Sehat Jiwa Melalui Komunikasi Keluarga
October 09, 2016
Tanggal 10 Oktober ini diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa. Meskipun tidak semeriah hari nasional yang lain, namun penting untuk menjadikan hari ini sebagai momentum evaluasi pembangunan kesehatan secara holistis. Sebagaimana ungkapan bahasa Latin men sana in corpore sano, yang kurang lebih menyatakan pentingnya keseimbangan antara kesehatan jiwa dan kesehatan raga.
Pada kenyataannya, perhatian terhadap kesehatan jiwa dapat dikatakan masih kurang. Tekanan pekerjaan yang membuat stress, kecenderungan menutup diri, hingga kegalauan karena putus cinta dianggap sesuatu yang biasa saja. Ketika seseorang telah mengidap skizofrenia, barulah ada tindakan yang berarti untuk menanganinya.
Seseorang yang memiliki jiwa sehat biasanya merasa nyaman dengan diri sendiri ataupun orang lain. Ketika ada permasalahan dalam hidup, orang yang jiwanya sehat mampu mengatasi tanpa terlarut terlalu dalam. Sebaliknya, orang-orang yang mengalami gangguan jiwa biasanya selalu dihantui masalah dalam kehidupannya. Bahkan gangguan jiwa ini menurut Freud dapat mengakibatkan simptom fisik seperti gangguan kerja jantung, nyeri kepala, atau mungkin gangguan tidur.
Peran Komunikasi Keluarga
Tidak ada yang dapat menafikan peran keluarga dalam kehidupan manusia. Termasuk di dalam peranan keluarga adalah terhadap orang dengan gangguan jiwa. Beberapa penelitian menyatakan betapa keluarga memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan jiwa seseorang. Penelitian Santosa (1992) misalnya mengatakan bahwa kecenderungan neurotik remaja berhubungan dengan ukuran keluarganya. Remaja yang memiliki keluarga besar cenderung memiliki kecenderungan penyakit neurotik dibanding mereka yang berasal dari keluarga kecil. Hal ini disebabkan oleh pola komunikasi yang ditengarai berbeda antara keluarga besar dan keluarga kecil. Keluarga besar diindikasikan seringkali melakukan komunikasi yang bersifat otoriter demi mencegah terjadinya kekacauan yang ditimbulkan oleh banyaknya sistem interaksi di dalam keluarga.
Penelitian lain yang melihat peranan keluarga dalam kesehatan jiwa seseorang dilakukan juga oleh Hidayat et al. (1996). Menurut penelitian ini kepencemasan sosial anak tumbuh melalui proses belajar kognitif sosial. Faktor-faktor yang menjadi sumber adalah kepencemasan sosial orang tua, praktek pengasuhan, dan keharmonisan keluarga. Dengan kata lain, ada faktor kurangnya komunikasi dalam keluarga yang berperan dalam munculnya kepencemasan sosial anak.
Menilik dua penelitian tersebut di atas, menjadi penting mewujudkan pelibatan keluarga dalam proses pencegahan maupun penanganan gangguan jiwa. Pada proses pencegahan gangguan jiwa, pelibatan keluarga dapat diwujudkan melalui promosi kesehatan. Promosi kesehatan ternyata dapat menjadi pembeda dalam peningkatan pengetahuan dan sikap tentang deteksi sakit jiwa (lihat Susanto et al., 2006). Penting juga diberikan pengertian mengenai gejala dini sakit jiwa, serta bagaimana penanganan awal dalam lingkungan keluarga, serta pola komunikasi yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit yang lebih parah. Untuk penanganan gangguan jiwa, keluarga hendaknya memahami bagaimana penanganan pasien dengan gangguan jiwa berat. Alih-alih dipasung, pasien yang mengalami gangguan jiwa berat sebaiknya dirujuk pada rumah sakit terdekat sehingga mendapatkan penanganan yang memadai. Tata urutan penanganan hingga pasien sakit jiwa sampai di rumah sakit tidak mungkin dilakukan apabila tidak dipahami prosedurnya oleh keluarga pasien. Sekali lagi, komunikasi keluarga yang baik sangat dibutuhkan untuk menjalin kesepahaman dalam penanganan pasien yang mengalami sakit jiwa berat.
Komunikasi Keluarga Sehat, Jiwa Sehat
Secanggih apapun teknologi komunikasi dan informasi, tetap tidak dapat menggantikan komunikasi tatap muka. Pun demikian halnya dengan komunikasi tatap muka dalam keluarga, tidak dapat tergantikan oleh teknologi apapun. Menjadi penting bagi anggota keluarga untuk menciptakan situasi komunikasi tatap muka yang nyaman. Seketika ada permasalahan, anggota keluarga dapat mengomunikasikannya. Sehingga, saat ada salah satu anggota keluarga yang terkena penyakit jiwa, dapat segera dideteksi secara dini.
Kunci komunikasi keluarga yang sehat salah satunya adalah budaya menghargai (lihat Andayani, 2002). Termasuk di dalamnya adalah ungkapan-ungkapan ekspresif terhadap hal-hal baik yang dilakukan anggota keluarga. Akhirnya, muara dari peringatan Hari Kesehatan Jiwa adalah semangat untuk menjadikan keluarga sebagai tempat berangkat serta tempat kembali bagi anggota keluarganya. Sehingga, tidak ada lagi pasien sakit jiwa yang gagal dideteksi secara dini atau mendapat perlakuan salah dalam proses penanganan serta penyembuhannya. Semoga.
Referensi:
Andayani, B. (2002). Pentingnya Budaya Menghargai dalam Keluarga. Buletin Psikologi, 10(1), 1-8.
Hidayat, R., Santoso, S. W., & Indati, A. (1996). Anteseden Perkembangan Diri Kepencemasan Sosial. Jurnal Psikologi, 23(1), 21-32. doi: 10.22146/jpsi.10039
Santosa, T. (1992). Pengaruh Keluarga Besar terhadap Perkembangan Kecenderungan Neurotik pada Remaja. Berita kedokteran masyarakat, 8(2), 89-94.
Susanto, J., Prabandari, Y. S., & Sumarni. (2006). Promosi Kesehatan pada Keluarga Penderita dalam Deteksi Awal Kekambuhan Skizofrenia Pascapengobatan. Berita kedokteran masyarakat, 22(2), 61-67.
Foto: dy0719.com
0 komentar