Tarik Saja Jok!
September 06, 2017Ada sebuah kejadian nyata yang menggambarkan pentingnya komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Kejadian ini dialami oleh seorang mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir di sebuah perguruan tinggi besar di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, proses pengerjaan tugas akhir di Indonesia melibatkan beberapa dosen. Ada dosen yang berperan sebagai pembimbing, ada juga yang berperan sebagai dosen penguji. Dosen pembimbing berperan membantu mengarahkan mahasiswa semester akhir mengerjakan tugas akhir sejak awal pengerjaan proposal. Dosen penguji bertugas untuk melakukan koreksi kesalahan serta memberikan sumbang saran mengenai tema tugas akhir, yang biasanya bermula sejak proposal tugas akhir diseminarkan.
Rupanya interaksi antara mahasiswa dengan dosen (termasuk dosen penguji) tidak hanya melibatkan hal-hal akademis yang bersifat serius. Kadangkala, interaksi mahasiswa-dosen diwarnai dengan beberapa kejadian tidak terduga.
Mahasiswa tingkat akhir, sebut saja Joko, telah menyelesaikan seminar proposal tugas akhir yang melelahkan. Kelelahan fisik dan mental setelah harus memertahankan argumentasi penelitian di hadapan rekan-rekan mahasiswa, dosen pembimbing, dan dosen penguji. Kelelahan fisik dan mental tersebut belum berakhir ketika seminar proposal selesai, masih ada tahapan konsultasi dan revisi sebelum melanjutkan pada tahapan penelitian berikutnya: pengumpulan data.
Joko merasa grogi ketika harus melakukan konsultasi dengan dosen penguji. Gelar professor yang disandang sang dosen penguji ternyata membuat Joko harus sangat berhati-hati dalam berinteraksi. Joko tidak berani menghubungi dosen pengujinya melalui sambungan telepon, dia hanya mengirim pesan singkat (sms). Isi pesan singkat selalu dibaca berulangkali sebelum dikirim; dengan menimbang tingkat kesopanan, tujuan pesan, hingga makna pesan yang mungkin memiliki tafsir berbeda.
Joko menyadari bahwa Sang Profesor memiliki kesibukan yang sangat padat. Sebuah pesan singkat yang dikirimkan kadang-kadang dijawab beberapa hari kemudian. Kegembiraan yang tidak terkira dirasakan Joko ketika Sang Profesor menjawab pesan singkatnya, dan meluangkan waktu konsultasi pertama pada hari yang ditentukan. “Hari Rabu, jam 10 di ruangan Saya,” kata Sang Profesor melalui pesan singkat.
Pada hari Rabu Joko sudah menunggu di lobi kantor satu jam sebelum waktu yang ditentukan. Joko merasa perlu menunjukkan kesan pertama yang baik, dengan tidak datang terlambat, atau membuat dosen penguji menunggu. Posisi duduknya di lobi dibuat semudah mungkin dilihat, sehingga ketika Sang Profesor hendak masuk kantor pasti melihat Joko. Pakaian yang dikenakan Joko berwarna merah, harapannya agar menarik perhatian orang (termasuk Sang Profesor) untuk melihat. Joko teringat teori warna yang dibacanya dari sebuah buku; merah merupakan warna yang paling menarik perhatian, sehingga digunakan untuk lampu lalu lintas, lampu rem, hingga rotator.
Hari ini ruang kantor Sang Profesor sunyi. Tidak ada satu pun mahasiswa yang antre di lobi. Kesunyian kantor ini berlawanan dengan kabar yang sering didengar Joko, bahwa untuk bertemu Sang Profesor harus melewati antrean panjang. Seorang teman pernah menunggu antrean hingga empat jam, untuk konsultasi selama 20 menit.
Joko menghidupkan laptopnya untuk membuang rasa bosan menunggu. Jam tangan Joko sudah menunjukkan angka sepuluh, dan belum ada tanda-tanda sang profesor datang. Sang Profesor dikenal tepat waktu. Saat mengisi kuliah di mana pun sang profesor hampir tidak pernah terlambat. Pernah satu kali Sang Profesor terlambat mengisi kuliah, karena mengantar cucunya ke dokter. Keterlambatan yang masih bisa ditoleransi karena adanya situasi darurat, apalagi Sang Profesor waktu itu hanya terlambat selama 15 menit saja.
Setengah jam berlalu sejak Joko menghidupkan laptopnya. Dia mulai cemas. Laptopnya ditutup, dan dimasukkan tas. Joko beranjak menuju pintu masuk ruangan Sang Profesor. Pintu itu terbuat dari kaca, mirip dengan pintu masuk bank atau minimarket. Di dalam ruangan berpintu kaca itu terdapat lobi dan dua ruangan lebih kecil. Salah pintu satu ruangan bertuliskan nama Sang Profesor, sedangkan pintu yang bersebelahan bertuliskan nama yang tidak dikenal Joko. Di pintu ruangan profesor tampak tergantung sebuah kunci. Apakah Sang Profesor sudah datang?
Joko mencoba mendorong pintu kaca itu, tapi tak bergerak. Terkunci. Mungkin tadi pagi ada OB yang membersihkan ruang Sang Profesor dan meninggalkan kunci ruangan di pintu, kemudian mengunci pintu kaca. Joko pun kembali ke lobi, dan membuka laptop.
Satu jam sudah berlalu. Belum ada tanda-tanda Sang Profesor datang. Joko kembali beranjak ke pintu kaca, khawatir tidak melihat Sang Profesor masuk ruangan. Pintu kaca masih terkunci, tidak bisa didorong. Pintu ruangan juga masih tertutup dengan kunci tergantung. Apakah ada kondisi darurat yang mengakibatkan Sang Profesor tidak bisa hadir hari ini? Apakah Sang Profesor ada di ruangan lain? Berbagai praduga mulai muncul di pikiran Joko.
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 siang. Joko sudah berulangkali memeriksa ruangan Sang Profesor, dan masih sepi. Joko memutuskan untuk mengirim pesan singkat, sebelum mengakhiri sesi menunggu pada hari ini. Dia yakin Sang Profesor berhalangan hadir. Sebelum pulang, Joko mencoba mencari tahu masalah yang dihadapi Sang Profesor. Joko juga ingin memastikan waktu konsultasi berikutnya.
Joko mengambil telepon genggam di kantong celananya. Dia mengirim pesan singkat tentang permintaan maaf atas kelancangan mengirim pesan, sekaligus menanyakan ketidakhadiran Sang Profesor hari itu. Tanpa menunggu jawaban dari Sang Profesor, Joko langsung menuju parkiran motor, dan memacu kendaraannya.
Di perjalanan pulang, telepon genggamnya berbunyi, pertanda ada pesan masuk. Seketika Joko meminggirkan kendaraannya untuk melihat pesan itu. Dia berharap jawaban dari Sang Profesor.
“Saya sudah di ruangan dari jam 08.00 dan menunggu Anda. Sekarang Saya pulang.” Jawaban pesan singkat Sang Profesor yang membuat Joko deg-degan. Joko langsung menjawab pesan tersebut, dengan permintaan maaf. Joko kemudian menjelaskan detail proses menunggunya, termasuk anak kunci yang dilihatnya menggantung di ruangan Sang Profesor. Joko berharap tidak mendapatkan murka, karena dianggap tidak menepati janji konsultasi yang telah disepakati.
Tidak diduga Sang Profesor membalas pesan singkat Joko dengan cepat. “Mahasiswa akhir kok tidak komunikatif, hehehe.” Awalan pesan singkat profesor itu sudah membuat Joko lega. “Kalau ada kunci tergantung di pintu ruangan, berarti Saya ada di dalam,” jelas Sang Profesor. Ah, betapa menyesalnya Joko. Ternyata selama menunggu tadi Sang Profesor ada di dalam. Tapi kenapa pintu kacanya tidak bisa didorong, terkunci?
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Joko terpecah menjadi dua. Di satu sisi, dia lega Sang Profesor tidak marah. Di sisi lain, Joko merasa heran dan penasaran dengan pintu kaca yang terkunci itu.
Tiba-tiba Joko menyadari kesalahan yang mungkin terjadi. Kenapa pintu kaca tadi tidak ditariknya? Jangan-jangan desain bukaan pintu kaca itu keluar, bukan ke dalam? Kalau itu benar terjadi, berarti ada sebuah kesalahan komunikasi, yang mengakibatkan Joko harus menunggu berjam-jam. Kesalahannya adalah anggapan bahwa semua pintu didesain dengan bukaan ke dalam, sehingga untuk membukanya harus didorong.
Joko betul-betul menyesal tidak mencoba menarik pintu kaca itu. Joko juga menyesalkan, kenapa sebuah universitas yang besar tidak mendesain pintunya secara baik. Setidaknya, pintu kaca seperti itu diberi tulisan “Tarik”, “Dorong”, atau “Geser”, sehingga tidak membingungkan orang-orang yang hendak membukanya.
Saya hanya tertawa saja mendengar kisah si Joko. Katanya, teman-teman sekelas juga menertawakan kejadian itu. Pengalaman pintu kaca juga pernah dialami teman sekelas, namun mereka tidak sampai batal konsultasi karena kesalahan ini. Mereka cepat menyadari dengan mencoba menarik pintu. Joko…Joko, lain kali TARIK saja ya. Kalau tidak bisa coba di GESER. Pokoknya jangan terburu-buru pulang.
0 komentar