Pencitraan
February 04, 2013Gambar : sweetclipart.com |
Berbicara tentang public
relations, tidak akan lengkap tanpa menyebut istilah pencitraan.
Istilah pencitraan akhir-akhir ini seringkali digunakan dengan
konotasi yang negatif, yakni kepura-puraan. Jadi citra itu merupakan
topeng dari realitas sebenarnya, citra adalah sebuah kebohongan.
Namun benarkah semua itu?
Pencitraan adalah kegiatan menciptakan image atau kesan, perasaan, gambaran diri suatu organisasi atau perusahaan terhadap khalayak. Kesan tersebut biasanya sengaja diciptakan agar seseorang, sebuah objek, maupun sebuah organisasi dinilai positif oleh publiknya. Seperti kata Walter Lippman, menciptakan pictures in our head. Atau mungkin seperti kata Chrisye, menciptakan kesan di matamu.
Frank Jefkins, sudah
jauh-jauh hari mewanti-wanti perihal pemolesan citra. Dalam jangka
pendek pemolesan citra akan menguntungkan, namun jelas akan memiliki
potensi merugikan dalam proses jangka panjangnya. Nah, jadi
pertanyaan pada paragraf pertama seharusnya terjawab. Idealnya,
pencitraan itu seharusnya berdasarkan pada kejujuran. Setelah
pertanyaan pertama terjawab, yang menjadi pertanyaan berikutnya
adalah seberapa penting citra itu di sebuah institusi?
Menjawab pertanyaan
kedua, saya akan sedikit berkisah tentang sekelumit pengalaman. Jadi
ceritanya beberapa waktu lalu, saya bersama dengan dua orang teman
mengunjungi sebuah institusi milik pemerintah. Tujuannya adalah
menggali pengetahuan tentang institusi tersebut sekaligus untuk
pengembangan potensi kerjasama.
Setibanya di kantor
institusi yang megah, kami langsung disuguhi pemandangan yang agak
mengagetkan. Belasan pegawai tampak bergerombol di pintu masuk utama.
Mereka mengenakan semacam pakaian olahraga sambil berdiskusi atau
lebih tepatnya mengobrol. Tampaknya obrolan yang tidak serius, wong
sambil ketawa-ketiwi. Spontan
saya langsung tanya pada salah satu teman sambil melirik jam tangan
yang menunjuk angka setengah dua belas, “Emang jam segini mereka
nggak pada kerja ya?” Satu citra jelek institusi ini telah terpatri
dalam kepala saya.
Sebuah
hal sepele yang dapat menimbulkan salah persepsi terhadap institusi
tersebut. Sungguh disayangkan. Padahal bisa jadi sebenarnya mereka
sedang bekerja, atau mungkin sedang brainstorming.
Bisa jadi juga mereka sedang istirahat setelah bekerja full
selama beberapa jam. Siapa tahu?
Tapi memang susah ya menilai sebuah buku selain dari sampulnya.
Akhirnya kesimpulan saya adalah : Banyak pegawai institusi itu yang
jobfull workless,
digaji penuh nggak ada gunanya.
Setelah
melalui penantian yang agak lama, ini juga menjadi citra buruk,
akhirnya ketemulah kami dengan pimpinan institusi tersebut. Orangnya
ceria. Yang jelas kesan saya adalah: Ini orang hebat! Citranya
positif. Beliau banyak bercerita tentang pengalaman-pengalaman masa
lampaunya. Bercerita tentang kegiatannya di institusi pemerintah ini,
mulai dari hal-hal yang bersifat akademis hingga masalah
kehidupan sehari-hari.
Di antara cerita yang
meriah itu, sang pemimpin institusi menyinggung berbagai kegiatan
yang saat ini sedang dilakukan. Beberapa kegiatan itu digambarkan
tidak memberikan profit secara finansial. "Kami hanya membentuk
pencitraan saja kok", katanya. Entah ekspresi alam bawah sadar
atau keseleo lidah. Yang jelas penggunaan kata "hanya"
seolah-olah mengecilkan pentingnya citra bagi institusi. Tampaknya
seperti sudah menjadi rahasia umum, pengecilan pentingnya citra
positif kerap terjadi pada institusi publik di negeri ini.
Dampaknya? Beberapa
survei yang diselenggarakan oleh lembaga survei menyatakan masih
lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik. Kekecewaan
terhadap lambatnya pelayanan, rumitnya alur pelayanan, atau bahkan
kurangnya sosialisasi pelayanan. Saya kira ini semua perlu
diperbaiki! Citra positif haruslah menjadi salah satu tujuan utama
bagi sebuah institusi, baik negeri maupun swasta.
Lalu apa pentingnya citra, itu 'kan
hanya topeng? Kalau ada orang yang mengatakan citra itu seperti
topeng mungkin tidak salah. Mereka mungkin beranggapan bahwa
pencitraan itu sama seperti pemalsuan identitas. Namun saya punya
keyakinan, citra itu sebagaimana anak kecil yang belajar berjalan.
Pertama kali, pencitraan bisa jadi merupakan kepalsuan dan
kepura-puraan. Seiring berjalannya waktu, pencitraan itu sudah
melebur dengan diri dan perilaku asli orang atau institusi.
Contohnya Jokowi. Sosok yang menjadi
"media darling" ini awalnya dianggap hanya membuat
pencitraan palsu. Perilaku yang bergaya anak muda, seperti nonton
konser, melompat pagar atau memakai sepatu kets dianggap hanya
langkah untuk mengambil hati calon pemilih. Gaya blusukan ke
kampung-kampung pun setali tiga uang. Namun nyatanya, sampai tulisan
ini dibuat dan sudah terpilih pun Jokowi tetap seperti itu. Artinya,
kalau benar itu merupakan pencitraan palsu, Jokowi sudah sukses
menjadikannya asli darah dagingnya. Bukan lagi citra yang
dibuat-buat.
Apabila institusi-institusi negeri ini
sudi berbuat serupa, bukan tidak mungkin hal sama akan terjadi.
Akhirnya, seperti Jokowi, institusi-institusi di negeri ini menjadi
“media darling” juga, semua media tertarik untuk mengikuti
dan meliputnya. Tidak perlu ada lagi anggaran yang dikhususkan untuk
amplop wartawan. Hemat kan?
0 komentar