Intermilan dan UN
May 06, 2010
Beberapa waktu yang lalu kesebelasan Intermilan berhasil mengatasi kesebelasan Barcelona dan melaju ke babak final Liga Champion Eropa. Agregat 3-2 telah cukup membawa Intermilan masuk ke babak final setelah 38 tahun. Yang menarik dari perseteruan Intermilan versus Barcelona adalah pertandingan pada leg kedua.
Setelah pada leg pertama di stadion Gueseppe Meazza Inter berhasil menang 3-1, leg kedua dimainkan di Camp Nou. Sang pelatih Intermilan, Jose Mourinho, awalnya menginstruksikan bermain bola seperti biasanya. Petaka muncul pada menit ke-28 ketika Thiago Motta terkena kartu kuning kedua, dan mendapatkan kartu merah. Mourinho langsung menginstruksikan para pemainnya untuk bertahan total.
Statistik pertandingan menunjukkan bahwa Barcelona mencapai hampir 80 persen penguasaan bola (ball possession). Tembakan ke gawang (shoot on goal) juga berbanding jauh dengan Barcelona lebih dari lima kali usaha tembakan, sementara Intermilan hanya sekali saja. Kesebelasan Intermilan praktis hanya bermain pada sepertiga lapangan saja.
Pada menit ke 84 Barcelona berhasil menyarangkan gol oleh Gerard Pique yang berbau offside. Beberapa menit kemudian Bojan juga menunjukkan kemampuannya mengoyak jala lawan, walaupun akhirnya wasit menganulir gol tersebut karena terjadi handsball terlebih dahulu oleh Yaya Toure. Messi yang diharapkan kembali menunjukkan sihirnya dan menjadi penyelamat tim, kali ini seperti mati kutu. Kebiasaannya untuk menggiring bola dengan atraksi-atraksi ajaib kemudian secara ajaib mencetak gol tiba-tiba hilang. Messi justru lebih sering menjadi pengumpan bagi teman-temannya yang lain.
Hingga peluit berakhir, Barcelona tidak mampu menambah golnya. Kemenangan 1-0 di Camp Nou tidak cukup untuk membawa mereka ke final yang kedua secara berturut-turut. Akhirnya pesta di Camp Nou adalah untuk Intermilan.
Strategi yang diterapkan Mourinho seketika langsung menjadi buah bibir. The Special One—julukan Mourinho—hampir menumpuk semua pemain di depan gawang. Praktis hanya Diego Milito yang menjadi striker tunggal. Eto’o yang awalnya membantu serangan, dalam separuh pertandingan berubah peran menjadi gelandang bertahan, bahkan menjadi bek sayap (wing back)! Tujuannya hanya satu, agar selisih gol tetap terjaga, dan Intermilan tidak kebobolan. Mourinho seakan-akan hendak mengirim pesan: Anda tidak perlu main indah untuk menang!
Beberapa pengamat mencibir taktik ini. Sepakbola yang dimainkan Mourinho adalah sepakbola yang pragmatis, hanya mempedulikan kemenangan dengan tanpa mengindahkan hiburan dalam sepakbola. Cibiran yang sama juga pernah disematkan pada Yunani, kampiun Eropa pada tahun 2004. Kebetulan, Ottp Rehhagel sang pelatih, juga menerapkan strategi sepakbola yang sama. Pada kenyataannya mereka tetap menorehkan diri sebagai juara.
Strategi UN=Intermilan?
Tidak berselang lama dari pertandingan antara Intermilan dan Barcelona, keluar pengumuman UN (Ujian Nasional) untuk SMU. Ternyata angka kelulusan UN tahun ini menurun sebesar tiga persen dibandingkan tahun lalu. UN, lagi-lagi, menjadi buah bibir para ahli pendidikan, anggota dewan,bahkan orangtua murid yang merasa dirugikan. Pokok pembicaraan mereka berfokus pada satu hal: Apa sebenarnya pertimbangan pemerintah ketika mencanangkan UN sebagai patokan kelulusan siswa?
Tampaknya strategi Intermilan dan Yunani yang masing-masing berhasil menjadi semifinalis Liga Champions Eropa 2010 dan juara Piala Eropa 2004 dapat menjadi perbandingan. Apa tujuan Intermilan dan Yunani ketika mengikuti kompetisi sepakbola? Jawabannya menang. Apa strategi yang dilakukan mereka? Jawabannya tidak penting, yang penting menang.
Logika orientasi hasil tanpa mempertimbangkan proses UN mirip dengan logika sepakbola Intermilan dan Yunani. Siswa seakan dihadapkan pada kenyataan bahwa “nasib”-nya sangat ditentukan oleh ujian yang hanya beberapa hari. Sementara itu, proses belajar mereka sehari-hari seakan-akan terlupakan. Bahkan, menurut berita, beberapa anak yang mendapat peringkat di kelasnya turut merasakan ketidaklulusan.
Memang, pendidikan yang berorientasi hasil (seperti orientasi filsafat behaviorisme) lebih mudah dilaksanakan dan lebih terukur. Namun, pendidikan seperti ini kurang mempertimbangkan sisi humanis manusia, dan cenderung tidak berkeadilan. Setelah beberapa tahun dilaksanakan UN, bola berada di tangan pemerintah, apakah tetap akan melaksanakan UN seperti saat ini dan berpikir ala Mourinho, ataukah melaksanakan proses pendidikan yang lebih humanis serta berpikir ala Guardiola—pelatih Barcelona? Kita tunggu saja.
0 komentar