Undang-Undang Penyiaran dan Iklan Rokok di Televisi (2)

December 05, 2011






Rokok dan Kesehatan
Merokok telah diketahui dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Berdasarkan buku Diseases and Disorder terbitan Anatomical Chart Company, rokok adalah zat berbahaya yang mengandung lebih dari 200 macam racun. Setiap perokok menghisap dua bungkus rokok, dia telah mengurangi umurnya selama delapan tahun. Orang yang terkena asap dari dua bungkus rokok, akan mengurangi umurnya selama empat tahun. Merokok menyebabkan lima juta kematian per tahun di seluruh dunia, dan diperkirakan bahwa angka kematian tahunan akibat merokok akan terus meningkat naik sampai sepuluh juta kematian pada tahun 2030, dengan tujuh juta kematian terjadi di negara-negara berkembang.

Pada tahun 2004, di Jepang pernah dilakukan studi tentang hubungan antara rokok dengan kanker. Studi ini dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan, Kesejahteraan, dan Tenaga Kerja Jepang. Studi ini dilakukan selama sepuluh tahun di delapan provinsi, dan menggunakan objek sebanyak 90.000 perokok yang berumur antara 40 sampai 69 tahun. Selama masa tersebut ditemukan sebanyak 5.000 orang dari perokok yang menjadi objek studi tersebut menderita kanker. Sementara itu, peneliti dari Neuropsychiatric Institute at the University of California menemukan bahwa, baik jumlah dan tingkat kepadatan sel yang digunakan untuk berpikir jauh lebih rendah pada orang yang merokok dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok yang terus menerus akan mengurangi daya ingat (Utama, 2004).

Gangguan kesehatan rokok disebabkan oleh nikotin yang berasal dari asap arus utama dan asap arus samping dari rokok yang dihisap oleh perokok. Dengan demikian, penderita tidak hanya perokok sendiri (perokok aktif) tetapi juga orang yang berada di lingkungan asap rokok (environmental tobacco smoke) atau lazim disebut perokok pasif. Menurut WHO, lingkungan asap rokok adalah penyebab berbagai penyakit, dan juga dapat mengenai orang sehat yang bukan perokok. Paparan asap rokok secara terus menerus pada orang dewasa sehat dapat menambah resiko terkena penyakit paru-paru dan jantung sebesar 20-30 persen. Lingkungan asap rokok dapat memperburuk kondisi seseorang yang mengidap penyakit asma, menyebabkan bronkitis, dan pneumonia (Susanna et al, 2003).

Rokok atau tembakau adalah termasuk zat adiktif karena dapat menimbulkan adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan), oleh karena itu, rokok (tembakau) termasuk ke dalam golongan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif). Mereka yang sudah ketagihan dan ketergantungan rokok (tembakau), bila pemakaiannya dihentikan akan timbul sindrom putus rokok atau ketagihan dan ketergantungan dengan gejala-gejala seperti berikut: mudah tersinggung dan marah, cemas dan gelisah, gangguan konsentrasi, tidak dapat diam, tidak tenang, nyeri kepala, mengantuk dan gangguan pencernaan (Ekawati, 2009).

Hal yang lebih memprihatinkan dalam kaitannya dengan dampak rokok bagi kesehatan adalah anak-anak. Penelitian yang dilakukan Richard D. Semba, et al (2006) mengindikasikan pengaruh langsung dan tidak langsung ayah perokok dari keluarga miskin terhadap anak-anaknya. Pengaruh langsungnya tentu saja anak-anak tersebut akan terkena paparan asap rokok setiap kali ayahnya merokok. Sedangkan pengaruh tidak langsungnya berkaitan dengan malnutrisi yang dialami oleh anak karena alokasi keuangan keluarga yang seharusnya digunakan untuk pemenuhan nutrisi anak, justru digunakan untuk belanja rokok. Padahal, di kalangan rumah tangga miskin kota di Indonesia, hampir tiga perempat ayahnya adalah perokok.

Kondisi anak-anak dan remaja yang menjadi perokok juga sangat memprihatinkan. Bukan rahasia lagi bahwa industri rokok menjadikan anak dan remaja sebagai sasaran mereka dalam memasarkan produknya. Berbagai strategi pemasaran dilakukan untuk mendekati anak dan remaja melalui berbagai kegiatan-kegiatan seperti konser musik, film, kuis, games, pentas seni dan lain-lain. Apabila diperhatikan, dalam dua dekade terakhir, prevalensi perokok usia muda atau usia pertama kali merokok meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perokok pemula, umur 5-9 tahun, naik secara signifikan. Hanya dalam tempo tiga tahun (2001-2004) persentase perokok pemula naik dari 0,4 persen menjadi 2,8 persen. Intinya, usia anak merokok telah bergeser dari usia belasan tahun, kini menjadi usia 5-9 tahun, atau rata-rata 7 tahun (KPAI).

Sampai saat ini belum ada peraturan yang memadai untuk melindungi anak-anak dari serbuan rokok yang merupakan zat adiktif dan berbahaya bagi hidup dan tumbuh kembang anak. Bahkan Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi FCTC, tertinggal dengan negara tetangga Timor Leste (Komnas Perlindungan Anak).

Iklan Rokok di Televisi
Iklan televisi memiliki beberapa kelebihan apabila dibandingkan dengan iklan-iklan lainnya. Paling tidak terdapat lima hal yang dianggap sebagai kelebihan iklan televisi. Pertama, kesan realistik. Karena sifat yang visual dan meupakan kombinasi warna-warna, suara dan gerakan, maka iklan televisi tampak hidup dan nyata. Kelebihan ini tidak dimiliki oleh media lain. Dengan kelebihan ini, para pengiklan dapat menunjukkan dan memamerkan kelebihan atau keunggulan produknya secara detail. Jika produk yang diiklankan adalah makanan yang diawetkan, maka pengiklan dapat menunjukkan kemasannya yang khas secara jelas sehingga konsumen dengan mudah mengenalnya di toko-toko. Walaupun ingatan konsumen terhadap apa yang telah diiklankan selalu timbul tenggelam, namun iklan visual menancapkan kesan yang lebih dalam, sehingga konsumen begitu melihat produknya akan segera teringat iklannya di televisi. Pengaruh ini dapat diperkuat lagi jika pembuatan iklannya disukung dengan teknologi grafis komputer.

Kedua, masyarakat lebih tanggap. Karena iklan televisi dinikmati dirumah-rumah dalamsuasana yang serba santai atau reaktif, maka pemirsa lebih siap untuk memberikan perhatian. Perhatian terhadap iklan televisi semakin besar jika materinya dibuat dengan standar teknis yang tinggi, dan atau meggunakan tokoh-tokoh ternama sebagai bintang iklan.

Ketiga, repetisi/pengulangan. Iklan televisi bisa ditayangkan beberapa kali dalam sehari sampai dipandang cukup bermanfaat yang memungkinkan sejumlah masyarakat untuk menyaksikannya, dan dalam frekuensi yang cukup sehingga pengaruh iklan itu muncul. Sekarang ini para pembuat iklan televisi tidak lagi membuat iklan yang panjang-panjang, mereka justru membuat iklan pendek dan menarik. Agar ketika ditayang ulang, pemirsa tidak cepat bosan. Iklan dengan pendekatan emosi yang membikin penasaran pemirsa juga bisa digunakan sebagai teknik untuk lebih diingat oleh pemirsa.

Keempat, ideal bagi pedagang eceran. Iklan televisi sangat membantu penjualan ditigkat pedagang eceran. Hal ini disebabkan karena selain para pedagang eceran juga menonton televisi seperti orang lain, iklan televisi tersebut seolah-olah dibuat untuk mereka. Pedagang memahami bahwa sesuatu yang diiklankan di televisi, maka permintaan akan barang tersebut akan meningkat sehingga stok barang akan cepat terjual. Agen atau sub agen suatu produk kadang-kadang sulit untuk menjual atau menitipkan produk kepada pedagang eceran jika mereka tidak dapat memberi jaminan bahwa produk tersebut diiklankan di televisi. Beriklan di televisi bahkan menjadi keharusan jika produsen berhubungan dengan perusahaan supermarket yang mempunyai ratusan cabang. Peredaran barang harus berlangsung dengan cepat dan tidak ada yang lebih mampu mempercepat peredaran barang selain televisi.

Kelima, terkait dengan media iklan lain. Tayangan iklan televisi mungkin saja mudah terlupakan begitu saja. Tapi kelemahan ini bisa diatasi dengan memadukannya dengan media iklan lain. Jika konsumen memerlukan informasi lebih lanjut atau perlu dijabarkan lebih detail, iklan televisi bisa dipadukan dengan iklan di tabloid-tabloid mingguan, khususnya tabloid yang mengulas acara-acara televisi. Iklan pendukung juga bisa demuat di surat kabar harian. Iklan surat kabar adalah rujukan atas iklan yang telah ditayangkan di televisi.

Televisi sebagai media hiburan yang paling digemari oleh masyarakat Indonesia dan bahkan dunia, merupakan salah satu media yang efektif untuk beriklan. Hal ini dikarenakan iklan televisi mempunyai karakteristik khusus yaitu kombinasi gambar, suara dan gerak. Oleh karena itu pesan yang disampaikan sangat menarik perhatian penonton. Model iklan yang disajikan oleh televisi juga sangat bervariasi. Ketika baru muncul televisi swasta, iklan hanya dalam bentuk klip—baik live action, stop action maupun animasi dan still. Namun dalam perkembangannya iklan televisi mengalami banyak sekali perkembangan. Model iklan yang sekarang ada antara lain adalah superimposed, program sponsor, running text, backdrop, caption, credit title, ad lib, property, endorsement, promo ad (Widyatama, 2005: 91-102).

Media televisi merupakan surga bagi pengiklan. Hal ini tampak dari pembelanjaan iklan yang ditujukan untuk media ini. Data Nielsen Media Research (NMR) tentang tren belanja iklan lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan secara signifikan tiap tahunnya. Perhitungan yang dilakukan tanpa pertimbangan diskon dari berbagai media yang digunakan, baik media konvensional ataupun non konvensional tercatat belanja iklan terus melonjak dari Rp 7,123 triliun (2000), Rp 9,084 triliun (2001), Rp 12,368 triliun (2002), Rp 16,801 triliun (2003), Rp 22, 211 triliun (2004), Rp 25,580 triliun (2005) dan Januari-September 2006 baru mencapai Rp 21,489 triliun. Sementara data dari Adquest Millenium dalam periode yang sama, tanpa menghitung iklan layanan masyarakat dan media non komersial menunjukkan, perkembangan belanja iklan mengalami pertumbuhan yang menurun (decreasing trend) jika dilihat gross advertising expenditure sejak tahun 2000 hingga 2004 selalu naik di atas 25 persen, tetapi pertumbuhannya hanya 17 persen, sedangkan di tahun 2006 kemungkinan besar tidak ada pertumbuhan. Pergerakan ini tentunya dipengaruhi faktor makro ekonomi yang kurang menguntungkan di akhir tahun 2005 seiring kenaikan harga bahan bakar minyak yang terus melonjak.

Menurut data Nielsen Media Research, media televisi meraup iklan sebesar 70%, atau senilai Rp 16,22 triliun. Pada semester I tahun 2006 ini, belanja iklan televisi sebesar Rp 9,2 triliun atau 68% dari total belanja iklan secara nasional, atau sebesar Rp 13,6 triliun. Sungguh merupakan angka fantastis yang menimbulkan semakin menjamurnya stasiun-stasiun televisi swasta nasional (Sukendro, 2007).

Iklan, promosi dan sponsor rokok telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Industri rokok misalnya, menyumbang tujuh persen iklan televisi pada pertengahan tahun 2002. Selain itu, industri ini menggunakan secara ekstensif iklan luar ruang, sehingga menyumbang kurang lebih sebesar 6,9 persen dari total berbagai iklan luar ruang pada tahun 1996 (www.gatra.com). Kemudian pada tahun 2004, dua industri rokok menempati daftar 20 besar belanja iklan di televisi, dengan total pembelanjaan senilai 304 miliar rupiah. Sementara pada tahun 2005 terdapat tiga industri rokok yang menempati daftar 20 besar belanja iklan televisi, dengan total belanja senilai 449 miliar rupiah (Subangun, 1993).

Beberapa pembatasan iklan rokok di media penyiaran ternyata menempatkan iklan rokok menjadi kurang signifikan dalam kehidupan televisi swasta. Berdasarkan data AC Nielsen yang diberitakan di sejumlah media massa baru-baru ini, belanja iklan sepanjang tahun 2009 sebesar 48,5 triliun rupiah. Belanja iklan tersebut didominasi oleh empat sektor, yaitu layanan korporasi, telekomunikasi, toiletries, dan minuman. Posisi tertinggi sebagai pembelanja iklan ditempati oleh sektor telekomunikasi disusul dengan pemerintah dan politik terkait masa kampanye (Kompas.com, 2010).

Pembatasan iklan rokok, di sisi lain, menimbulkan arus kreasi iklan rokok yang dipandang semakin mendorong orang untuk menjadi perokok. Sebagai sebuah produk, rokok tidak mempunyai functional benefit secara jelas. Bagi pecandu, rokok mirip kebutuhan primer, seperti makan dan minum. Bahkan, ada ungkapan yang bilang “lebih baik tidak makan, daripada tidak merokok.” Adakalanya rokok juga memenuhi kebutuhan konsumsi yang sifatnya lebih sekunder. Dalam hal ini, rokok dianggap sebagai kudapan atau camilan. Sebagai bandingan, produk farmasi memiliki karakteristik yang kaku. Banyak kata-kata dan visual yang tidak boleh digunakan, ada juga kata-kata yang justru harus dicantumkan, seperti kandungan bahan, kontra indikasi atau efek samping (Suwardikun et al, 2006). Sampai detik ini, iklan rokok tidak diatur seperti produk farmasi, sehingga kata-kata, visualisasi, bahkan peringatan pemerintah yang tercantum dalam setiap iklan rokok cenderung dapat dikreasi sehingga seakan-akan rokok merupakan produk yang tidak berbahaya.

Iklan rokok dengan bahasa simbolisnya seringkali mengajak penonton/audiens untuk bermimpi dan membayangkan suatu kesenangan atau kenikmatan, yang pada akhirnya mengkonsumsi rokok. Alhasil, iklan rokok dapat dikatakan memanfaatkan area abu-abu periklanan, yakni ‘wilayah’ yang belum diatur atau bahkan sudah diatur oleh suatu undang-undang atau peraturan, namun masih memberikan peluang terjadinya perbedaan interpretasi. Tampaknya, ini pula yang dikatakan sebagai kreativitas oleh insan periklanan, yang salah satu prasyaratnya adalah harus berani melanggar konvensi (kesepakatan, aturan, norma) yang ada (Tanudjaja, 2002). Pemanfaatan area abu-abu ini misalnya tampak pada iklan rokok yang visualisasinya berupa tumpukan cangkir berwarna coklat dan krem dengan asap mengepul. Visualisasi iklan itu seperti menggambarkan rokok yang sedang mengepul, tetapi visualisasi ini tidak terkena aturan larangan menampakkan wujud rokok, karena memang yang ditampakkan adalah cangkir.

Kreativitas dan visualisasi iklan rokok yang muncul di media sebagian besar ditujukan pada anak-anak dan remaja. Seperti pernyataan sebuah indutri rokok multinasional: “Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok..., pola perokok remaja penting bagi kami”. (Fact Sheet Departemen Kesehatan dan WHO, 04/02/04).

Penutup
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi sebagai kesimpulan tulisan di atas. Pertama, Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran adalah produk perundang-undangan yang sangat ramping, dan tidak mengatur masalah iklan rokok secara spesifik. Kedua, rokok merupakan salah satu produk yang merugikan kesehatan masyarakat, yang masih beredar secara bebas. Ketiga, peranan industri rokok dalam perekonomian negara tidak signifikan. Terakhir, iklan rokok masih leluasa mengembangkan strategi pemasaran untuk mendorong munculnya generasi perokok baru.

Beberapa saran yang penulis ajukan untuk menutup tulisan ini. Pertama, perlunya kajian ulang terhadap Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengenai iklan rokok, mengingat ketertinggalan Indonesia dalam kebijakan penanggulangan dampak akibat rokok/tembakau. Kedua, pengembangan metode kampanye pencegahan merokok bagi pemula serta rehabilitasi perokok. Ketiga, peningkatan cukai rokok, sehingga harga rokok hanya mampu dijangkau kalangan tertentu saja, namun tetap dapat mengisi kas negara. Terakhir, pelarangan iklan rokok (total ban) dalam setiap media penyiaran.

Selain itu, hendaknya kegiatan kampanye antirokok di Indonesia tidak berjalan sendiri-sendiri dan tidak terkoordinasi/bersinergi. Seyogianya pemerintah dan masyarakat menggunakan strategi pengendalian dampak tembakau yang dilancarkan WHO tahun 2008, yaitu enam kebijakan disingkat MPOWER (Julianto, 2008): (M)onitor penggunaan tembakau dan kebijakan pencegahannya, (P)erlindungan terhadap asap rokok; (O)ptimalkan dukungan untuk berhenti merokok; (W)aspadakan masyarakat akan bahaya tembakau; (E)liminasi iklan, promosi, dan sponsor rokok; (R)aih kenaikan cukai rokok.

Foto: khn.org

Referensi:
  • Mufid, Muhammad. 2005. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Prenada Media 
  • Subangun, Emmanuel; Tanuwidjojo, Djatmiko. 1993. Industri Hasil Tembakau. Jakarta: Satuan Tugas Industri Rokok
  • Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKiS
  • Sukendro, Suryo. 2007. Filosofi Rokok. Yogyakarta: Pinus Book Publisher
  • Widyatama, Rendra. 2005. Pengantar Periklanan. Jakarta: Buana Pustaka Indonesia
  • Williamson, Judith. 2007. Decoding Advertisement, Membedah Ideologi dan Makna dalam Periklanan. Bandung: Jalasutra
  • Susanna, Dewi et al. 2003. Penentuan Kadar Nikotin dalam Rokok. Dimuat dalam Jurnal Makara Kesehatan, Vol 7, No 2, Desember 2003
  • Semba, Richard D, et al. 2006. Ayah Perokok Dikaitkan dengan Malnutrisi Anak yang Meningkat pada Keluarga Miskin Pedesaan di Indonesia. Dimuat dalam http://www.lindungikami.org/site_media/artikel/Jurnal_PHN.zip diakses pada [29/03/10]
  • Tanudjaja, Bing Bedjo. 2002. Kreativitas Pembuatan Iklan Produk Rokok di Indonesia. Dalam Jurnal Nirmana Vol. 4, No. 1, Januari 2002: 85-98
  • Abadi, Tulus. 2009. Melindungi Petani Tembakau. Koran Jakarta, 23 Mei 2009
  • Mohamad, Kartono. 2009. Perang Rokok RI-AS. Kompas, 27 Januari 2009
  • Julianto, Irwan. 2008. MPOWER dan Rokok. Kompas, 3 September 2008
  • Utama, Andi. 2004. Bahaya Rokok, Mari Kita Pikirkan Lagi!. Republika, 2 Juni 2004
  • Kosen, Soewarta. 2004. Sebuah Analisa Ekonomi Pemakaian Tembakau di Indonesia. Jakarta: Lembaga Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Pusat Layanan dan Riset Serta Pengembangan Teknologi Kesehatan
  • Runtiko, A. Ganjar. 2009. Konstruksi Budaya Maskulin dalam Iklan, Analisis Semiotika Visual terhadap Iklan Televisi Rokok ‘Djarum Super’. Bandung: Universitas Padjajaran. Tidak diterbitkan
  • Abadi, Tulus. Tanpa tahun. Gugatan Legal Standing Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa. Dimuat dalam http://www.lindungikami.org/site_media/artikel/Mengapa_Kami_Menggugat_Presiden.ppt, diakses pada [27/03/10]
  • Ahsan, Abdillah et al. 2009. Dampak Tembakau dan Pengendaliannya di Indonesia. Dimuat dalam http://www.naikkan-hargarokok.com/tfiles/file/DampakTembakau/hal%2072.JPG diakses pada [30/03/10]
  • Ahsan & Wiyono. 2003. Dampak Peningkatan Cukai Tembakau terhadap Perekonomian dan Ketenagakerjaan. Dimuat dalam http://www.lindungikami.org/artikel/analisa-ekonomi-pemakaian-tembakau-di-indonesia/?page=1, diakses pada [28/03/10]
  • dosen.amikom.ac.id/downloads/artikel/pengantar%20periklanan%20televisi.pdf, diakses pada [17/02/09]
  • Ekawati, et al. 2009. Peningkatan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku terhadap Rokok pada Siswa SMU di Kelurahan Penatih. Dimuat dalam ejournal.unud.ac.id/abstrak/ekawati080102009.pdf diakses pada [29/03/10]
  • Komnas Perlindungan Anak. Catatan Akhir Tahun 2009, Pelanggaran Hak Anak Terus Meningkat, “Akankah Kehilangan Generasi?”. Dimuat dalam http://www.komnaspa.or.id/pdf/CATATAN%20AKHIR%20TAHUN%202009.pdf, diakses pada [03/02/10]
  • Kompas.com. 2010. Pelarangan Iklan Rokok Tidak Perlu Dikhawatirkan. Dimuat dalam http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/28/02554433/pelarangan.iklan.rokok.tidak.perlu.dikhawatirkan, diakses pada [05/04/10]
  • KPAI. 2010. Perlindungan dan Pencegahan Bahaya Merokok Pada Anak. Dimuat dalam http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/press-release/41-perlindungan-dan-pencegahan-bahaya-merokok-pada-anak-.html diakses pada [04/04/2010]
  • Suwardikun, Didit W. et al. 2006. Persuasi Visual pada Iklan Rokok, antara Regulasi dan Menyiasati. Dimuat dalam http://desaingrafisindonesia.files.wordpress.com/2009/09/persuasi-visual-pada-iklan-rokok-2006.doc diakses pada [05/04/10] 
  • Tanudjaja, Bing Bedjo. Kreatifitas Pembuatan Iklan Produk Rokok di Indonesia. Jurnal Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain. Universitas Kristen Petra. Dimuat Dalam situs http://puslit.petra.ac.id/journals/design/, diakses pada [03/05/07]
  • www.gatra.com [01/03/08]

You Might Also Like

1 komentar

Friends

Galeri

Ada warna biru muda di lingkaran ini. Mengingatkan cerahnya langit pascahujan
Biarkanlah balon-balon bebas itu beterbangan, sebebas warna-warna yang menyelimutinya
Budaya batik yang berinovasi Mencerahkan masa depan tradisi
Cinta tidak selamanya berwarna merah muda, bisa juga kuning oranye
Ketika warna ungu menjadi ceria, dia bersama hijau dan kuning istimewa