Komunikasi dan Alam Spiritual
March 01, 2008Bagi yang terbiasa surfing di dunia maya, masuk di situs mesin pencari dan mencoba mengetik kata religion, agama maupun spiritual. Sekejap pasti akan menjumpai ratusan ribu bahkan mungkin jutaan situs yang memuat kata itu. Baik sekadar definisi, iklan, resensi buku, ataupun menjual sebuah buku dengan tema tersebut. Dalam hitungan detik kita telah memasuki belantara yang membingungkan. Untuk kata “agama” saja, kaum ateis, para pemuja setan atau aliran sempalan bisa turut serta didalamnya. Itulah hal yang kita jumpai akhir-akhir ini di dunia maya, demikian halnya di dunia nyata.
Wilayah Kerja
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan menangkap kebutuhan yang mendalam serta membaca hakikat terdalam hidup dan semesta1. Ada lagi cendekiawan yang mendefinisikan spiritualitas sebagai: the concept that loaded with complex and different meanings; it is used loosely in context as different as religion, architecture, music, painting literature, philosophy and alchemy, as well as in spiritualism, astrology, esoteric, knowledge, et cetera2.
Sebagian besar ini merupakan wilayah imajinasi dan intuisi yang tidak mesti berkaitan dengan masalah agama. Seorang ateis bisa sangat cerdas secara spiritual, sebaliknya seorang pemimpin agama bisa sangat tidak cerdas secara spiritual. Agama-agama bisa terus hidup tanpa tendensi spiritual manusia, bukan sebailknya. Namun, kecerdasan ini tidak dapat dikuantifikasi, hanya bisa dirasakan dan ditingkatkan.
Sebaiknya muncul pertanyaan, dimanakah spiritualitas ini berada? Jawabannya tentu tidak bisa semudah mengatakan A, atau B. Awalnya kita harus memetakan manusia terlebih dahulu. Karena dari manusia inilah muncul kecerdasan spiritual, bukan yang lain.
Secara konvensional, manusia umumnya dilihat sebagai perpaduan antara tubuh, pikiran dan ruh. Apabila awalnya orang menganggap tubuh sebagai penjara bagi ruh, kini orang cenderung melihat keterkaitan keduanya. Tubuh adalah, pertama, cara ruh tampil dan mengungkapkan diri, berkomunikasi dan memperluas diri. Kedua, tubuh adalah paradigma utama untuk memahami realitas. Realitas fisik dipahami sebagai ‘kepanjangan’ dari tubuh kita. Tubuh adalah konteks dasar pemikiran. Ketiga, tubuh adalah alam yang ada dalam diri kita. Keempat, tubuh adalah bahasa sebelum bahasa. Sementara ruh adalah, pertama, inti terdalam eksistensi. Kedua, bagian dari kita yang paham keterkaitan segala sesuatu. Ketiga, wilayah yang menciptakan makna, nilai dan orientasi hidup yang terdalam. Keempat, bagian dari kita yang bersifat intuitif dan imajinatif, serta mampu menangkap hakikat terdalam dibalik segala peristiwa dan tampilan. Kemudian elemen terakhir adalah pikiran sebagai kemampuan kita menjembatani tubuh dan ruh; membantu tubuh mengoordinasi dirinya; membantu ruh menyadari posisi aktual dan potensialnya, serta merumuskan dirinya3.
Dalam kenyataannya, tubuh, pikiran dan ruh adalah satu, yang bekerja sebagai proses kognisi yang menyeluruh, dengan pusat koordinasi otak. Namun yang sering menjadi soal adalah bahwa ketiganya kita alami juga sebagai tendensi-tendensi yang memang berbeda. Nah, di wilayah ruh inilah terdapat apa yang disebut kecerdasan spiritual atau SQ, dan tulisan ini, untuk menghindari kesimpangsiuran definisi, memilih membahas spiritualitas sebagai soul, yang memiliki pengertian jiwa, nyawa. Tendensi-tendensi spiritual tersebut ternyata berakar pada suatu struktur dalam otak, yang dinamai neural oskilasi sinkron atau ‘god spot’.
Komunikasi di Alam Spiritual
Secara mendasar, terdapat perbedaan pemahaman spiritualitas ala barat dengan timur. Sebagai contoh adalah Madonna, yang menjadi ikon seksualitas musik pop. Dalam konsernya yang ke-1000, Madonna berdoa “saya spiritual”, “saya religius”. Ketika ditanya mengenai acara doa sebelum pertunjukan tersebut, Madonna berkata “Ya, saya religius. Mereka ikhlas, paling tidak menyangkut diri saya...Saya tidak mencoba membuat jembatan antara seks dan agama. Hanya gereja Katolik yang bersikeras memisahkan keduanya, dan keduanya selalu dipisahkan, dan itu nonsense”.
Dari gambaran itu dapat diketahui bahwa umumnya orang Barat memahami spiritualitas secara berbeda dengan pengertian yang umumnya dipakai orang Timur, khususnya Indonesia. Di Barat spiritualitas dipahami sebagai sebuah intensitas, sebuah pengalaman mendalam yang tidak selalu terjadi setiap saat dalam kehidupan sehari-hari. Spiritualitas lebih merupakan sebentuk pengalaman psikis yang meninggalkan kesan dan makna yang mendalam.
Bangsa Timur, Indonesia khususnya, tidak mengalami fase sekularisasi sekian lama seperti yang terjadi di dunia Barat. Sentimen terhadap agama masih tinggi, sehingga pemahaman spiritualitas selalu dikaitkan dengan agama. Spiritualitas dimaknai jembatan yang dibangun manusia untuk berhubungan Tuhannya. Spiritualitas di Timur identik dengan religiusitas berupa penghayatan dan kedekatan manusia dengan Tuhan melalui ajaran-ajaran agama.
Spiritualisme dikalangan masyarakat modern menjadi paradoks tersendiri. Ini tentu saja meleset dari dugaan para ahli sosiologi Barat. Pengidentifikasian masyarakat modern selalu dikaitkan dengan sekularisme. Sebaliknya masyarakat tradisional lekat dengan mitologi—agar tidak mengatakan sebagai agama/religi. Kenyataannya sekarang banyak berkembang terminologi terkait era spiritual. Ada pelatihan ESQ, pelatihan salat khusyu’, kursus yoga dan sebagainya. Namun, spiritualisme yang muncul belakangan berbeda gaya dengan yang muncul terlebih dahulu. Tuntutan zaman memunculkan spiritualitas yang instan.
Sebagai gambaran, beberapa waktu lalu, di televisi nasional bermunculan tayangan-tayangan berdasarkan kisah nyata. Ada orang yang meninggal kebetulan mayatnya dipenuhi belatung, kemudian orang mengaitkan dengan masa lalunya yang kelam. Ada pula tayangan yang memperlihatkan beberapa orang yang bersurban sedang membaca doa serta mengusir makhluk-makhluk halus disekitar rumah seorang penduduk dan diliput secara langsung. Ada pula pelatihan-pelatihan spiritual singkat. Singkat kata, saat ini kemunculan spiritualisme lebih kepada visual spiritual. Orang akan selalu mengaitkan yang spirit dengan yang tampak. Ketika orang meninggal, kemudian nampak bagi orang lain jasadnya dikerumuni belatung, seketika orang mengaitkan dia dengan masa lalunya yang buruk. Ketika memahami sebuah fenomena gaib, orang akan melihatnya sebagai makhluk-makhluk yang harus diusir oleh orang-orang bersurban. Demikian juga untuk mendapatkan semangat spiritual, orang harus menangis tersedu-sedu selama beberapa jam. Memahami selama dua atau tiga hari bersama trainernya. Hal yang terjadi kemudian adalah banalitas komunikasi dengan alam spiritual kita. Ketika fenomena spiritual telah menjadi elemen produksi budaya massa, maka komunikasi spiritual semakin kehilangan makna. Ketika kunjungan haji bersama selebritis, umroh dengan selebritis, pengajian dengan muballigh selebritis telah menjadi trend, maka yang muncul adalah pemikiran “aku berbelanja maka aku ada” sebagai pengganti “aku berpikir maka aku ada”. Orang yang mempunyai harta berlebih mempunyai kesempatan melakukan laku spiritual instan, dan dianggap mempunyai kecerdasan spiritual lebih tinggi. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? ” (QS. Al. Jaatsiyah : 23)
Referensi:
1 I. Bambang Sugiharto. 2007. Posisi Ruh dalam Peradaban Kontemporer. Bandung: Jalasutra 2 Arkoun, Mohammed dalam Ruly Darmawan. 2007. Spiritualisasi dan Kontekstualisasi Objek Visual. Bandung. Jalastura 3 I. Bambang Sugiharto. 2007. Posisi Ruh dalam Peradaban Kontemporer. Bandung: Jalasutra Tulisan ini merupakan resensi dari buku “Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer”, editor: Alfathri Adlin. Bandung: Jalasutra, dengan penambahan oleh penulis
Foto:
www.kaskus.co.id
0 komentar