Pagelaran sepakbola terakbar di
benua biru sudah berakhir, dengan hasil yang sudah kita ketahui bersama.
Spanyol akhirnya memenangkan turnamen sepakbola terbesar tahun 2012 ini dengan
mengalahkan Italia di babak final. Tidak tanggung-tanggung, Italia dikanvaskan
dengan skor 4-0, skor terbesar dalam sejarah final Piala Eropa hingga tulisan
ini dibuat.
Saya tidak akan membahas tentang detil
teknik dan strategi kedua tim, tidak pula membahas skill mumpuni dari masing-masing kesebelasan, apalagi membahas
WAG’s dari tiap pemain yang rata-rata cantik, itu bukan bakat saya. Saya hanya
ingin menyampaikan beberapa pelajaran yang mungkin dapat dipetik dari
perhelatan Piala Eropa tahun ini.
Spanyol, tim yang superior
beberapa tahun belakangan ini, menjadi pemenang, dan mengangkat piala, setelah
sebelumnya tidak pernah kalah. Italia, tim yang selalu memberi kejutan ketika
terjadi krisis internal, pun setali tiga uang, tidak pernah kalah sebelumnya. Namun
demikian, kemenangan dan hasil imbang masing-masing tim tidak diperoleh dengan
mudah. Babak demi babak, pertandingan demi pertandingan dilalui oleh kedua tim
dengan perjuangan yang tidak dapat dikatakan ringan. Tim-tim yang mereka kalahkan
pun bukanlah tim semenjana. Saya kira kalau timnas Indonesia berkesempatan
berhadapan dengan salah satu tim terlemah yang bermain di Piala Eropa, mungkin
yang terjadi adalah kekalahan di pihak kita dengan selisih gol yang tidak
sedikit, no offense, tapi itulah
kenyataan perkembangan sepakbola tanah air.
Ketika berhadapan di babak final,
Spanyol dan Italia saya lihat bukan lagi tim yang sama yang berlaga di
babak-babak sebelumnya. Mereka adalah tim yang sama sekali baru. Hasil akhir yang
tercatat di papan skor membuktikan itu. Italia bukan lagi tim “pembantai
raksasa” seperti ketika berhadapan dengan Jerman atau Inggris. Spanyol juga
bukan lagi tim yang asyik menguasai bola, bermain “tiki-taka” dan menjadi
bingung mencetak gol ketika di depan tidak ada striker sekelas Messi. Mereka
betul-betul berubah.
Melihat cerminan partai final
Piala Eropa, Saya tiba-tiba teringat dengan keadaan kita. Seringkali kita berharap
hasil akhir yang diraih sesuai performance
yang dijalani setiap saat. Ketika hari-hari yang berjalan serasa sukses, indah,
dan berhasil, maka hasil akhir yang diraih merupakan akumulasi akan kesuksesan,
keindahan, dan keberhasilan tersebut. Padahal belum tentu. Adakalanya hasil akhir
yang diraih justru merupakan antiklimaks performance
kita sehari-hari.
Kenapa ini terjadi? Saya kira
karena kehidupan itu seperti air yang mengalir di sungai. Kita tidak akan
pernah menjumpai air yang sama dalam tempo waktu berbeda. Kita selalu menjumpai
hal-hal berbeda dalam setiap periode kehidupan. Kehidupan bukanlah penjumlahan
matematika, di mana faktor penjumlah besar akan memberi hasil besar. Kehidupan itu
misterius, tidak tertebak.
Seorang mahasiswa mata kuliah
Iklan Media Cetak, umpamanya. Dia merasa sudah mengerjakan segala tugas dan menjawab
semua pertanyaan dengan tepat. Namun, di akhir episode perkuliahan, hasil yang
diharapkan setimpal dengan kerja keras di tiap tatap muka menguap entah ke
mana. Kecewa yang dirasakan. Kadang-kadang sang mahasiswa mengajak rekannya ramai-ramai
datang ke dosen pengampu mata kuliah dengan membawa sepikul keluhan. Ketika
keluhan itu terabaikan, yang muncul adalah keputusasaan, kemalasan,
ketidaksemangatan.
Belajar dari final Piala Eropa
tadi, hendaknya kita semua bisa selalu ingat. Kehidupan ini tidak hanya
berputar, kehidupan ini juga mengalir. Sehingga, apabila menjumpai hasil
seperti yang dialami oleh timnas Italia, kita masih punya pengharapan.
Setidaknya, masih ada hari esok yang berbeda dengan hari ini. Masih ada
tantangan baru di depan yang menunggu diselesaikan.
Proses inilah yang dinamakan
belajar. Kadangkala orang untuk meraih keberhasilan tidak dapat berpedoman pada
seberapa menderitanya dia. Mungkin saja ada orang yang berusaha hanya
sekedarnya saja, namun “sukses” seperti yang dia inginkan. Sebaliknya, mungkin
saja ada orang yang menderita, yang penuh perjuangan, namun tidak ‘berhasil’
seperti pengharapannya. Semua mungkin, namun tidak ada yang gagal. Tipe orang
kedua tadi, yang mungkin dianggap gagal oleh sebagian orang, menurut saya
berhasil dalam satu hal: berhasil
belajar!
Tulisan ini bukan sebagai bentuk apologize atau pembelaan diri di tengah
penghitungan nilai mata kuliah. Bukan itu. Tulisan yang dibuat ditengah-tengah
proses penilaian beberapa mata kuliah yang saya ampu ini, merupakan penyadar
diri pribadi. Dosen juga manusia, bisa salah apalagi lupa. Ketika sudah
berusaha sejauh dia bisa, dan kesalahan serta kelupaan terjadi, paling tidak
sang dosen juga berhasil dalam satu hal: berhasil
belajar!