Media Tidak Pernah Netral?
July 29, 2016Pergantian Pak Menteri Sudirman Said ini entah kenapa mengingatkan saya pada kejadian beberapa bulan lalu yang sempat menghebohkan Indonesia, yakni kasus “Papa Minta Saham”. Waktu itu, bersama Pak Ma’roef Sjamsuddin, Pak Sudirman Said menjadi saksi pencatutan nama presiden untuk meminta bagian saham dari PT. Freeport. Tersangkanya adalah Pak Setya Novanto, Ketua DPR yang berasal dari Partai Golkar. Diindikasikan ada pelanggaran kode etik sebagai ketua dewan yang turut campur dalam perbaruan kontrak PT. Freeport yang konon akan jatuh tempo pada tahun-tahun ini.
Kehebohan kasus “Papa Minta Saham” mencapai klimaksnya ketika sidang kode etik yang dilakukan oleh MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan) disiarkan secara langsung melalui televisi parlemen dan direlay oleh banyak stasiun televisi swasta. Sebenarnya ada beberapa sidang yang dilakukan oleh MKD, namun yang kebetulan saya tonton adalah ketika Pak Sudirman dan Pak Ma’roef menjadi saksi (seingat saya sidang Pak Novanto tidak disiarkan secara langsung).
Ketika menonton siaran langsung sidang itulah saya merasakan ada keberpihakan oleh beberapa stasiun televisi yang menyiarkan langsung acara tersebut. Misalnya saja, stasiun televisi A yang cenderung memilih narasumber pendukung partai Pak Novanto. Sebaliknya, stasiun televisi B memilih para pendukung oposannya. Tidak hanya itu, diksi yang dipilih oleh para anchor pun seakan menguatkan keberpihakan stasiun televisi terhadap salah satu pihak. Saya sebagai penonton merasa digiring untuk menghakimi seseorang. Hal ini ternyata ditemukan juga jauh-jauh hari sebelumnya dalam sebuah penelitian yang melihat salah satu stasiun televisi berita nasional yang seringkali menunjukkan sikap keberpihakan, dengan menggunakan banyak variasi kosakata dan metafora dalam pemberitaannya (Agung : 2010). Sepertinya adagium yang selama ini saya ketahui bahwa media tidak pernah netral benar adanya.
Sebenarnya apa sih maksud media menggiring khalayaknya pada perspektif tertentu? Banyak kajian yang dapat digunakan untuk menebak tujuan media. Bisa jadi ini berkaitan dengan apa yang dikenal dalam kajian komunikasi sebagai ‘agenda setting”. Media, dengan segenap ideologinya, berkepentingan untuk mengarahkan khalayak agar mereka berpikir dan bertindak sebagaimana yang dikehendaki. Kurt Lang dan Gladys Engel Lang (dalam Tamburaka: 2012) mengatakan bahwa : “Media masa memaksakan perhatian pada isu-isu tertentu. Media massa membangun citra publik tentang figur-figur politik. Media massa secara konstan menunjukkan apa yang hendaknya dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam masyarakat.” Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa: (1) masyarakat pers dan media tidak mencerminkan kenyataan, mereka menyaring dan membentuk isu; dan (2) konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain.
Para peneliti komunikasi mengenal berbagai macam perspektif discourse untuk meneliti fenomena seperti yang saya ceritakan itu, seperti pendekatan Derrida dengan “deconstruction”, Michel Foucault dengan “genealogy and social criticism”, Frederic Jameson dengan analisis Marxist, hingga Julia Kristeva dengan interpretasi feminis (Ida: 2014). Agung (2010) misalnya, menebak besarnya kepentingan pasar dalam penayangan sebuah wacana berita dibanding kualitas persyaratan berita itu sendiri. Peneliti komunikasi lainnya mungkin akan mendapati hasil lain sesuai perspektif wacana yang digunakannya.
Kembali pada kasus “Papa Minta Saham”, saya kebetulan mengabadikan tiga gambar dari siaran langsung sidang MKD. Tiga gambar tersebut saya dapatkan dari siaran TV One, MetroTV, dan KompasTV. Memang ketiga stasiun televisi ini termasuk yang menjadi rujukan pemberitaan di Indonesia. Dua stasiun televisi pertama yang saya sebutkan, seringkali sekali berseberangan pandangan. Saya mengamati perbedaan pandangan ini sejak zaman Pilpres pada tahun 2014 yang lalu. Ternyata ketika wacana yang menarik perhatian publik seperti kasus “Papa Minta Saham” terjadi, kedua stasiun televisi ini juga terlihat berseberangan lagi.
Berikut ini beberapa gambar yang saya dapatkan melalui kamera ponsel saya (maaf kalau buram ya).
Gambar ini adalah judul yang dipilih oleh Kompas TV: Kesaksian Sudirman di MKD. Saya melihat judul ini lebih bersifat deskriptif (alih-alih mengatakan lebih netral) dibandingkan kedua televisi sebelumnya. Entah bagaimana dengan pemirsa yang lain, judul seperti ini seakan mengatakan bagaimana stasiun televisi yang dimiliki oleh Kompas-Gramedia grup ini sedang membangun kredibilitasnya. Jadi jangan salahkan saya kalau pada akhirnya lebih sering menonton televisi ini dibandingkan televisi berita yang lain, hehehe.
Setelah semua kejadian yang sempat menjadi pembicaraan hangat di masyarakat (bahkan sampai-sampai ada yang mengedarkan transkrip pembicaraan antara Pak Setya Novanto dan Pak Ma’roef), Pak Soedirman akhirnya harus mengepak barang-barangnya di kantor Kementerian ESDM. Entah, apakah reshuffle ini berkaitan dengan gaduh kasus “Papa Minta Saham” atau tidak.
Referensi:
Agung, M. (2010). Kendali Pasar dalam Pemberitaan di Televisi Swasta Nasional. Jurnal Konvergensi: Vol. 1 No. 1 pp. 41-46
Tamburaka, A. (2012). Agenda Setting Media Massa. Jakarta: Rajawali Pers
Ida, R. (2014). Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta: Prenada Media Group
Kredit foto: stanfordflipside.com dan koleksi pribadi
0 komentar