Kemampuan dasar yang ditekankan dalam pembelajaran ilmu komunikasi adalah membaca, menulis, dan berbicara. Setidaknya itu yang saya tahu dari beberapa konferensi pakar ilmu komunikasi dalam negeri. Tampaknya tidak ada yang salah, namun bisa jadi ada yang kurang. Ya, pembaca tentu dapat menebak apa yang kurang. Betul, pembelajaran ilmu komunikasi perlu kemampuan mendengar.
Sebenarnya, kemampuan mendengar atau menyimak ini sudah diperhatikan oleh beberapa pakar komunikasi. Setidaknya secara rasional kita bisa merenungi bahwa organ pendengaran kita lebih banyak jumlahnyadaripada organ berbicara. Mungkin ini sebagai salah satu pertanda dari Tuhan bahwa harusnya kita mendengarkan lebih banyak daripada berbicara.
Telinga kita juga merupakan organ yang unik tata letaknya, berada di kiri dan kanan kepala. Ini membedakan telinga dengan mata yang dua-duanya berada di bagian kepala. Mungkin ini juga pertanda dari Tuhan bahwa seharusnya ‘wilayah’ kerja telinga lebih luas daripada mata. Luasnya ‘wilayah’ kerja membuat manusia seharusnya memelajari cara kerja telinga tersebut dengan lebih intensif.
Berbicara tentang telinga, saya pernah berkunjung ke sebuah candi Buddha. Uniknya, patung Buddha digambarkan sebagai orang dengan telinga yang cukup besar. Saya coba menelusuri, kenapa patung-patung ini menggambarkan Buddha yang punya telinga besar. Ternyata, telinga besar menggambarkan Buddha sebagai orang yang bijaksana. Saya coba menelusuri foto-foto di internet, ternyata hampir semua gambar dan patung Budha memiliki telinga yang besar.
Sebenarnya, kemampuan mendengar atau menyimak ini sudah diperhatikan oleh beberapa pakar komunikasi. Setidaknya secara rasional kita bisa merenungi bahwa organ pendengaran kita lebih banyak jumlahnyadaripada organ berbicara. Mungkin ini sebagai salah satu pertanda dari Tuhan bahwa harusnya kita mendengarkan lebih banyak daripada berbicara.
Telinga kita juga merupakan organ yang unik tata letaknya, berada di kiri dan kanan kepala. Ini membedakan telinga dengan mata yang dua-duanya berada di bagian kepala. Mungkin ini juga pertanda dari Tuhan bahwa seharusnya ‘wilayah’ kerja telinga lebih luas daripada mata. Luasnya ‘wilayah’ kerja membuat manusia seharusnya memelajari cara kerja telinga tersebut dengan lebih intensif.
Berbicara tentang telinga, saya pernah berkunjung ke sebuah candi Buddha. Uniknya, patung Buddha digambarkan sebagai orang dengan telinga yang cukup besar. Saya coba menelusuri, kenapa patung-patung ini menggambarkan Buddha yang punya telinga besar. Ternyata, telinga besar menggambarkan Buddha sebagai orang yang bijaksana. Saya coba menelusuri foto-foto di internet, ternyata hampir semua gambar dan patung Budha memiliki telinga yang besar.
Uniknya, beberapa tokoh nasional yang saya ketahui juga mempunyai telinga besar. Beberapa tetangga, keluarga, ada juga yang mempunyai telinga besar. Saya amati, mereka cukup bijaksana dan arif dalam langkah hidupnya. Lalu bagaimana dengan manusia yang bertelinga kecil seperti saya? Apakah kemudian saya tidak termasuk orang yang cukup bijaksana? Mudah-mudahan tidak. Yang jelas, meskipun ada orang-orang yang tidak beruntung memiliki telinga besar, saya rasa masih ada kesempatan untuk menjadi bijaksana. Ya, dengan belajar MENDENGAR.
Foto:
vividlife.me