Menyapa Pemilih Pemula
February 23, 2018
Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebentar lagi akan
diselenggarakan secara serentak di beberapa propinsi dan kabupaten/kota di
Indonesia. Pada Pilkada 2018, ada segmen generasi muda yang baru pertama kali
memilih. Mereka merupakan pemilih pemula yang lahir pada dekade awal tahun
2000, dan menurut data KPU berjumlah sekitar 10 juta orang atau 6 persen dari
keseluruhan pemilih.
Generasi yang lahir pada awal millennium ketiga lazim
disebut sebagai generasi post-milennial atau generasi Z. Mereka disebut
juga dengan digital native, yang terbiasa hidup dalam sebuah ekosistem
bernama cyberspace (dunia siber). Kesadaran generasi Z diwarnai oleh
perkembangan teknologi internet yang sangat pesat, dan pada kasus Indonesia,
seiring dengan perubahan kultur demokrasi pascaberakhirnya rezim Orde Baru.
Morley Winograd dan Michael Hais dalam bukunya yang berjudul
"Milennial Makover, My Space, Youtube, and the Future of American
Politics" melihat "Tsunami Teknologi" yang melanda dunia politik
pascaperkembangan teknologi internet. Ada lompatan-lompatan besar teknologi
yang diiringi dengan perubahan sosial masyarakat, termasuk di dalamnya para
pemilih. Kedua penulis tersebut mengatakan bahwa "Tsunami Teknologi"
memaksa partai, kandidat, dan kampanye politik menemukan cara baru penyampaian
pesan kepada pemilih sebagaimana telah dilakukan oleh industri hiburan dan
informasi.
Tulisan Winograd dan Hais pada tahun 2008 itu ternyata masih
relevan dengan beberapa peristiwa terakhir. Pernyataan terima kasih presiden
Donald Trump atas jasa Facebook, Twitter, Instagram, dan media sosial lain
dalam kemenangannya pada Pemilu Amerika Serikat tahun 2016 dapat dianggap
sebagai pengakuan peran penting internet di dunia politik. Trump bahkan berani
mengklaim bahwa penggunaan media-media sosial tersebut berhasil menjaring 28
juta suara yang memilihnya.
Di Indonesia, "Tsunami Teknologi" kita rasakan
bersama saat pemilihan presiden langsung pada tahun 2014. Internet menjadi
salah satu media utama komunikasi politik saat itu, mengalahkan cara-cara
konvensional. Sayang sekali, komunikasi politik yang terjadi mengabaikan etika.
Berbagai bentuk kampanye hitam, provokasi, dan ujaran kebencian memenuhi hampir
seluruh *platform* media sosial di internet. Sedemikian dahsyatnya
"Tsunami Teknologi" pada Pilpres 2014, hingga kini dampaknya masih
bisa dirasakan, termasuk oleh pemilih pemula.
Berkarakter Unik
Pemilih yang tahun ini pertama kali memberikan suaranya
didominasi oleh generasi Z yang memiliki karakter unik. Perkenalan mereka
dengan berbagai perangkat dan platform teknologi secara tidak langsung
memberikan karakter yang khas. Pertama, anggota generasi Z tidak mengenal dunia
tanpa smartphone atau media sosial. Keseharian mereka diisi dengan
berbagai kegiatan yang bersentuhan dengan dunia siber, termasuk dalam
berkomunikasi. Komunikasi yang dilakukan melalui berbagai media berbasis
internet lebih disukai dibandingkan komunikasi verbal, sehingga mereka tampak apatis dan
individualis.
Partai politik, dan kandidat yang bertarung harus berjuang
untuk menarik perhatian para pemilih pemula dalam semesta dunia sibernya.
Kampanye yang menggunakan media luar
ruang dan pengerahan massa sepertinya akan segera usang. Ide membentuk pasukan
siber seperti dilakukan Jokowi-Ahok pada pemilihan gubernur di Jakarta mungkin
perlu dipikirkan untuk menjangkau berbagai platform komunikasi yang
lazim digunakan generasi Z ini.
Kedua, generasi Z dapat dikatakan sebagai pembelajar
mandiri. Mereka sangat mudah mempelajari segala sesuatu memanfaatkan gawai dan platform
media sosialnya. Pembelajaran yang bersifat massal atau klasikal tidak selalu
disukai karena peminatan mereka yang spesifik.
Kemandirian generasi Z dalam belajar merupakan indikasi
bahwa mereka antikemapanan. Hitung-hitungan politik yang selama ini berbasis
ideologis mungkin perlu dikaji ulang. Generasi Z tidak lagi banyak bergantung
pada pembelajaran lingkungan. Sebaliknya, merekalah yang selalu berusaha
menjadi trend setter dengan kemandiriannya.
Ketiga, kecenderungan generasi Z melakukan pekerjaan multitasking
tinggi. Pekerjaan yang dilakukan secara perlahan, fokus, dan bergantian
dianggap tidak efektif. Mereka tidak terlalu menyukai proses, lebih memilih
menyelesaikan banyak pekerjaan dalam porsi sedikit dibanding porsi yang banyak
dalam satu pekerjaan.
Karakter "tidak sabaran" yang dimiliki rata-rata
generasi Z menjadikan mereka rentan membuat kesalahan dalam komunikasi,
meskipun secepat itu pula diperbaiki. Berita-berita bohong yang banyak tersebar
di internet akan dengan mudah dipercaya, walaupun dengan kadar rendah.
Bijak Berkomunikasi
Keberadaan generasi Z yang tahun ini menjadi pemilih pemula
dalam Pilkada serentak, menjadi sebuah tantangan baru dalam dunia politik.
Partai politik, politisi, hingga para partisan dituntut untuk beradaptasi sekaligus memenangkan
pertarungannya. Mereka juga dituntut untuk melakukan kedua hal tersebut secara elegan dan
bermartabat.
Pemilihan umum bukan sekedar pesta demokrasi yang konotasinya adalah tindakan
berfoya-foya. Lebih dari itu, pemilihan umum hendaknya menjadi ajang pendidikan
politik dan komunikasi antara (calon) pemimpin dengan rakyatnya, sekaligus
sebagai ruang publik yang demokratis. Akan menjadi sebuah ironi ketika proses demokratisasi berlangsung secara
tidak demokratis.
Meminjam pandangan Jürgen Habermas mengenai ruang publik yang demokratis, idealnya yang dilakukan masing-masing komunikator adalah melakukan tindakan komunikatif alih-alih komunikasi strategis. Menurut Habermas, komunikasi strategis mendahulukan tujuan yang ditentukan oleh salah satu pihak tanpa memperhatikan kesepakatan dengan pihak lain. Sebaliknya, tindakan komunikatif bertujuan untuk membentuk saling pengertian, yang disepakati secara timbal balik melalui suatu proses komunikasi yang mengakui humanitas otonom semua pihak.
Walhasil, dibutuhkan kearifan dari semua pihak untuk menjadikan Pilkada serentak tahun ini berkesan, terutama bagi pemilih pemula.
Gambar: aktual.com
0 komentar