Beras Kondangan
May 09, 2015
Negeri kita Indonesia ini merupakan negara yang kaya, sangat kaya malah. Indonesia kaya akan budaya dan tentu saja alamnya. Kekayaan budaya
tercermin dari kebhinnekaan adat istiadat suku-suku yang mendiami 34 propinsi
di Indonesia. Sementara kekayaan alam Indonesia tampak dari lautnya yang berlimpah ikan, hutannya rimbun dan menghasilkan jutaan kubik kayu,
demikian pula tambang yang tersebar di hampir setiap pulau. Tanah
Indonesia juga sangat subur dan mampu digunakan bertumbuh oleh hampir setiap tanaman.
Kedua, produksi beras Indonesia masuk dalam 3 besar dunia. Indonesia kembali menjadi yang ketiga setelah China dan India. Namun begitu, sebenarnya Indonesia belum pernah lagi dapat memenuhi kebutuhan beras domestik. Menurut catatan FAO, hanya pada kurun 2008/2009 – 2010/2011 produksi dan konsumsi beras di Indonesia berimbang. Setelahnya hingga saat ini Indonesia masih impor beras. Bahkan pada dua tahun terakhir impor beras mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Misalnya saja sepanjang Januari – Juni 2014 impor beras mencapai 176.227 ton. Kemudian pada periode Juli hingga Agustus 2014 Indonesia mengimpor beras sejumlah 500.000 ton.
Jadi,
beras kondangan itu kualitasnya setara dengan beras Raskin. Kalau ingin tahu
kualitas beras Raskin yang sempat ngetrend beberapa waktu lalu bisa digoogling
saja. Lalu apa maksud sebenarnya beras kondangan dipilihkan yang berkualitas
jelek? Apa tidak malu? Atau mungkin ada maksud lainnya? Entahlah, ketika di
warung beras pun saya lupa menanyakannya.
Salah satu dari
keanekaragaman di Indonesia adalah makanan, baik jenis maupun adat makannya.
Kali ini saya akan membahas makanan yang dikonsumsi oleh mayoritas penduduk
Indonesia: beras. Makanan pokok yang satu ini memang menarik untuk dibahas
karena beberapa hal. Pertama, Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan
tingkat konsumsi beras tertinggi di dunia. Sebagai perbandingan Indonesia
mengkonnsumsi 130 kg beras per kapita, sedangkan Jepang hanya 30 kg per kapita.
Indonesia praktis menjadi 3 besar negara konsumen beras dunia, setelah China
dan India.
Kedua, produksi beras Indonesia masuk dalam 3 besar dunia. Indonesia kembali menjadi yang ketiga setelah China dan India. Namun begitu, sebenarnya Indonesia belum pernah lagi dapat memenuhi kebutuhan beras domestik. Menurut catatan FAO, hanya pada kurun 2008/2009 – 2010/2011 produksi dan konsumsi beras di Indonesia berimbang. Setelahnya hingga saat ini Indonesia masih impor beras. Bahkan pada dua tahun terakhir impor beras mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Misalnya saja sepanjang Januari – Juni 2014 impor beras mencapai 176.227 ton. Kemudian pada periode Juli hingga Agustus 2014 Indonesia mengimpor beras sejumlah 500.000 ton.
Ketiga, ternyata Indonesia
memiliki keragaman beras terbanyak di dunia. Ini dimungkinkan karena hampir
setiap daerah memiliki varietas beras yang menjadi andalan. Sebut saja beras
Pandanwangi, Rojolele, Delanggu, Cianjur,
Bramo, Solok dan masih banyak beras-beras varietas lain. Tentu saja
masing-masing beras memiliki harga yang berbeda-beda tergantung kualitasnya.
Keempat, banyak budaya yang
berkaitan dengan beras ini. Misalnya saja ketika membangun rumah, beberapa
orang percaya untuk memberikan setangkai padi pada kuda-kuda rumah. Konon agar
pembangunan rumahnya aman. Beras dalam bentuknya yang sudah diubah menjadi nasi
juga digunakan sebagai bentuk rasa syukur dalam wujud tumpeng. Tumpeng yang
bentuknya seperti kerucut ini dilengkapi dengan berbagai lauk, dan kemudian
disantap bersama. Beras digunakan pula untuk menyumbang dalam acara kondangan.
Biasanya adat menyumbang beras dalam acara kondangan dilakukan di
kampung-kampung. Penduduk perkotaan yang tampaknya enggan membawa barang berat
ketika kondangan, lebih memilih menyumbangkan uang. Lebih fleksibel digunakan
katanya.
Sesuai judul, saya pada
kesempatan ini akan bercerita mengenai pengalaman yang berkaitan dengan budaya
beras yang digunakan sebagai sumbangan dalam acara kondangan. Mengingat pengalaman
ini merupakan ingatan masa kecil kemudian bercampur dengan gegar budaya yang
saya alami di perantauan, mungkin di sana-sini ada beberapa pemaparan yang
meleset dari kenyataan sebenarnya.
Di kampung saya dulu, orang
yang menyelenggarakan acara kondangan selalu melibatkan tetangga. Istilah
Jawanya sambatan atau minta tolong
dengan tanpa diupah. Anak kecil seperti saya terkadang dilibatkan dalam
beberapa hal remeh temeh seperti membantu mengeluarkan makanan (karena model
kondangannya belum prasmanan), atau membawa bekas wadah makanan ke belakang.
Namun kadang sebuah peran penting juga menghampiri, seperti menghitung
sumbangan. Peran yang ini hanya sekali saya jalani, kebetulan karena yang punya
hajat masih saudara.
Menjalani peran sebagi
penghitung sumbangan sukar-sukar gampang. Secara garis besar sumbangan ada 3
macam; uang, kado, dan beras. Uang menjadi bentuk sumbangan paling merepotkan
bagi penghitungnya. Kita harus menulis nama dalam amplop, menyobeknya dengan
hati-hati (agar tidak kena uangnya), dan menulis nama penyumbangnya dalam
sebuah buku besar seukuran buku kas. Kenapa ditulis? Tentu saja agar memudahkan
apabila yang punya hajat hendak “membalas” sumbangan tersebut (di kampung
sumbangan masih dianggap sebagai hutang yang harus dibayar). Adapun kado dan
beras tinggal ditempatkan dalam sebuah wadah yang sudah disediakan. Kado
biasanya berasal dari teman-teman pengantin, sedangkan beras biasanya berasal
dari ibu-ibu (jadi suaminya bawa uang, istrinya bawa beras).
Sekian tahun kemudian, ternyata
ingatan akan kondangan secara tak sengaja dibongkar lagi. Kejadiannya tentu
saja ketika setelah berkeluarga saya harus berinteraksi dengan masyarakat luas,
termasuk dalam acara kondangan. Saya pernah menyewa rumah di pinggiran
Purwokerto dan menyaksikan ternyata adat menyumbang dalam bentuk beras masih
berlaku. Kalau di kampung saya dulu ibu-ibu membawa beras menggunakan baskom
yang terbuat dari logam kemudian dibungkus menggunakan kain taplak, di
Purwokerto lebih moderen. Ibu-ibu di sini menggunakan boks plastik yang sudah
ada gantungannya, jadi tidak terlalu merepotkan. Adapun isinya masih tidak jauh
berbeda: beras.
Ada satu keunikan berkaitan
dengan beras yang dibawa oleh ibu-ibu ketika kondangan. Suatu ketika saya
belanja di warung yang sangat antri oleh ibu-ibu. Salah satunya ibu yang hendak
beli beras. “Aku tuku beras lah (Aku beli beras)!”, katanya. “Nggo kondangan,
ana mbok (Untuk kondangan, ada kan)?”
“Ya ana, tapi siki regane
mandan larang (Ya ada, tapi sekarang harganya agak mahal)”, kata si penjual. “Kondangan
sapa sih (Kondangan siapa sih)?” tanya si penjual lagi. Dialog mereka pun
berlanjut dengan gosip dan bumbu-bumbu percakapan lainnya.
Saya katakan varietas beras
untuk kondangan unik karena ketika si pembeli mengatakan “beras kondangan,”
penjual langsung paham. Penjual langsung memilihkan beras dengan kualitas yang
paling jelek di toko itu, dengan harga yang tentu saja murah. Hal ini sudah
menjadi semacam konvensi umum. Apabila suatu ketika yang punya hajat membalas
kondangan, pasti melakukan hal serupa.
Saya pernah melakukan
penelitian di daerah Kebumen dengan tema krisis yang dialami masyarakat. Waktu itu
pada sebuah kegiatan FGD, saya bertanya mengenai program-program pemerintah
yang dirasakan masyarakat ketika terjadinya krisis. Salah seorang peserta FGD
berkata, “Ada juga itu program Raskin, warga diberi beras untuk masak.”
“Lha, tapi rika ora tau
mangan nganggo beras kuwe mbok (Lha, tapi kamu nggak pernah makan pakai beras
itu kan)?” sambung temannya. “Palingan deijolna maring warung, angger ora ya
nggo kondangan (Paling-palin ditukarkan ke toko, kalau tidak ya dipakai untuk
kondangan).” Lanjut temannya lagi. Seisi ruangan tertawa mendengar ucapan itu.
0 komentar