Bung Karno pernah mengucapkan sebuah ungkapan yang sangat terkenal, “Jas Merah” sebagai akronim dari “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Tampaknya kita harus sering mengingat ungkapan yang diucapkan oleh salah seorang Bapak Bangsa ini. Ungkapan ini menjadi relevan lagi, karena tampaknya bangsa kita ini sudah mulai menjadi bangsa pelupa. Lupa banyak hal.
Momentum Sea Games kali ini menjadi salah satu ujian ingatan bangsa. Saya khusus akan membahas cabang olahraga sepakbola. Walaupun hanya memperebutkan satu medali, sepakbola adalah olahraga spesial. Meskipun menurut kalkulasi di atas kertas Indonesia hampir pasti menjadi juara umum, tapi kalau cabang sepakbola meraih emas, serasa ada sesuatu yang kurang, ibarat sayur tanpa garam. Konon karena saking dahsyatnya fenomena kecintaan terhadap sepakbola, negeri ini menjadi salah satu penyelenggara siaran langsung sepakbola yang dapat dikategorikan tinggi apabila dibandingkan dengan beberapa negara penghasil bakat sepakbola dunia; seperti Denmark yang justru tidak mempunyai jadwal siaran langsung pertandingan sepakbola.
Kecintaan terhadap sepakbola juga berimbas pada harapan tinggi terhadap prestasi persepakbolaan tanah air. Apalagi bila pertandingan sepakbola digelar di tanah air, harapan menang terhadap Timnas akan semakin tebal. Saya pribadi mengamati euforia kemenangan yang mencolok terjadi ketika Timnas Garuda berpartisipasi di Piala AFF beberapa tempo hari. Di awal kompetisi, kemenangan terus mengalir. Pujian dan harapan setinggi langit disematkan di pundak Bambang Pamungkas, dan kawan-kawan.
Kemenangan demi kemenangan yang diraih dengan skor meyakinkan membuat pemain Timnas tiba-tiba menjadi idola baru. Waktu itu, siapa yang tidak terkesima dengan penetrasi Okto Maniani dari sisi sayap, kemudian munculnya bintang baru nan rupawan: Irfan Bachdim. Tidak lupa pula ada “el-Loco” Gonzales dengan naluri mencetak gol yang luar biasa. Nama-nama mereka dicetak beratus-ratus, bahkan beribu-ribu kali di kaos Timnas yang laris manis terjual, baik versi asli maupun bajakannya. Wajah mereka juga menghiasi headline sebagian media olahraga nasional.
Pesta pasti berakhir. Euforia dan harapan setinggi langit itu runtuh seiring dengan runtuhnya prestasi yang menjulang itu. Di penghujung kompetisi, tim kesayangan kalah secara menyakitkan dari negara tetangga, Malaysia. Semua pihak tiba-tiba saling menyalahkan. Ada pihak yang menyalahkan pengurus PSSI, ada yang menyalahkan wasit, ada yang menyalahkan suporter lawan, banyak lagi yang bisa disalahkan. Bagaimanapun, hasil akhirnya sama, Timnas kita kalah.
Tidak disangsikan, pemain Timnas adalah garuda-garuda yang hebat secara teknis. Namun, mereka juga manusia biasa. Saya yakin mereka juga memiliki emosi yang terkadang tidak dipahami oleh masyarakat luas. Kedahsyatan prestasi ketika berpartisipasi di Piala AFF tidak kelihatan sedikit pun di kompetisi pra-Piala Dunia. Timnas kita menjadi bulan-bulanan tim-tim seperti Iran, Bahrain, bahkan Qatar. Masyarakat yang kecewa seperti mengabaikan mereka. Tidak ada lagi sambutan seperti dulu, tidak lagi ada wawancara dengan media massa, pejabat-pejabat pun seperti enggan kenal dengan mereka. Kasihan.
Ada faktor lain yang membuat Timnas ini terabaikan: Timnas Garuda Muda! Prestasi Timnas Garuda muda yang dahsyat dalam beberapa pertandingan uji coba, kemudian berlanjut pada pertandingan-pertandingan awal Sea Games 2011, membuat sebagian masyarakat silau. Saat ini orang lebih mengelu-elukan trio Papua Titus Bonai, Patric Wanggai, dan Okto Maniani daripada para seniornya.
Kamis malam ketika menonton pertandingan Indonesia Muda versus Malaysia, saya khawatir satu hal: Indonesia Muda menang. Walaupun tidak rela juga kalau Garuda Muda ini kalah. Kekhawatiran saya terhadap kemenangan Indonesia lebih pada proses yang mirip dengan Piala AFF beberapa waktu lalu, seperti ada dejavu. Menang, dan menang lagi dapat membuat pemain salah dalam bersikap. Mereka bisa menganggap enteng lawan-lawan berikutnya, apalagi tim-tim yang dikalahkan di group penyisihan seperti Thailand dan Singapura dapat dikategorikan sebagai lawan-lawan berat.
Untung saja Indonesia Muda tidak menang melawan Malaysia. Akhirnya masyarakat sadar bahwa mereka adalah manusia. Manusia yang mempunyai kelemahan. Para pemain pun saya kira juga kembali down to earth. Mereka harusnya menjadi lebih dewasa secara emosional. Tidak semua lawan bisa dikalahkan. Pertandingan versus Malaysia tampaknya menjadi obat yang pahit. Emosi yang memuncak, perilaku yang tidak baik di lapangan, harus dihindari. Ketika Garuda Muda kalah dari Malaysia, Saya sedikit tersenyum walaupun kecewa; “Syukurlah, dejavu itu tidak terjadi.”
Sabtu malam ini, Garuda Muda akan menapak di babak semifinal melawan Vietnam. Kekalahan dari Malaysia saya harap menjadi pelecut semangat mereka di babak ini. Sehingga benar kata teman di Twitter, “Good job Malaysia U23, we hope to meet you at final.” Pesan Saya hanya satu, jangan terlalu fokus dengan Malaysia. Anggap mereka seperti lawan-lawan lainnya. Samakan mereka dengan Vietnam atau tim lainnya. Sehingga dejavu tidak lagi terjadi, dan kita mampu mengakhiri puasa medali emas dari cabang sepakbola. Indonesia Bisa!
Momentum Sea Games kali ini menjadi salah satu ujian ingatan bangsa. Saya khusus akan membahas cabang olahraga sepakbola. Walaupun hanya memperebutkan satu medali, sepakbola adalah olahraga spesial. Meskipun menurut kalkulasi di atas kertas Indonesia hampir pasti menjadi juara umum, tapi kalau cabang sepakbola meraih emas, serasa ada sesuatu yang kurang, ibarat sayur tanpa garam. Konon karena saking dahsyatnya fenomena kecintaan terhadap sepakbola, negeri ini menjadi salah satu penyelenggara siaran langsung sepakbola yang dapat dikategorikan tinggi apabila dibandingkan dengan beberapa negara penghasil bakat sepakbola dunia; seperti Denmark yang justru tidak mempunyai jadwal siaran langsung pertandingan sepakbola.
Kecintaan terhadap sepakbola juga berimbas pada harapan tinggi terhadap prestasi persepakbolaan tanah air. Apalagi bila pertandingan sepakbola digelar di tanah air, harapan menang terhadap Timnas akan semakin tebal. Saya pribadi mengamati euforia kemenangan yang mencolok terjadi ketika Timnas Garuda berpartisipasi di Piala AFF beberapa tempo hari. Di awal kompetisi, kemenangan terus mengalir. Pujian dan harapan setinggi langit disematkan di pundak Bambang Pamungkas, dan kawan-kawan.
Kemenangan demi kemenangan yang diraih dengan skor meyakinkan membuat pemain Timnas tiba-tiba menjadi idola baru. Waktu itu, siapa yang tidak terkesima dengan penetrasi Okto Maniani dari sisi sayap, kemudian munculnya bintang baru nan rupawan: Irfan Bachdim. Tidak lupa pula ada “el-Loco” Gonzales dengan naluri mencetak gol yang luar biasa. Nama-nama mereka dicetak beratus-ratus, bahkan beribu-ribu kali di kaos Timnas yang laris manis terjual, baik versi asli maupun bajakannya. Wajah mereka juga menghiasi headline sebagian media olahraga nasional.
Pesta pasti berakhir. Euforia dan harapan setinggi langit itu runtuh seiring dengan runtuhnya prestasi yang menjulang itu. Di penghujung kompetisi, tim kesayangan kalah secara menyakitkan dari negara tetangga, Malaysia. Semua pihak tiba-tiba saling menyalahkan. Ada pihak yang menyalahkan pengurus PSSI, ada yang menyalahkan wasit, ada yang menyalahkan suporter lawan, banyak lagi yang bisa disalahkan. Bagaimanapun, hasil akhirnya sama, Timnas kita kalah.
Tidak disangsikan, pemain Timnas adalah garuda-garuda yang hebat secara teknis. Namun, mereka juga manusia biasa. Saya yakin mereka juga memiliki emosi yang terkadang tidak dipahami oleh masyarakat luas. Kedahsyatan prestasi ketika berpartisipasi di Piala AFF tidak kelihatan sedikit pun di kompetisi pra-Piala Dunia. Timnas kita menjadi bulan-bulanan tim-tim seperti Iran, Bahrain, bahkan Qatar. Masyarakat yang kecewa seperti mengabaikan mereka. Tidak ada lagi sambutan seperti dulu, tidak lagi ada wawancara dengan media massa, pejabat-pejabat pun seperti enggan kenal dengan mereka. Kasihan.
Ada faktor lain yang membuat Timnas ini terabaikan: Timnas Garuda Muda! Prestasi Timnas Garuda muda yang dahsyat dalam beberapa pertandingan uji coba, kemudian berlanjut pada pertandingan-pertandingan awal Sea Games 2011, membuat sebagian masyarakat silau. Saat ini orang lebih mengelu-elukan trio Papua Titus Bonai, Patric Wanggai, dan Okto Maniani daripada para seniornya.
Kamis malam ketika menonton pertandingan Indonesia Muda versus Malaysia, saya khawatir satu hal: Indonesia Muda menang. Walaupun tidak rela juga kalau Garuda Muda ini kalah. Kekhawatiran saya terhadap kemenangan Indonesia lebih pada proses yang mirip dengan Piala AFF beberapa waktu lalu, seperti ada dejavu. Menang, dan menang lagi dapat membuat pemain salah dalam bersikap. Mereka bisa menganggap enteng lawan-lawan berikutnya, apalagi tim-tim yang dikalahkan di group penyisihan seperti Thailand dan Singapura dapat dikategorikan sebagai lawan-lawan berat.
Untung saja Indonesia Muda tidak menang melawan Malaysia. Akhirnya masyarakat sadar bahwa mereka adalah manusia. Manusia yang mempunyai kelemahan. Para pemain pun saya kira juga kembali down to earth. Mereka harusnya menjadi lebih dewasa secara emosional. Tidak semua lawan bisa dikalahkan. Pertandingan versus Malaysia tampaknya menjadi obat yang pahit. Emosi yang memuncak, perilaku yang tidak baik di lapangan, harus dihindari. Ketika Garuda Muda kalah dari Malaysia, Saya sedikit tersenyum walaupun kecewa; “Syukurlah, dejavu itu tidak terjadi.”
Sabtu malam ini, Garuda Muda akan menapak di babak semifinal melawan Vietnam. Kekalahan dari Malaysia saya harap menjadi pelecut semangat mereka di babak ini. Sehingga benar kata teman di Twitter, “Good job Malaysia U23, we hope to meet you at final.” Pesan Saya hanya satu, jangan terlalu fokus dengan Malaysia. Anggap mereka seperti lawan-lawan lainnya. Samakan mereka dengan Vietnam atau tim lainnya. Sehingga dejavu tidak lagi terjadi, dan kita mampu mengakhiri puasa medali emas dari cabang sepakbola. Indonesia Bisa!
Foto : www.iconarchive.com