Hiruk Pikuk (KPK) Jelang Pilkada
March 14, 2018
Entah kenapa Pilkada serentak pada tahun-tahun ini membuat saya pesimis bercampur ngeri. Rasa pesimis muncul karena masifnya pemberitaan mengenai korupsi yang dilakukan (calon) kepala daerah, anggota lembaga legislatif dan yudikatif daerah. Adapun kengeriannya berasal dari wacana pengembalian suara rakyat kepada wakil-wakilnya (baca: legislatif) dalam pemilihan kepala daerah dan/atau presiden.
Salah satu berita terkini tentang masifnya pemberitaan korupsi adalah pernyataan ketua KPK, Agus Rahardjo, tentang penerimaan data dari PPATK berupa 368 laporan dugaan korupsi calon kepala daerah. Dari 368 laporan itu, baik KPK maupun PPATK telah menganalisis bahwa 34 calon kepala daerah terindikasi melakukan korupsi. KPK akan mengusut itu dengan hampir seluruhnya berpotensi menjadi tersangka (Media Indonesia, 12/3/2018).
Pernyataan Agus kemudian menjadi polemik di masyarakat. Setidaknya ada dua pendapat menanggapi pernyataan tersebut. Pendapat pertama mendorong agar Agus segera mengumumkan oknum-oknum (calon) kepala daerah yang melakukan korupsi agar segera dilakukan penindakan. Pendapat kedua menyatakan bahwa pada dasarnya Agus, secara sadar atau tidak, telah meletakkan salah satu kaki KPK di ranah politik. Agus dianggap melakukan manuver karena memberikan pernyataan berkait status hukum seorang politisi, bahkan sebelum yang bersangkutan menjadi tersangka.
Pengurangan Ketidakpastian
Pada 1975, Charles Berger dan Richard Callabrese pertama kali mempublikasikan Teori Pengurangan Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory-URT). Menurut Littlejohn (2009), teori ini merupakan awal rangkaian teori-teori manajemen ketidakpastian. Wood (2004) menyebutkan salah satu aksioma teori ini: “High levels of uncertainty in relationship cause decreases in the intimacy level of communication content. Low levels of uncertainty produce higher of intimacy”.
Menurut URT, ketidakpastian yang terselip dalam pernyataan ketua KPK (tentang siapa yang terlibat korupsi) merupakan sebuah penghalang kedekatan (dengan masyarakat). Agar level kedekatan dengan masyarakat meningkat, ketidakpastian tersebut harus dikurangi (dengan membeberkan 34 oknum calon kepala daerah). Masyarakat tentu akan bertanya-tanya apabila Agus tidak segera menyebutkan nama-nama koruptor itu. Pertanyaan masyarakat akan berubah menjadi kecurigaan seandainya Agus urung menyebutkan 34 nama tersebut: kecurigaan permainan politik.
Resiko yang besar juga menunggu seandainya Agus mengumumkan calon peserta Pilkada yang melakukan tindak pidana korupsi. Pemerintah bersama KPU bahkan telah sepakat untuk meminta KPK menahan diri (Media Indonesia, 13/03/2018), dan menunda pengumuman tersangka setelah Pilkada usai. Pemerintah khawatir situasi politik di daerah menjadi tidak kondusif pascapengumuman, karena berkaitan dengan berbagai figur mereka yang telah menjadi “milik” partai politik, pemilih, dan orang banyak.
Jadi ibarat buah simalakama, Agus dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. KPK bisa menjadi populer dan dekat dengan masyarakat, namun menaikkan tensi politik Pilkada. Di sisi lain, KPK juga bisa memilih jalan sunyi dengan menyimpan informasi nama oknum calon kepala daerah korup hingga Pilkada selesai, dengan resiko menjadi sasaran kecurigaan masyarakat karena anggapan bermain politik.
Apapun pilihan yang dibuat oleh Agus, masyarakat saat ini sudah mulai apatis dengan proses politik di negeri ini. Wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah menjadi seperti zaman Orde Baru, dengan sistem perwakilan, semakin berkembang. Ngeri membayangkannya kalau itu terjadi.
Referensi:
Littlejohn, S.W., & Foss, K.A. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. California: SAGE Publications, Inc.
Wood, J.T. 2004. Communication Theories in Action: An Introduction. California: Wadsworth/Thomson Learning
Foto: mediaindonesia.com
0 komentar