Gagal Fokus, Gagal Paham

April 10, 2015


Tampaknya komunikasi di masa sekarang telah menjadi kunci peradaban dunia. Ramalan Marshall McLuhan 50 tahun yang lalu pada bukunya Understanding Media (1964) tentang desa global, kemudian ramalan Alvin Toffler tentang gelombang ketiga sejarah umat manusia yang mendasarkan pada teknologi informasi pada bukunya The Third Wave (1986) telah benar-benar terjadi bahkan terlampaui. Bumi yang dahulu dianggap sangat luas telah mengerut menjadi sebuah desa raksasa yang terjalin melalui, dan menjadi tergantung pada wahana yang bernama Internet. Kita sekarang telah bertetangga dekat dengan orang-orang dari Inggris seperti boyband One Direction atau dengan orang-orang dari Korea seperti 2PM. Tak hanya bertetangga dekat dengan mereka, kita juga semakin tergantung untuk selalu kepoin kegiatan mereka sehari-hari. Lagi-lagi melalui wahana Internet.

Kedekatan kita dengan orang-orang dari Inggris atau Korea ini membutuhkan kemampuan komunikasi yang baik. Masih menurut Toffler, akan ada nilai-nilai baru yang dibentuk oleh interaksi yang terjadi antarpengguna internet. Misalnya saja, kita ditantang oleh tetangga-tetangga boyband kita dari Inggris dan Korea tadi untuk lebih memahami konteks budaya dalam komunikasi yang terjadi dengan mereka melalui internet. Akhir-akhir ini kita juga dituntut untuk memahami tetangga ISIS kita di Suriah yang memvideokan adegan pemenggalan kepala, sesuatu yang belum pernah terbayangkan sebelumnya ketika mereka masih menjadi tetangga yang sangat jauh sebelum era Youtube. Nilai-nilai baru seperti yang dikatakan Toffler terbentang dari mulai variasi pesan komunikasi, karakteristik komunikasi interpersonal, etika komunikasi, konteks komunikasi, hingga budaya masyarakat.

Hal lain yang kita rasakan dengan semakin mendekatnya berbagai komunitas dunia melalui wahana internet adalah semakin mudahnya mendapatkan informasi. Kita dengan mudahnya memasang meme “Di situ kadang saya merasa sedih” di status media sosial, hanya sehari setelah wawancara sang Polwan dengan sebuah stasiun televisi. Kita juga langsung searching konten video Olga di youtube hanya beberapa jam setelah sang artis serbabisa tersebut meninggal. Begitu cepatnya informasi beredar di dunia maya, sehingga hal-hal yang dahulu dianggap remeh temeh seringkali menjadi bahan obrolan menarik di Internet, seperti berita tentang komentar seorang artis kontroversial yang rela menjadi istri kedua yang menuai banyak komentar pembaca. Demikianlah informasi menjadi sangat mudah diakses dan sangat banyak tersaji di depan kita. Mudah dan banyaknya informasi akhirnya secara perlahan menjadikannya semakin menumpuk dan semakin dirasa tidak penting seperti sampah. Ya, sampah informasi.

Sampah informasi ini sayangnya selalu berseliweran di depan kita, karena kehidupan kita yang selalu bersanding dengan layar. Menyitir pendapat Yasraf A. Piliang bahwa mau tidak mau kita saat ini memang hidup di dunia layar. Tengok saja ada layar hape, layar televisi, layar laptop, layar tablet, layar jam pinta, bahkan hingga ATM pun ada layarnya. Sayangnya, sekali lagi layar itulah yang menyampahi kita dengan tumpukan informasi yang seringkali tidak dibutuhkan.

Layar Informasi
Semakin lama kita berinteraksi dengan layar-layar tersebut, sebenarnya semakin banyak kita mengonsumsi sampah (selama layar tersebut terhubung dengan komunitas tetangga dekat di dunia maya)! Ini sekedar cerita, saya bahkan kadang harus mematikan saluran komunikasi antartetangga dunia maya—internet, agar tidak merasa disampahi mereka. Menulis artikel ini pun internet saya matikan, setidaknya enggak dilongok-longok terus. Kalau tidak, sepertinya bakalan sulit menyelesaikan tulisan dalam satu kali duduk. Klik sana, klik sini, tengok sana, tengok sini, akhirnya gagal fokus.

Hal yang ingin saya katakan setelah dari tadi ngalor ngidul nggak jelas (gaje) adalah : di era ramalannya McLuhan dan Toffler sekarang ini, yang paling berharga sebenarnya bukan informasi lagi. Bukan pada pesan. Tapi pada pilihan kita terhadap pesan, fokus kita kepada pesan. Saran saya jangan terlalu banyak dengarkan bisik-bisik tetangga (mirip lagunya elvy sukaesih sang Ratu Dangdut ya) dunia maya yang nggak penting-penting banget. Karena begitu kita banyak mendengar bisik-bisik itu, kita gagal fokus. Konsekuensinya ya gagal paham. Gagal total.

You Might Also Like

0 komentar

Friends

Galeri

Ada warna biru muda di lingkaran ini. Mengingatkan cerahnya langit pascahujan
Biarkanlah balon-balon bebas itu beterbangan, sebebas warna-warna yang menyelimutinya
Budaya batik yang berinovasi Mencerahkan masa depan tradisi
Cinta tidak selamanya berwarna merah muda, bisa juga kuning oranye
Ketika warna ungu menjadi ceria, dia bersama hijau dan kuning istimewa