Mengkaji Ontologi Filsafat Ilmu Komunikasi (Bagian 2)
November 05, 2015
Pokok Pemikiran Ontologi
Dalam pemahaman ontologi, ada beberapa pandangan atau perspektif dalam melihat “ada”. Pertama, monisme. Perspektif ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu saja, tidak mungkin dua, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Paham ini kemudian terbagi menjadi dua aliran besar, yakni materialisme dan idealisme. Aliran materialisme beranggapan bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Jadi materialisme menolak hal-hal yang tidak kelihatan. Adapun aliran idealisme beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Prinsip aliran ini adalah “segala sesuatu yang tampak dan terwujud nyata dalam alam inderawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya, yang berada di dunia ideal (Soetriono & Hanafie, 2007).
Kedua, paham dualisme. Kata dualisme berasal dari bahasa Latin duo (dua). Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani. Dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi atau yang ada secara fisis dan mental atau yang beradanya tidak kelihatan secara fisis. Jadi, dua substansi yang menjadi dasar paham dualisme merupakan substansi yang berlainan, bertolak belakang, bersifat unik, dan tidak dapat direduksi. Contoh dari paham dualisme ini adalah filosofi Plato yang mengakui adanya dua substansi yang masing-masing mandiri dan tidak saling bergantung, yakni dunia yang dapat diindera dan dunia yang dapat dimengerti. Dunia tipe pertama adalah dunia nyata yang selalu berubah dan tak sempurna, sedangkan dunia tipe kedua adalah dunia idea yang bersifat kekal dan hanya satu.
Ketiga, pluralisme. Kata pluralisme berasal dari kata plural (jamak). Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Realitas tidak hanya terdiri dari satu atau dua substansi, tetapi banyak substansi yang bersifat independen. Pluralisme bertolak dari keseluruhan, dan mengakui bahwa segenap bentuk ini semuanya nyata. Sebagai konsekuensinya, alam semesta pada dasarnya tidak memiliki kesatuan, kontinuitas, harmonis, dan tatanan yang koheren, rasional, dan fundamental. Di dalam alam semesta hanya terdapat berbagai jenis tingkatan dan dimensi yang tidak dapat diredusir.
Keempat, nihilisme. Asal kata nihilisme adalah bahasa latin yang artinya tidak ada (nothing). Sebuah dotrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Pandangan nihilisme ini mengatakan bahwa Tuhan sudah mati, manusia bebas berkehendak dan berkreativitas.
Terakhir, agnotisme. Frasa yang mirip dengan aliran ini adalah bahasa Yunani agnostos yang berarti unknown, tidak diketahui. Perspektif ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat maupun ruhani. Aliran ini masuk dalam paham ketuhanan antara theisme dan atheisme. Para penganut paham ini menganggap bahwa manusia tidak mampu mengetahui hakikat segala sesuatu, termasuk Tuhan. Boleh saja Tuhan itu ada atau tidak, manusia tidak dapat memastikannya.
Ontologi Ilmu Komunikasi
Sebagai salah satu sisi dalam kehidupan manusia, aktivitas komunikasi dikatakan sebagai aktivitas vital dalam kehidupannya. Schramm (dalam Cangara, 1998) mengatakan bahwa komunikasi dan masyarakat merupakan dua konsep serupa yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Tiada masyarakat terbentuk tanpa adanya komunikasi, dan sebaliknya tiada komunikasi terjadi tanpa adanya masyarakat.
Pemahaman mengenai ontologi ilmu komunikasi dalam tulisan ini merujuk pada tulisan Littlejohn & Foss (2011) mengenai perspektif dan teori komunikasi. Sebagai salah satu ilmu yang berobyekmaterikan masyarakat (sosial), ilmu komunikasi secara formal memfokuskan diri terhadap fenomena komunikasi antarmanusia (human communication).
Komunikasi, selanjutnya, dibagi menjadi beberapa bentuk atau tingkatan. Littlejohn & Foss mengistilahkannya sebagai konteks atau setting komunikasi. Pertama, komunikasi interpersonal yang terjadi antarindividu, seringkali secara tatap muka, serta dalam setting privat / personal. Kedua, komunikasi kelompok yang berhubungan dengan interaksi individu dalam kelompok-kelompok kecil, seringkali dalam setting pembuatan keputusan bersama. Komunikasi kelompok melibatkan interaksi interpersonal, sehingga teori-teori komunikasi interpersonal dapat diaplikasikan dalam level komunikasi ini. Ketiga, komunikasi publik atau retorika yang memfokuskan diri pada konteks berbicara atau melakukan presentasi mengenai sebuah wacana di depan publik. Keempat, komunikasi organisasi yang terjadi dalam jejaring korporasi yang besar dan melibatkan aspek-aspek komunikasi kelompok serta komunikasi interpersonal. Penekanan konteks komunikasi organisasi adalah pada struktur dan fungsi organisasi, relasi manusia, komunikasi dan proses pengorganisasian, serta budaya organisasi. Terakhir, komunikasi massa yang berkaitan dengan komunikasi publik bermedia. Banyak aspek komunikasi interpersonal, kelompok, publik dan organisasi yang terlibat dalam proses komunikasi massa.
Setiap level komunikasi memiliki masalah sendiri-sendiri, yang harus dipecahkan oleh pembelajarnya. Oleh karena itu, dalam kajian komunikasi terdapat berbagai model dan teori yang terus dikembangkan seiring upaya ilmu komunikasi mengembangkan diri (pure science interest). Dalam ilmu komunikasi banyak model dan teori yang berifat taksonimis belaka (teori yang baru memiliki komponen konsep saja). Demi pengembangan ilmu komunikasi, dibutuhkan model dan teori yang ideal. Untuk teori yang ideal, Littlejohn dan Foss (2011) mensyaratkan terpenuhinya empat hal; asumsi filosofis, konsep, penjelasan, dan prinsip atau panduan untuk bertindak.
Penutup
Tawaran mengenai ontologi filsafat ilmu komunikasi bukanlah sesuatu yang final. Bisa jadi suatu ketika ontologi filsafat ilmu komunikasi akan bergeser atau berubah. Misalnya saja, beberapa wacana penelitian kontemporer mengenai komunikasi non-manusia. Pada tahun 2008, seorang guru besar di Universitas Padjajaran memberikan pidato pengukuhan mengenai terbukanya peluang kajian komunikasi terhadap objek materiil non-manusia, yang disebutnya sebagai “Komunikologi Hado”. Sebenarnya peluang ini berangkat dari penelitian fisikawan Jepang Masaru Emoto terhadap air. Air, menurut penelitian Emoto memberikan reaksi berbeda ketika mendapatkan pesan yang berbeda-beda. Emoto berkesimpulan: “Hado creates word. Words are the vibrations of nature. Therefore beautiful words create beautiful nature. Ugly words create ugly nature. This is the root of universe” (Emoto, dalam Kuswarno, 2008).
Bergeser atau berubahnya ontologi filsafat ilmu tertentu adalah wajar, karena perkembangan teknologi dan pengetahuan manusia. Manusia selalu melakukan pertanyaan-pertanyaan terhadap apapun yang terjadi di sekitarnya. Yang paling penting tentu saja adalah pembuktian keabsahan objek materiil sebagai ontologi filsafat ilmu tertentu melalui tahapan-tahapan konstruksi pengetahuan ilmiah. Apabila sudah melalui tahapan tersebut dan lulus, maka berubahlah objek materiil ontologi filsafat ilmu.
Terakhir, ilmu pengetahuan dan teknologi selalu membawa perubahan. Menjadi tantangan bagi para ilmuwan untuk menjawab perubahan tersebut. Salah satunya adalah pada kajian Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan. Nilai-nilai kultural di masyarakat yang berubah, globalisasi ekonomi, hingga teknologi komunikasi yang menantang agen-agen pembangunan merupakan beberapa faktor pemicu perubahan. Apabila kita gagal menjawab tantangan tersebut, maka filsafat ilmu kita akan berhenti berjalan.
Foto : cavvyng.blogspot.com
Referensi
Banasuru, A. (2014). Filsafat dan Filsafat Ilmu, dari Hakikat ke Tanggungjawab. Bandung: Alfabeta
Cangara, H. (1998). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Gie, T.L. (1977). Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat. Yogyakarta: Karya Kencana
Hacking, I. (2002). Historical Ontology. Cambridge: Harvard University Press
Heidegger, M. (1999). Ontology – The Hermeneutics of Facticity. Penerjemah : John van Buren. Indiana : Indiana University Press
Kuswarno, E. (2008). Komunikologi Hado, Sebuah Rekonstruksi Filosofis Metafisika Komunikasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Gurubesar dalam Ilmu Komunikasi. FIKOM-Unpad: Tidak Diterbitkan
Littlejohn, S.W., Foss, K. (2011). Theories of Human Communication, 10th edition.Illinois: Waveland Press, Inc.
Magee, B. (2005). Memoar Seorang Filosof, Pengembaraan di Belantara Filsafat. Penerjemah: Eko Prasetyo. Bandung: Mizan
Soetriono, Hanafie, R. (2007). Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: CV. Andi Offset
0 komentar