Siaran iklan dikatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan (pasal 1 ayat 5). Iklan sendiri merupakan salah satu faktor kebudayaan paling penting yang mencetak dan merefleksikan kehidupan manusia saat ini. Iklan ada di mana-mana, sebagai bagian tak terelakkan dari kehidupan setiap orang. Bahkan, seandainya seseorang tidak membaca surat kabar atau menonton televisi, berbagai imaji yang dipasang di lingkungan urban sekitar kita merupakan hal yang tidak terhindarkan. Dengan menjalari semua media, dan tidak dibatasi pada siapa pun, periklanan membentuk sebuah suprastruktur luas dengan eksistensi yang tampak otonom dan disertai pengaruh yang sangat besar.
Adalah sifat iklan yang ada di mana-mana (ubiquitous) serta ketahanannya sebagai ‘bentuk’ yang dapat dikenali inilah yang mengindikasikan signifikansi periklanan, terlepas dari fakta fungsinya dalam media teknis yang berbeda dan juga terlepas dari ‘muatan’ yang berbeda (yaitu berbagai pesan yang berbeda tentang berbagai produk yang berbeda). Periklanan memiliki sebuah fungsi, yakni menjual benda-benda kepada konsumen. Namun, periklanan memiliki fungsi lainnya dalam banyak hal, menggantikan fungsi yang secara tradisional dipenuhi oleh seni dan agama. Periklanan menciptakan struktur-struktur makna (Williamson, 2007: 1-2).
Terdapat ada tiga produk dalam dunia periklanan yang selalu menimbulkan kontroversi, yaitu: alkohol, rokok dan kondom (Tanudjaja : 2007). Dunia praktisi periklanan menyebutnya sebagai produk AKROBAT, akronim dari: Alkohol, Kondom, Rokok, dan Obat-obatan. Produk-produk tersebut selalu mendapatkan ‘perlakuan khusus’. Khusus untuk rokok, WHO, organisasi kesehatan dunia yang bernaung dibawah payung Perserikatan Bangsa Bangsa telah menghimbau supaya perusahaan-perusahaan tidak lagi memanfaatkan dana dari produsen-produsen rokok bagi keperluan kegiatan sponsorship.
Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 mencantumkan iklan alkohol dan rokok dalam pasal 46 ayat 3b dan 3c yang melarang promosi minuman keras, bahan/zat adiktif, dan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok. Sedangkan mengenai obat-obatan diatur dalam pasal 36 ayat 5b, bahwa isi siaran dilarang menonjolkan penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Adapun iklan kondom tidak disebutkan dalam undang-undang ini.
Iklan merupakan salah satu alat pemasaran produk industri rokok yang efektif. Studi dari Universitas Hamka dan Komnas Anak tahun 2007 menyatakan bahwa 99,7 persen anak melihat iklan di televisi, 68 persen di antaranya berkesan positif pada iklan rokok, dan 50 persen lebih percaya diri seperti di iklan (Harmadi, 2009). Menurut penelitian penulis sendiri, beberapa iklan rokok di televisi membawa mitos-mitos lelaki maskulin yang harus menjalin persahabatan, mempunyai kemandirian, hingga dikaitkan dengan mitos lelaki pemberani (Runtiko, 2009). Sehingga, wajar apabila anak-anak dan remaja berkesan positif dan lebih percaya diri setelah melihat iklan-iklan yang ‘bagus’ tersebut.
Tampaknya, iklan rokok tidaklah sesederhana kelihatannya. Sehingga, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah: Apakah regulasi yang tercantum dalam Undang-Undang Penyiaran telah mencukupi untuk mengatur iklan rokok? Kalau tidak, bagaimana hendaknya regulasi tersebut? Lalu, faktor-faktor apakah yang hendaknya menjadi pertimbangan regulasi iklan rokok?
Regulasi Iklan Rokok
Setidaknya ada tiga hal mengapa regulasi penyiaran dipandang penting (Mufid, 2005 : 67-70). Pertama, dalam iklim demokrasi kekinian, salah satu urgensi yang mendasari penyusunan regulasi penyiaran adalah hak asasi manusia tentang kebebasan berbicara (freedom of speech), yang menjamin kebebasan seseorang untuk memperoleh dan menyebarkan pendapatnya tanpa adanya intervensi, bahkan dari pemerintah.
Kedua, demokrasi menghendaki adanya ‘sesuatu’ yang menjamin keberagaman (diversity) politik dan kebudayaan, dengan menjamin kebebasan aliran ide dan posisi dari kelompok minoritas. Tentu saja, kebebasan minoritas ini dalam artian positif, dan tidak berlaku bagi kalangan minoritas yang ‘menyimpang’, misalnya saja yang berkaitan dengan pornografi.
Ketiga, terdapat alasan ekonomi mengapa regulasi media diperlukan. Tanpa adanya regulasi media, cenderung akan muncul praktik-praktik monopoli, oligopoli, dan komersialisasi oleh kelompok yang mempunyai kemampuan finansial.
Regulasi tentang iklan rokok mengalami pasang surut seiring bergantinya rezim yang memerintah negeri ini. Setidaknya semenjak era Orde Baru, kebijakan tentang rokok telah disinggung dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Rokok, yang dikategorikan sebagai zat adiktif, diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Kemudian, produksi, peredaran dan penggunaan zat adiktif ini harus memenuhi standar dan persyaratan yang ditentukan. Kebijakan yang kemudian diamandemen ini belum menyentuh masalah iklan rokok. Bahkan, produk perundang-undangan ini juga tidak menyebut rokok secara eksplisit.
Pada tahun 1997 muncul kebijakan baru tentang iklan rokok. Peraturan ini dituangkan dalam UU No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran. Regulasi ini secara eksplisit menyebut tentang rokok dan menyatakan bahwa siaran niaga dilarang memuat iklan yang menggambarkan penggunaan rokok. Mulai tahun diundangkannya undang-undang ini, iklan rokok tidak lagi menayangkan model yang sedang merokok. Sebelumnya, visualisasi model yang sedang menghisap rokok menjadi trend gaya iklan rokok.
Era Presiden Habibie terjadi banyak ‘gebrakan’ dalam hal kebijakan terhadap industri rokok dan tembakau. Setidak-tidaknya terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dan tidak langsung dengan produk rokok dan tembakau. Pertama, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu poinnya, konsumen diberi hak untuk melakukan gugatan class action atas kerugian yang dialaminya. Poin ini banyak digunakan oleh LSM maupun unsur masyarakat yang peduli terhadap dampak rokok dan tembakau untuk melakukan gugatan terhadap industri rokok. Kedua, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Perusahaan pers dilarang memuat iklan peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok. Poin ini merupakan sebuah ‘pukulan telak’ bagi industri periklanan, terutama iklan rokok. Mereka dipaksa untuk kreatif agar wujud dan penggunaan rokok tidak muncul dalam iklan. Menurut beberapa kalangan, semenjak adanya aturan ini, iklan rokok justru menjadi lebih ‘berwarna’ dan bagus. Ketiga, PP No. 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Kebijakan ini kontroversial, banyak pihak yang menolaknya, terutama produsen rokok, petani tembakau dan media. Bahkan, sebuah departemen berada pada posisi menolak peraturan ini. Salah satu poin yang kontroversial adalah bahwa iklan rokok hanya boleh ditayangkan di media cetak dan media luar ruang. Ini berarti televisi dan radio akan kehilangan salah satu penyumbang terbesar iklan mereka.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, muncul PP No. 28 Tahun 2000 tentang perubahan PP No. 81 Tahun 1999 mengenai Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Peraturan ini sekaligus merespon kontroversi mengenai PP No. 81 Tahun 1999. Isi dari peraturan pemerintah ini antara lain: (1) iklan rokok pada media elektronik hanya dapat dilakukan pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat (Pasal 17 ayat 2), dan (2) penyesuaian kandungan kadar tar dan nikotin maksimum, 7 (tujuh) tahun untuk rokok kretek buatan mesin dan tangan, dan 10 tahun untuk rokok kretek buatan tangan. Tindak lanjut dari peraturan ini, antara lain dikatakan bahwa pemerintah akan membentuk Lembaga Pengkajian Rokok (LPR).
Pada masa pemerintahan Megawati, revisi terhadap UU No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dilakukan. Hasilnya adalah terbitnya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Selain itu, terbit juga PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yang berisi: (1) rokok wajib diperiksa kadar kandungan tar-nikotin oleh lembaga yang terakreditasi; dan wajib diinformasikan pada bungkus rokok, (2) wajib mencantumkan peringatan kesehatan : merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin, (3) iklan pada media elektronik hanya diperbolehkan pada pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00, dan (4) kawasan tanpa rokok di tempat-tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, sarana belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.
Undang-Undang Penyiaran Tahun 2002 adalah perundang-undangan yang mempunyai struktur sangat langsing, dan hanya mengatur klausul-klausul yang sangat umum. Undang-undang ini memerlukan penjabaran lebih lanjut dalam berbagai Peraturan Pelaksana (Sudibyo, 2004:54). Peraturan Pelaksana inilah yang akan lebih berperan, karena mengatur ketentuan-ketentuan yang detil dan operasional tentang dunia penyiaran, termasuk di dalamnya tentang penyiaran iklan rokok.
Sosial Ekonomi Industri Rokok
Tidak dapat dipungkiri, industri rokok mempunyai peranan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Industri rokok menyerap tenaga kerja yang berprofesi sebagai tukang linting dan potong rokok, biasanya dinamakan sebagai SKT (Sigaret Kretek Tangan). Industri rokok juga yang menjadi tumpuan petani tembakau untuk menjual hasil panennya. Selain itu, industri rokok juga mengeluarkan iklan serta promosi yang menyebar mulai dari above the line advertising (ATL) hingga below the line advertising (BTL). Namun, barangkali ada yang bertanya, sejauhmana peranan industri rokok dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat Indonesia? Pertanyaan yang perlu dijawab dengan berbagai data dan fakta yang absah.
Industri rokok, ternyata hanya menduduki peringkat 48 dari 66 sektor yang berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Industri rokok berkontribusi kurang dari satu persen terhadap total tenaga kerja nasional sejak tahun 1970-an hingga saat ini (bandingkan dengan sektor jasa konstruksi yang berkontribusi 5,4 persen, atau sektor pertambangan yang berkontribusi 4,6 persen). Penyerapan tenaga kerja dalam industri rokok akan mengalami penurunan karena adanya mekanisasi.
Kontribusi ekonomi industri rokok terhadap kehidupan pertanian dan petani tembakau tidak jauh berbeda. Menurut kajian Lembaga Demografi UI dan BPS, jumlah petani tembakau tidaklah signifikan, karena hanya 1,6 persen (684.000) dari jumlah tenaga kerja sektor pertanian, dan 0,7 persen dari jumlah seluruh tenaga kerja di Indonesia. Dari jumlah yang tidak signifikan tersebut, kondisi sosial ekonomi petani tembakau juga kurang menggembirakan. Misalnya, 69 persen petani tembakau hanya tamat SD, atau bahkan tidak sekolah sama sekali, dan 58 persen rumahnya masih berlantai tanah. Penghasilan mereka juga kurang memenuhi standar kehidupan yang layak, karena ternyata rata-rata upah petani tembakau hanyalah 47 persen dari rata-rata upah nasional atau sekitar 413.374 rupiah per bulan. Petani tembakau nyaris tidak mempunyai posisi tawar saat berhadapan dengan industri rokok, sebagai pembeli tunggal produk daun tembakau. Harga dan kualitas daun tembakau seluruhnya ditentukan oleh pihak industri rokok melalui grader yang bertugas menentukan grade dari daun tembakau (Abadi, 2009).
Kesimpulan sementara yang dapat ditarik dari data-data di atas adalah bahwa industri rokok tidak mempunyai peranan yang signifikan dalam perekonomian di Indonesia. Bahkan, beberapa studi menyatakan bahwa industri rokok mendatangkan kerugian. Misalnya saja, pada tahun 2001, kerugian ekonomi akibat kematian, morbiditas, disabilitas dini, diperkirakan setidaknya sebesar 2,73 milyar dolar AS plus biaya pembelian tembakau sebesar 12,21 miliar dolar AS (total 14,94 miliar dolar AS). Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan penghasilan dari tembakau untuk tahun yang sama yakni 1,94 miliar dolar AS (Kosen, 2004).
Kerugian ekonomi rumah tangga akibat mengkonsumsi rokok pada tahun 2001 adalah sebesar 12.5 miliar dollar AS, atau setara dengan 105.6 triliun rupiah setahun. Di Jakarta saja, rumah tangga akan mengeluarkan biaya pengobatan, yaitu dengan dihitungnya biaya perawatan (rawat inap) rumah sakit milik pemerintah pada tahun 2000-2001, dan didasarkan pada lama rawat dan biaya pengobatan, besarnya mencapai 314 juta dollar AS atau sekitar 2.6 triliun rupiah per tahun (Abadi, 2009).
Rokok juga mengeksploitasi kondisi perekonomian masyarakat. Pendapatan yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan primer, ternyata justru digunakan untuk belanja rokok. Misalnya saja, pada tahun 2003, di mana tujuh dari sepuluh rumah tangga di Indonesia mempunyai pengeluaran untuk rokok (minimal ada satu perokok dalam rumah tangga tersebut). Pengeluaran rata-rata untuk tembakau dan sirih per bulan bagi rumah tangga yang mempunyai pengeluaran untuk tembakau adalah sebesar Rp. 96.465,- atau 11.87 persen dari pendapatan. Pengeluaran ini hanya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran untuk padi-padian, yaitu Rp. 102.628,- atau 12 persen dari pendapatan.
Pengeluaran untuk tembakau dan sirih juga dua kali lebih besar dari pengeluaran untuk ikan (6.48 persen), empat kali pengeluaran untuk daging (2.85 persen), empat kali pengeluaran untuk telur dan susu (2.86 persen), dan tiga kali pengeluaran untuk sayur dan buah-buahan (4.13 persen). Selain itu, pengeluaran untuk tembakau juga lebih tinggi dari setiap komponen pengeluaran bukan makanan, seperti biaya pendidikan, biaya kesehatan, perumahan, pembelian barang dan jasa. Biaya pendidikan, misalnya, hanya seperempat (2.55 persen) dari pengeluaran untuk tembakau (Ahsan dan Wiyono, 2003).
Diindikasikan, rumah tangga miskin merupakan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran eksploitasi industri rokok. Sebanyak 73,8 persen kepala keluarga rumah tangga miskin perkotaan adalah perokok. Pengeluaran untuk rokok per minggu 22 persen, lebih tinggi dari pengeluaran untuk membeli beras (19 persen). Selain itu, kelompok pendapatan terendah (20 persen rumah tangga yang berpendapatan terendah) membelanjakan 12 persen pengeluaran bulanannya untuk membeli rokok, sementara kelompok pendapatan tertinggi (20 persen rumah tangga yang berpendapatan tertinggi) membelanjakan hanya 9,25 persen. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003-2005 membuktikan bahwa konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau menduduki rating kedua (12,43 persen), setelah konsumsi padi-padian (19,30 persen) (Abadi, 2009).
Fakta sosial ekonomi industri rokok selanjutnya adalah mengenai cukai rokok. Pada kenyataannya cukai rokok di Indonesia masih rendah, bahkan terendah kedua setelah negara Laos. Cukai rokok di Indonesia saat ini hanya 37 persen sedangkan Laos hanya 20 persen. Bandingkan dengan cukai rokok di negeri lain, seperti; Jepang (61 persen), China (40 persen), India (72 persen), Thailand (75 persen), Malaysia (49-57 persen), Philipina (49-64 persen), dan Vietnam (45 persen).
Di Indonesia, cukai rokok mengalir ke kas Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN), dan semuanya untuk dana pembangunan, bukan untuk mengendalikan atas barang yang dikenai cukai, yaitu rokok. Dengan demikian, pemerintah, secara diametral juga telah melanggar UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, karena tidak melakukan pengawasan dan pembatasan produk rokok. Hal ini menyimpang dari formula universal bahwa cukai merupakan “pajak dosa” (sin tax), sekian persen dari cukai seharusnya dialokasikan untuk promosi kesehatan dan atau membatasi/mengendalikan bahaya rokok (earmarking tax).
Di banyak negara, hal earmarking tax lazim dilakukan; seperti di Australia, Inggris, Amerika Serikat, Taiwan, bahkan Thailand. Di Taiwan, 70 persen earmarking tax digunakan untuk asuransi kesehatan nasional, dan 30 persen sisanya untuk penanggulangan dampak tembakau, promosi kesehatan, dan subsidi pemeningkatan kesejahteraan. Di Australia, 60 persen earmarking tax digunakan untuk promosi kesehatan dan promosi olahraga. Di Inggris beda lagi, earmarking tax 100 persen didedikasikan bagi pelayanan rumah sakit dan kesehatan nasional. Dan, di Thailand, 2 persen earmarking tax dialokasikan untuk keperluan promosi kesehatan.
Alhasil, keuntungan industri rokok, apabila ditinjau secara sosial ekonomi nyaris nihil. Hulu ke hilir yang diuntungkan hanya satu pihak saja. Lalu siapakah yang untung dari perdagangan rokok ini? Jawabannya hampir dapat dipastikan adalah industri rokok negara maju. Kenyataannya, 35 persen daun tembakau masih didatangkan dari Zimbabwe, untuk memasok kekurangan produksi rokok nasional. Selain itu, industri rokok besar dunia yang berbasis di negara maju, sejak tahun 1975 sudah mulai mengubah kebijakan pemasarannya dengan membuka pasar luar negeri, terutama negara-negara yang belum sadar akan bahaya rokok bagi kesehatan. Hal ini dilakukan karena meningkatnya kesadaran terhadap kesehatan dan terjadinya penurunan konsumsi rokok di negara maju. Misalnya saja, nilai ekspor beberapa pabrik rokok Amerika Serikat seperti Philip Morris, RJ Reynolds, dan Brown Williamson meningkat lebih dari empat kali lipat pada tahun 1994 dibandingkan tahun 1975, yakni dari 50 miliar dollar AS menjadi 220 miliar dollar AS. Pada tahun 2009, Presiden Obama menandatangani undang-undang berjudul Family Protection and Tobacco Control Act. Undang-undang tersebut memberi kewenangan FDA untuk mengatur peredaran produk tembakau di Amerika Serikat. Indonesia, relatif tidak mempunyai daya tawar dalam mengendalikan dampak yang ditimbulkan oleh tembakau/rokok. Bahkan, pemerintah cenderung memilih melindungi industri rokok daripada kesehatan masyarakat dengan menolak menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) (Kartono Mohammad, 2009).
Secara ringkas dapat disimpulkan sebagaimana ditunjukkan WHO mengenai tiga cara tembakau memperburuk kemiskinan pada tingkatan rumah tangga. Pertama, belanja tembakau mengambil alih uang yang seharusnya bisa dibelanjakan untuk kebutuhan dasar. Kedua, merokok menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan perawatan kesehatan, hilangnya produktivitas, dan kematian dini pada pencari penghasilan. Ketiga, mereka yang dipekerjakan untuk pekerjaan yang berkaitan dengan tembakau mengalami upah rendah dan resiko kesehatan yang tinggi (Semba et al, 2006).
Bersambung...
Foto: jstor.org