamangan pemerintah mengenai industri rokok ternyata merembet-rembet pada industri periklanan juga (terutama iklan rokok). Nampak pada salah satu pasal yang dibuat oleh P3I dalam EPI (Etika Pariwara Indonesia), tepatnya Pasal 2.2.2 poin a yang kurang lebih berbunyi “Penyiaran iklan rokok dan produk tembakau wajib tidak merangsang atau menyarankan orang untuk merokok”. Kalau direnung-renungkan pasal ini unik bin aneh. Saya sepakat dengan Budiman Hakim yang mengatakan di bukunya (yang sepertinya hampir semua orang iklan punya, judulnya: “Ngobrolin Iklan…Yukk!”) bahwa iklan itu tugasnya ya mempengaruhi orang agar membeli produk yang diiklankan. Lha kalau iklan nggak boleh merangsang orang untuk membeli produk namanya bukan iklan, ya nggak sih? Demikian juga iklan rokok, pasti menyuruh orang untuk membeli rokok. Aturan ini berkesan seperti orang Jawa bilang: Ndase diculke, dicekeli buntute (dilepas kepalanya dipegang ekornya alias nggak ikhlas ngelepasnya). Industri rokok boleh beriklan (yang menguntungkan banyak industri lainnya), tapi nggak boleh nyuruh orang ngerokok…aneh bukan? Tapi, wong EPI itu kan disusun secara swakramawi, disusun oleh para pakar dan praktisi periklanan sendiri, mereka pasti sudah lebih ngerti mengenai maksud dan filosofi aturan itu. Nah, tugas pentingnya barangkali mensosialisasikan maksud kata-kata seperti di pasal 2.2.2 poin a ini kepada orang awam seperti saya. Gitu aja kok repot!
Tampaknya, pokok permasalahan dari tertundanya ratifikasi rokok akhirnya mengerucut pada ekonomi. Ada saling-silang pendapat mengenai dukungan rokok terhadap perekonomian tanah air. Pihak yang pro iklan rokok mengklaim bahwa rokok mempunyai sumbangsih yang sangat besar melalui cukainya. Rokok juga berperan besar dalam mendukung ekonomi para petani tembakau. Artinya kalau tidak ada iklan rokok, petani tembakau akan kehilangan mata pencaharian. Di sisi lain, pihak yang anti terhadap iklan rokok melihat bahwa potensi ekonomi rokok lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak asing,sehingga tidak ada gunanya produk ini dilindungi eksistensinya oleh pemerintah. Saya sendiri berada di posisi yang bingung menanggapi silang pendapat ini, karena terus terang saja sampai sekarang belum meneliti fenomena sosial ekonomi industri rokok tersebut.
Lain di Indonesia, lain pula di Eropa. Saya amati pemerintah di Benua Biru ini kok lebih memerhatikan isu kesehatan alih-alih persepsi tentang sumbangsih ekonomi rokok ya? Hal itu kiranya yang membuat banyak negara eropa yang telah meratifikasi undang-undang pertembakauan dengan melarang iklan rokok tampil di televisi. Mereka sepertinya bahwa keuntungan dari industri rokok ini tidak sebanding dengan kerugian akibat biaya kesehatan yang ditimbulkannya. Nah, kalo di Indonesia gimana? Lagi-lagi perlu dilakukan penelitian holistik nih!
Namun, secara common sense saya pribadi lebih setuju iklan rokok dilarang saja. Rokok itu sepertinya sudah menjadi budaya di negeri ini. Orang kondangan di kampung disediakan rokok. Pertemuan RT, ruangan dipenuhi asap rokok. Artinya, walaupun iklan rokok dilarang, orang tetap merokok. Hanya saja, mungkin yang mereka rokok bukan lagi rokok branded. Mereka mungkin akan merokok merek-merek lokal, dan ini justru menguntungkan ‘kan? Namun, sekali lagi ini hanya hipotesis common sense saja, perlu pendalaman lebih lanjut untuk pembuktiannya. Setuju?
Foto : www.radioaustralia.net.au