Pendahuluan
Televisi adalah media yang sangat potensial. Sebagai media audio-visual, televisi mampu merebut 94 persen saluran masuknya pesan-pesan atau informasi kepada individu. Televisi mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50 persen dari apa yang mereka dengar dan lihat, walaupun hanya sekali ditayangkan. Secara umum, orang akan ingat 85 persen dari apa yang mereka lihat di televisi setelah tiga jam kemudian, dan 65 persen setelah tiga hari kemudian (Dwyer dalam Priyowidodo, 2008).
Potensi tersebut mendudukkan televisi sebagai media nomor satu yang akan lebih diperhitungkan oleh siapapun. Pengiklan akan lebih suka menginvestasikan dananya di media televisi dibandingkan media lainnya. Penonton lebih memilih media televisi dibandingkan media lainnya. Para pesohor pun, lebih memilih media televisi sebagai basis eksistensialitasnya dibandingkan media lainnya.
Sampai saat ini, di indonesia secara nasional telah mengudara tidak kurang dari sepuluh televisi swasta, di samping televisi pemerintah yakni TVRI. Munculnya era otonomi daerah telah menambah kepadatan frekuensi penyiaran di tanah air dengan adanya stasiun televisi lokal. Hingga saat ini, belasan bahkan puluhan stasiun televisi lokal yang mengudara. Televisi lokal yang mendaftarkan diri di ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia) saja mencapai 36 stasiun (www.atvli.com, diunduh 15 April 2011), belum stasiun yang tidak terdaftar tentunya lebih banyak lagi.
Televisi berpotensi besar untuk lebih mendominasi dibandingkan media massa lainnya setelah munculnya teknologi digital. Teknologi digital ini lebih dikenal dengan istilah DTV (digital television) atau HDTV (high definition television).
Penyiaran Televisi Digital
Sampai detik ini terdapat setidaknya empat jenis siaran televisi (dalam Wenny Rahmawati, 2009). Pertama, televisi Analog. Televisi jenis ini mengkodekan informasi gambar dengan memvariasikan voltase dan/atau frekuensi dari sinyal. Seluruh sistem sebelum televisi digital dapat dimasukkan ke dalam kategori televisi analog.
Kedua, televisi digital atau DTV (digital television). Televisi jenis ini menggunakan modulasi digital dan sistem kompresi untuk menyebarluaskan video, audio, dan signal data ke pesawat televisi. Standar format siaran yang digunakan televisi ini biasanya 16:9, di mana televisi biasa 4:3, suara standarnya menggunakan surround-sound 5.1 Dolby Digital.
Ketiga, televisi kabel. Televisi ini menggunakan sistem penyiaran acara melalui serat optik atau kabel coaxial, dan bukan lewat udara seperti siaran televisi biasa yang harus ditangkap antena. Seperti halnya radio, frekuensi yang berbeda digunakan untuk memisahkan antarsaluran yang melalui satu kabel.
Keempat, televisi satelit. Sesuai namanya, televisi ini disiarkan dengan cara yang mirip komunikasi satelit. Layanan televisi satelit menambah sinyal televisi konvensional untuk menjangkau wilayah siaran yang lebih luas.
Teknologi penyiaran televisi digital sendiri sudah berkembang selama lebih dari satu dekade. Keunggulan sistem televisi digital dibandingkan dengan analog terletak pada kualitas penerimaan yang lebih baik, kebutuhan daya pancar yang lebih kecil, ketahanan terhadap interferensi dan kondisi lintasan radio yang berubah-ubah terhadap waktu (misalnya, dalam kondisi penerima yang sedang mobile), serta penggunaan bandwith yang lebih efisien. Di samping itu, sistem televisi digital memungkinkan pengiriman gambar beresolusi tinggi dengan format high-definition television (HDTV) (Hendrantoro, 2007).
Sukemi (2008) mengatakan bahwa ada tiga tahap proses migrasi televisi digital. Pertama pada tahun 2008-2012 yakni tahap uji coba; meliputi penghentian izin lisensi baru untuk televisi analog setelah beroperasinya penyelenggara infrastruktur televisi digital, dimulai lisensi baru untuk penyelenggara infrastruktur televisi digital, pemetaan lokasi dimulainya siaran digital dan dihentikannya siaran analog, mendorong industri elektronik dalam negeri dalam penyediaan peralatan penerima digital.
Tahap kedua ditargetkan mulai tahun 2013-2017 dengan kegiatan meliputi penghentian siaran televisi analog di kota-kota besar dilanjutkan dengan daerah regional lain; serta intensifikasi penerbitan izin bagi mux operator yang awalnya beroperasi analog ke digital.
Tahap ketiga merupakan periode di mana seluruh siaran televisi analog dihentikan, siaran televisi digital beroperasi penuh pada band IV dan V. Menurut Menkominfo Tifatul Sembiring, pada tahun 2018 ditargetkan sudah tidak ada lagi televisi analog, yang ada hanya televisi digital. Untuk itu, dengan adanya penyiaran digital, maka tidak akan ada lagi televisi nasional. Sebab semua siaran televisi jika ingin melakukan siaran di semua zona harus berjaringan dengan daerah.
Menurut Sukemi (2008), setidaknya ada enam alasan keharusan siaran digital ada di Indonesia. Di antara enam alasan tersebut, ada beberapa yang dipetik di tulisan ini. Pertama, agar bangsa Indonesia tidak menjadi bangsa yang terasing. Adanya siaran digital membuat negara ini tidak ‘ditinggalkan’ oleh negara lain, terutama terkait dengan dunia investasi atau perdagangan, serta hubungan antarnegara.
Kedua, mengatasi keterbatasan kanal frekuensi pada teknologi analog. Teknologi analog hanya mampu memuat satu program siaran dalam satu kanal frekuensi. Kanal-kanal frekuensi tersebut juga tidak boleh berhimpitan, artinya harus ada satu kanal kosong di antara dua kanal frekuensi. Sehingga, apabila tersedia 20 kanal, maka hanya sepuluh kanal yang boleh diisi, sementara lainnya harus kosong. Ini untuk menjaga kualitas siaran. Akan halnya teknologi digital, satu kanal dapat digunakan sampai enam program siaran. Minat masyarakat yang begitu besar terhadap kanal frekuensi dapat diatasi dengan peralihan teknologi penyiaran ini.
Ketiga, kualitas gambar dan suara jauh lebih baik apabila dibandingkan siaran televisi analog. Pada siaran televisi analog, noise bisa menyebabkan menurunnya kualitas audio dan gambar (video) sebelum sinyal sampai di pesawat televisi. Teknologi transmisi digital memungkinkan untuk menghindari adanya duplikasi sinyal atau sinyal liar yang mengakibatkan timbulnya noise. Karena itu, tidak akan ada lagi gambar ganda atau bayangan pada tayangan, serta tidak ada lagi suara berisik pada speaker.
(Artikel dimuat di Broadcastmagz No. 7 Tahun 1 Januari - Februari 2012 dengan judul "Peran KPI dalam Pemberdayaan Muatan Lokal di Era Penyiaran Televisi Digital", dan merupakan tulisan bersama dengan Drs. Chusmeru, M.Si)