Lima Kode Roland Barthes
December 26, 2009
Pemahaman kode dengan menggunakan Teori Roland Barthes akan memudahkan pembaca menilai tingkatan konotasi sebuah teks. Barthes di dalam bukunya mengembangkan teori kode dengan cara mendekonstruksi atau membongkar teks Balzac Sarrasine, yaitu dengan memecahnya menjadi beberapa bagian untuk dikaji, memberinya nomor dan kemudian merekonstruksinya kembali menjadi 48 tema. Dari ke-48 tema tersebut, Barthes menghasilkan konstruksi lima macam kode yang berbeda, atau yang disebutnya secara lebih populer kode yang lima. Pertama, kode hermeneutik. Di bawah kode hermeneutik, orang akan mendaftar beragam istilah (formal) yang berupa sebuah teka-teki (enigma) dapat dibedakan, diduga, diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disingkapi. Atau dengan kata lain, kode hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda yang lain. Kode ini disebut pula sebagai suara kebenaran (The Voice of Truth).
Kedua, kode proairetik atau kode narasi. Merupakan tindakan naratif dasar (basic narative action), yang tindakan-tindakannya dapat terjadi dalam berbagai sikuen yang mungkin diindikasikan. Kode ini disebut pula sebagai suara empirik.
Ketiga, kode budaya. Sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga ilmu pengetahuan. Biasanya orang mengindikasikan kepada tipe pengetahuan(fisika, fisiologi, sejarah, dan sebagainya). Kemudian, dicoba untuk mengkonstruksikan sebuah budaya yang berlangsung pada satu kurun waktu tertentu yang berusaha untuk diekspresikan. Kode ini disebut pula sebagai suara ilmu.
Keempat, kode semantik. Kode ini merupakan sebuah kode relasi penghubung (medium-relatic-code), yang merupakan konotasi dari orang, tempat, obyek, yang petandanya adalah sebuah karakter (sifat, atribut, predikat). Misalnya konotasi femininitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain, kode semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, loyalitas.
Kelima, kode simbolik. Tema merupakan sesuatu yang tidak stabil, dan tema ini dapat ditentukan dan beragam bentuknya sesuai dengan pendekatan sudut pandang (perspektif) yang digunakan. Kode simbolik juga berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia.
Bagi Barthes, proses berkarya adalah proses silang-menyilangnya lima kode di atas, yang menciptakan semacam jaringan kode-kode yang disebut topos. Sebuah teks yang dibentuk oleh topos, meskipun demikian, bukanlah teks yang monolitik, stabil, dan otonom—yang memiliki makna ideologis yang mapan—akan tetapi, tak lebih dari jaringan kutipan-kutipan, fragmen-fragmen tanda dan kodenya yang sudah ada sebelumnya, yang asal-muasalnya sudah tidak jelas lagi.
Foto: famousphilosophers.org
(Disarikan dari Yasraf Amir Piliang. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung : Jalasutra, dan berbagai sumber lainnya)
Keempat, kode semantik. Kode ini merupakan sebuah kode relasi penghubung (medium-relatic-code), yang merupakan konotasi dari orang, tempat, obyek, yang petandanya adalah sebuah karakter (sifat, atribut, predikat). Misalnya konotasi femininitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain, kode semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, loyalitas.
Kelima, kode simbolik. Tema merupakan sesuatu yang tidak stabil, dan tema ini dapat ditentukan dan beragam bentuknya sesuai dengan pendekatan sudut pandang (perspektif) yang digunakan. Kode simbolik juga berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia.
Bagi Barthes, proses berkarya adalah proses silang-menyilangnya lima kode di atas, yang menciptakan semacam jaringan kode-kode yang disebut topos. Sebuah teks yang dibentuk oleh topos, meskipun demikian, bukanlah teks yang monolitik, stabil, dan otonom—yang memiliki makna ideologis yang mapan—akan tetapi, tak lebih dari jaringan kutipan-kutipan, fragmen-fragmen tanda dan kodenya yang sudah ada sebelumnya, yang asal-muasalnya sudah tidak jelas lagi.
Foto: famousphilosophers.org
(Disarikan dari Yasraf Amir Piliang. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Bandung : Jalasutra, dan berbagai sumber lainnya)
0 komentar