Filsafat ibarat rumah, ia terdiri dari kamar-kamar yang terkunci rapat. Paling tidak, ada tiga kamar besar di rumah itu. Kamar pengetahuan, nilai, dan “ada” (metafisika/ontologi). Masing-masing kamar itu memiliki subkamar sendiri-sendiri, bahkan ada lagi kamar yang lebih kecil di dalamnya.
Dapat dibayangkan betapa luasnya rumah filsafat itu. Sedemikian luasnya hingga tidak semua filsuf sempat menjelajahi seluruh kamar. Meskipun demikian, ada beberapa filsuf yang mampu mendiami beberapa kamar sekaligus, yakni menguasai beberapa tema filsafat. Namun ada pula filsuf yang hanya berkonsentrasi pada satu tema filsafat.
Filsafat fenomenologi merupakan satu subkamar, atau bahkan mungkin kamar yang lebih kecil lagi, dalam naungan kamar besar “ada”. Apabila kita memelajari kajian filsafat fenomenologi ini, mau tidak mau pasti akan menyebut sebuah nama, Martin Heidegger, setara dengan nama-nama besar lain dalam kamar filsafat Fenomenologi. Hal ini karena gagasan-gagasannya yang menggetarkan filsafat Barat, getaran yang konon katanya hanya bisa ditandingi oleh sang filsuf godam: Nietzsche.
Meskipun Heidegger sedemikian terkenalnya, ternyata pemikirannya laksana rimba belantara: gelap, suram, dan rumit. Wajar saja kalau kemudian Heidegger pada akhirnya berkenalan dan mendiami salah satu subkamar rumah filsafat dengan modus berpikir paling rumit di jagat ini: filsafat fenomenologi.
Fenomenologi memandang dunia manusia bukan semata sebagai dunia pengamatan, melainkan yang paling primordial: dunia penghayatan (labenswelt). Dunia penghayatan berbeda dengan dunia pengamatan yang menjadi basis sains. Dunia penghayatan adalah cikal bakal dunia pengamatan yang dilupakan. Kelupaan yang menurut Edmund Husserl (tokoh fenomenologi sebelum Heidegger) telah menimbulkan krisis ilmu pengetahuan. Pengalaman manusia yang sangat purwa-rupa, dalam dunia pengamatan diabstraksi habis dalam formula-formula kering. Pada akhirnya abstraksi kering tersebut juga membuat miskinnya pemahaman tentang “ada” atau being.
Heidegger mengingatkan kelalaian filsafat Barat dalam melakukan “pembedaan ontologis” antara “Ada” (Sein) dan “mengada” (Seiendes). Filsafat Barat ketika itu menafsirkan “Ada” yang sama dengan “mengada”. Rumah, jalan, dan pohon, misalnya, semuanya “ada”. Namun “Ada” bukanlah semata-mata rumah, jalan, atau pohon. “Ada” adalah sesuatu yang melampaui sekaligus menyelubungi “mengada”. Sein dan seiendes inilah yang menjadi persoalan antara manusia sebagai sesuatu yang otentik dan manusia sebagai yang inotentik. Manusia yang otentik selalu mencari alasan eksistensialnya, sementara manusia otentik seringkali puas dengan eksistensinya saat ini.
Kelalaian filsafat Barat mengenai pemisahan dua konsep ontologis tersebut berakibat fatal. Pertanyaan filsafat Barat sebelumnya selalu berbasiskan asumsi tentang “ada” sebagai benda-benda deskriptif. Padahal “Ada”, dengan “a” besar, bagi Heidegger lebih agung dari itu. Pertanyaan filsafat harusnya dikonsentrasikan pada “Ada” yang agung itu. “Ada” yang menuntut perubahan pertanyaan filosofis. “Ada” yang tidak bisa direduksi menjadi benda-benda. Pertanyaan tentang “Ada” harus dibedakan dengan sekedar pertanyaan tentang “apa itu komputer?”, misalnya. Pertanyaan tentang “Ada” ini pada akhirnya hanya dapat melihat bunga mawar merah tidak sekedar onggokan definisi biologis, namun dapat juga bermakna romantis.
Jika “Ada” tidak memiliki sifat kebendaan, lalu bagaimana mencari tahu apa “Ada” itu sesungguhnya? Heidegger menawarkan untuk memulai dari satu-satunya sosok yang mempersoalkan “Ada”: manusia. Karena manusia bukan benda, maka Heidegger memilih istilah dasein. Dalam bahasa Jerman “Da” berarti di sana (ruang waktu), dan “Sein” yang berarti ada. Sehingga dasein berarti “ada di sana (ruang waktu)”. Manusia selalu merupakan “ada” yang menemukan dirinya terjebak dalam ruang waktu tertentu.
Secara tidak langsung, Heidegger menunjukkan lewat sebuah analisis yang panjang, pelan-pelan, dan seringkali sederhana, bahwa apa yang tampaknya merupakan pengalaman yang uniter (menyatukan) itu mestilah kenyataannya mengandung sejumlah isi yang bisa dipilah-pilah.
Yang pertama, agar muncul kesadaran akan sesuatu, maka harus ada sesuatu yang ditangkap sebagai sedang berlangsung; harus ada bidang aktivitas dan bidang kejadian betapa pun kaburnya, entah itu bersifat inderawi, mental, emosional, imajinasi, fisik, atau lainnya. Harus ada rasa (sense), betapa pun terbatas dan primitifnya, akan adanya bidang kejadian, sebuah “dunia” kesadaran, meski itu mungkin sekadar sebuah layar yang bersifat mental (mental screen). Dalam artian ini, “keduniaan” (worldishness) merupakan bahan yang niscaya bagi adanya kesadaran. Yang kedua, agar sesuatu itu terasa sedang berlangsung, maka harus ada dimensi waktu. Keberlangsungan (ongoingness) macam apa pun tak akan mungkin tanpa adanya waktu, meski hal ini berarti membuka pertanyaan mengenai apa waktu itu. Yang ketiga, agar kita bisa menyadari sesuatu , sesuatu itu harus membentuk pengalaman. Secara singkat, ada tiga bahan yang niscaya agar sebuah kesadaran (ada yang diinsafi) bisa muncul: yaitu keduniaan, waktu, dan keterlibatan.
Hidup terus berlanjut, demikian juga pemikiran Heidegger. Keyakinan dalam memahami makna ada lewat manusia yang disebutnya Dasein, lambat laun berubah, dan terjadilah die Kehre, pembalikan dalam pemikiran Heidegger. Di dalam usia tuanya Heidegger menulis buku Beitrage zur Philosophie (Vom Ereignis) (Kontribusi-kontribusi untuk Filsafat [Tentang Peristiwa], 1936-1937), salah satu buku penting yang menandai apa yang disebut die Kehre itu. Di situ dia berpikir bahwa Ada dapat ditangkap tanpa perantaraan manusia, karena Ada itu tidak tersembunyi dan membuka diri. Pemikiran yang misterius lagi.
Bagaimanapun Heidegger adalah manusia. Sesuai perkataannya sendiri: “Dia yang memikirkan pemikiran-pemikiran besar sering membuat kekeliruan-kekeliruan besar”. Selain sebagai salah satu metafisikus besar abad ke-20, Heidegger juga terlibat Nazi, dan berselingkuh dengan salah satu mahasiswinya, Hannah Arendt. Pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai ada selalu dijawab dengan penjelasan yang panjang lebar oleh Heidegger, namun dia selalu bungkam ketika ditanya dua “kesalahan” yang dilakukannya dalam hidup tersebut. Bungkam hingga Heidegger wafat.
Referensi:
Adian, D.G. (2002). Martin Heidegger: Seri Tokoh Filsafat. Jakarta: Penerbit Teraju
Hardiman, F.B. (2016). Heidegger dan Para Pensiunan. Dalam F.B. Hardiman (Ed.), Filsafat untuk Para Profesional (pp. 201-216). Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Kuswarno, E. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran
Magee, B. (2005). Memoar Seorang Filosof: Pengembaraan di Belantara Filsafat. (Eko Prasetyo, Pen.) Bandung: Penerbit Mizan
Fenomenologi memandang dunia manusia bukan semata sebagai dunia pengamatan, melainkan yang paling primordial: dunia penghayatan (labenswelt). Dunia penghayatan berbeda dengan dunia pengamatan yang menjadi basis sains. Dunia penghayatan adalah cikal bakal dunia pengamatan yang dilupakan. Kelupaan yang menurut Edmund Husserl (tokoh fenomenologi sebelum Heidegger) telah menimbulkan krisis ilmu pengetahuan. Pengalaman manusia yang sangat purwa-rupa, dalam dunia pengamatan diabstraksi habis dalam formula-formula kering. Pada akhirnya abstraksi kering tersebut juga membuat miskinnya pemahaman tentang “ada” atau being.
Heidegger mengingatkan kelalaian filsafat Barat dalam melakukan “pembedaan ontologis” antara “Ada” (Sein) dan “mengada” (Seiendes). Filsafat Barat ketika itu menafsirkan “Ada” yang sama dengan “mengada”. Rumah, jalan, dan pohon, misalnya, semuanya “ada”. Namun “Ada” bukanlah semata-mata rumah, jalan, atau pohon. “Ada” adalah sesuatu yang melampaui sekaligus menyelubungi “mengada”. Sein dan seiendes inilah yang menjadi persoalan antara manusia sebagai sesuatu yang otentik dan manusia sebagai yang inotentik. Manusia yang otentik selalu mencari alasan eksistensialnya, sementara manusia otentik seringkali puas dengan eksistensinya saat ini.
Kelalaian filsafat Barat mengenai pemisahan dua konsep ontologis tersebut berakibat fatal. Pertanyaan filsafat Barat sebelumnya selalu berbasiskan asumsi tentang “ada” sebagai benda-benda deskriptif. Padahal “Ada”, dengan “a” besar, bagi Heidegger lebih agung dari itu. Pertanyaan filsafat harusnya dikonsentrasikan pada “Ada” yang agung itu. “Ada” yang menuntut perubahan pertanyaan filosofis. “Ada” yang tidak bisa direduksi menjadi benda-benda. Pertanyaan tentang “Ada” harus dibedakan dengan sekedar pertanyaan tentang “apa itu komputer?”, misalnya. Pertanyaan tentang “Ada” ini pada akhirnya hanya dapat melihat bunga mawar merah tidak sekedar onggokan definisi biologis, namun dapat juga bermakna romantis.
Jika “Ada” tidak memiliki sifat kebendaan, lalu bagaimana mencari tahu apa “Ada” itu sesungguhnya? Heidegger menawarkan untuk memulai dari satu-satunya sosok yang mempersoalkan “Ada”: manusia. Karena manusia bukan benda, maka Heidegger memilih istilah dasein. Dalam bahasa Jerman “Da” berarti di sana (ruang waktu), dan “Sein” yang berarti ada. Sehingga dasein berarti “ada di sana (ruang waktu)”. Manusia selalu merupakan “ada” yang menemukan dirinya terjebak dalam ruang waktu tertentu.
Secara tidak langsung, Heidegger menunjukkan lewat sebuah analisis yang panjang, pelan-pelan, dan seringkali sederhana, bahwa apa yang tampaknya merupakan pengalaman yang uniter (menyatukan) itu mestilah kenyataannya mengandung sejumlah isi yang bisa dipilah-pilah.
Yang pertama, agar muncul kesadaran akan sesuatu, maka harus ada sesuatu yang ditangkap sebagai sedang berlangsung; harus ada bidang aktivitas dan bidang kejadian betapa pun kaburnya, entah itu bersifat inderawi, mental, emosional, imajinasi, fisik, atau lainnya. Harus ada rasa (sense), betapa pun terbatas dan primitifnya, akan adanya bidang kejadian, sebuah “dunia” kesadaran, meski itu mungkin sekadar sebuah layar yang bersifat mental (mental screen). Dalam artian ini, “keduniaan” (worldishness) merupakan bahan yang niscaya bagi adanya kesadaran. Yang kedua, agar sesuatu itu terasa sedang berlangsung, maka harus ada dimensi waktu. Keberlangsungan (ongoingness) macam apa pun tak akan mungkin tanpa adanya waktu, meski hal ini berarti membuka pertanyaan mengenai apa waktu itu. Yang ketiga, agar kita bisa menyadari sesuatu , sesuatu itu harus membentuk pengalaman. Secara singkat, ada tiga bahan yang niscaya agar sebuah kesadaran (ada yang diinsafi) bisa muncul: yaitu keduniaan, waktu, dan keterlibatan.
Hidup terus berlanjut, demikian juga pemikiran Heidegger. Keyakinan dalam memahami makna ada lewat manusia yang disebutnya Dasein, lambat laun berubah, dan terjadilah die Kehre, pembalikan dalam pemikiran Heidegger. Di dalam usia tuanya Heidegger menulis buku Beitrage zur Philosophie (Vom Ereignis) (Kontribusi-kontribusi untuk Filsafat [Tentang Peristiwa], 1936-1937), salah satu buku penting yang menandai apa yang disebut die Kehre itu. Di situ dia berpikir bahwa Ada dapat ditangkap tanpa perantaraan manusia, karena Ada itu tidak tersembunyi dan membuka diri. Pemikiran yang misterius lagi.
Bagaimanapun Heidegger adalah manusia. Sesuai perkataannya sendiri: “Dia yang memikirkan pemikiran-pemikiran besar sering membuat kekeliruan-kekeliruan besar”. Selain sebagai salah satu metafisikus besar abad ke-20, Heidegger juga terlibat Nazi, dan berselingkuh dengan salah satu mahasiswinya, Hannah Arendt. Pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai ada selalu dijawab dengan penjelasan yang panjang lebar oleh Heidegger, namun dia selalu bungkam ketika ditanya dua “kesalahan” yang dilakukannya dalam hidup tersebut. Bungkam hingga Heidegger wafat.
Referensi:
Adian, D.G. (2002). Martin Heidegger: Seri Tokoh Filsafat. Jakarta: Penerbit Teraju
Hardiman, F.B. (2016). Heidegger dan Para Pensiunan. Dalam F.B. Hardiman (Ed.), Filsafat untuk Para Profesional (pp. 201-216). Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Kuswarno, E. (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran
Magee, B. (2005). Memoar Seorang Filosof: Pengembaraan di Belantara Filsafat. (Eko Prasetyo, Pen.) Bandung: Penerbit Mizan
Foto: www.pinterest.com