Kita sering mendengar atau mengamati orang yang terjalin dalam sebuah hubungan dekat saling mengucapkan dan mengungkapkan rasa kasih sayangnya. Ucapan dan ungkapan kasih sayang tersebut memprakarsai dan memelihara hubungan antarpribadi diiringi dengan beberapa perilaku lainnya seperti memeluk, mencium, atau sekedar memegang tangan. Ternyata perilaku-perilaku tersebut merupakan insting bertahan hidup manusia, setidaknya menurut Teori Pertukaran Kasih Sayang (TPK) yang akan saya sitir berikut ini.
Teori ini ditulis oleh Kory Floyd, Jeff Judd, dan Colin Hesse (2008) dengan judul aslinya Affection Exchange Theory: A Bio-Evolutionary Look at Affectionate Communication. TPK merupakan konstruk subteoritis yang berasal dari prinsip-prinsip psikologi evolusioner. Teori neo-Darwinian seperti TPK berkonsentrasi dalam proses seleksi alam, yang menyatakan bahwa perilaku manusia telah berevolusi dalam menanggapi sebuah kesulitan kehidupan dengan sedemikian rupa sehingga karakteristik yang memberi keuntungan dalam menjawab tantangan-tantangan hidup dan/atau melanjutkan keturunan akan lebih sering diwariskan ke generasi berikutnya dibandingkan karakteristik yang netral atau negatif.
Selanjutnya, manusia telah mengembangkan serangkaian strategi tertentu untuk menarik dan mempertahankan pasangan yang memiliki sifat-sifat menguntungkan serta untuk meneruskan sifat-sifat ini kepada keturunannya melalui proses reproduksi seksual. TPK mengkonseptualisasikan bahwa mengungkapkan dan menerima kasih sayang merupakan perilaku evolusioner menguntungkan yang meningkatkan kemungkinan bertahan hidup komunikator dan reproduksi yang sukses, di mana hal tersebut merupakan tujuan inti dari semua manusia.
Asumsi Teori
Asumsi-asumsi pokok TPK mengikuti tradisi pemikiran evolusi dalam mahzab neo-Darwinian. Beberapa asumsinya antara lain bahwa: (a) Reproduksi dan kelangsungan hidup, keduanya merupakan tujuan-tujuan manusia yang pokok; (b) Perilaku-perilaku komunikasi dapat bertindak terhadap salah satu atau kedua tujuan pokok tersebut, bahkan dengan cara-cara yang spekulatif; dan (c) Individu-individu tidak perlu sadar tentang tujuan perilaku-perilaku evolusioner yang mereka lakukan.
Selain ketiga asumsi di atas, ada dua asumsi lainnya yang mendukung. Pertama, manusia sebagaimana organisme lainnya, tunduk kepada prinsip-prinsip mengenai seleksi alam dan seleksi seksual. Artinya, seperti kata Darwin, sifat atau kecenderungan-kecenderungan yang menguntungkan sebuah organisme berkenaan dengan reproduksi atau kelangsungan hidup akan diseleksi guna memperbesar kemungkinan kelangsungan hidup generasinya. Kedua, perilaku komunikasi manusia hanya sebagian yang tunduk terhadap kesengajaan/kesadaran diri komunikator. Secara tidak sadar, selain dipengaruhi oleh konteks sosial, perilaku komunikasi manusia juga dalam pengaruh faktual proses biologis dan adaptasi evolusioner. Dengan kata lain aspek-aspek sosial hubungan manusia secara tidak langsung berkaitan dengan aspek biologis juga, bahkan evolusi. Komunikasi penuh kasih sayang dapat berkontribusi tidak hanya tentang kesehatan hubungan (sosial), tetapi juga kesehatan orang itu sendiri (biologis).
Beberapa postulat
TPK memulai dengan postulat pertama dengan proposisi “kebutuhan dan kapasitas untuk kasih sayang adalah pembawaan sifat manusia kita”. Manusia dilahirkan dengan kemampuan dan kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, dimana sebagian ditimbulkan oleh masyarakat, sebagian yang lain oleh struktur fisik otak kita. Dengan demikian, kasih sayang adalah sumber yang dicari dan diinginkan dalam hubungan interpersonal kita.
Postulat kedua mengenai TPK menekankan sebuah konsep penting bahwa “perasaan kasih sayang dan ekspresi penuh kasih sayang merupakan pengalaman berbeda yang seringkali (tapi tidak selalu) bervariasi bersama (co-vary)”. Dengan demikian, tipe-tipe pesan ini seringkali hanya melibatkan ekspresi kasih sayang, dan bukan pengalaman kasih sayang. Mengutip pendapat Ekman dan Friesen (1975) tentang aturan penampilan (display rules) yang melihat perbedaan pengalaman dan ekspresi kasih sayang dalam beberapa cara. Pertama, Komunikator bisa saja menghambat emosi mereka, di mana mereka tidak mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Kedua, komunikator dapat membuat simulasi emosi yang tidak mereka rasakan. Komunikator mungkin juga dapat mengekspresikan emosinya dalam tingkatan intensitas yang lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan emosi yang benar-benar mereka rasakan. Selain itu, emosi dapat juga tertutup oleh emosi lainnya.
Postulat TPK ketiga menyatakan bahwa “komunikasi penuh kasih sayang bersifat adaptif dan menguntungkan dalam kerangka ‘perburuan’ manusia terhadap kehidupan dan kesuburan,” sedangkan menerima dan menyampaikan pernyataan-pernyataan penuh kasih sayang berkontribusi bagi kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi. Komunikasi penuh kasih sayang membantu dalam penciptaan ikatan antarmanusia, yang memberi manfaat perlindungan dan pembagian sumber daya dari kedua belah pihak. Dalam ikatan pasangan, misalnya, beban membesarkan anak terbagi secara fisik bagi pasangan tersebut, sehingga mengurangi beban masing-masing dan tentu saja bermanfaat juga untuk kelangsungan hidup anaknya. Sebagaimana tujuan reproduksi manusia adalah untuk melihat garis genetika yang disandang oleh keturunannya, manfaat fisik dan emosional memberikan kasih sayang kepada anak juga untuk memenuhi kebutuhan orangtua.
Keempat, “umat manusia berbeda dalam konteks toleransi-toleransi optimal bagi kasih sayang dan perilaku penuh kasih sayang.” Hal ini berarti tidak ada struktur kasih sayang standar yang sama bagi setiap manusia, sehingga ada berbagai toleransi untuk kasih sayang yang berbeda-beda tergantung individunya.
Postulat terakhir menyatakan “perilaku kasih sayang yang berada pada keadaan diatas atau di bawah rata-rata toleransi dapat mengakibatkan konsekuensi fisik, emosional, dan relasional yang negatif.” Beberapa penelitian juga mendukung postulat kelima, di mana ditemukan bahwa kurangnya kasih sayang merupakan pendorong banyak pasangan mencari terapi perkawinan. Kegagalan memenuhi kebutuhan kasih sayang, dengan demikian, merupakan ancaman stabilitas relasional. Hal yang sama juga terjadi bagi pasangan yang berlebihan dalam mengekspresikan kasih sayangnya, misalnya saja menjadikan seseorang posesif.
Model segitiga Floyd dan Morman (1998) mengenai perilaku kasih sayang menambahkan kejelasan konseptual mengenai kasih sayang dengan membedakan diantara tiga bentuk penampilannya. Pertama, komunikasi “verbal” tentang kasih sayang terdiri dari pernyataan-pernyataan penuh kasih sayang lisan dan tertulis seperti, “Aku cinta padamu” atau “Kau sangat berarti bagiku”. Kedua, komunikasi “nonverbal langsung” tentang kasih sayang meliputi perilaku-perilaku nonlinguistik dan paralinguistik yang menunjukkan kasih sayang dalam komunitas hubungan atau berbicara di mana hal itu digunakan termasuk dalam konteks ini misalnya saja perilaku memeluk, berciuman, atau berpegangan tangan, meskipun dalam budaya dan norma masyarakat tertentu, perilaku nonverbal langsung dapat berbentuk lain. Ketiga, komunikasi “nonverbal tidak langsung” terdiri dari perilaku-perilaku yang menunjukkan kasih sayang melalui alokasi tentang dukungan sosial atau materiil. Ini dapat meliputi hal-hal seperti membantu pengerjaan tugas, menawarkan tumpangan motor, meminjami motor dan sebagainya. Tidak seperti dengan pernyataan-pernyataan verbal dan nonverbal langsung, pesan dengan penuh kasih sayang dalam pernyataan-pernyataan nonverbal tidak langsung merupakan tambahan kepada konteks perilaku kasih sayang itu sendiri dan oleh karenanya seringkali kurang jelas.
Penelitian terkait
Meskipun kebanyakan orangtua mungkin akan menyatakan bahwa mereka menjalankan perilaku penuh kasih sayang secara sama kepada semua anak-anaknya, namun TPK menghipotesiskan sebaliknya. Para orangtua seringkali memberikan kasih sayang yang lebih kepada anak-anak yang paling mungkin menghasilkan keturunan dari mereka (meskipun teori ini tidak menyatakan bahwa para orangtua melakukannya secara sadar).
Hal pemberian kasih sayang yang berbeda ini tentu saja masih berkaitan dengan teori neo-Darwinisme yang dibahas sebelumnya. Misalnya saja penelitian Floyd (2001); Floyd, Sargent & DiCorcia (2004) bahwa para ayah cenderung memberikan kasih sayang yang lebih kepada anak-anak laki-laki mereka yang heteroseksual daripada anak-anak laki-laki mereka yang homoseksual. Menurut TPK, ini karena homoseksualitas juga menghalangi proses reproduksi.
Selain itu, sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa menerima perilaku kasih sayang (misalnya saja sentuhan dengan penuh kasih sayang) bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental. Namun demikian, TPK memiliki aspek inovatif di mana individu dapat juga memperoleh manfaat-manfaat kesehatan dengan “memberikan” kasih sayang kepada orang lain.
TPK juga menetapkan bahwa menyatakan kasih sayang mengurangi kerentanan tubuh terhadap stress dan menggerakkan sistem-sistem imbalan hormonnya, yang mengandung obat penenang dan pengaruh-pengaruh analgesik. Jadi jangan lupa untuk memberi dan menerima kasih sayang serta mengekspresikannya, semua untuk kesehatan kita.
Referensi:
Budyatna, M. (2015). Teori-teori Mengenai Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Prenadamedia Group
Redclick, M.H. (2015). Love Me True: Deception, Affection, and Evolutionary Strategies of Human Mating. The University of Texas at Austin : Tesis
Foto : www.telegraph.co.uk
Teori ini ditulis oleh Kory Floyd, Jeff Judd, dan Colin Hesse (2008) dengan judul aslinya Affection Exchange Theory: A Bio-Evolutionary Look at Affectionate Communication. TPK merupakan konstruk subteoritis yang berasal dari prinsip-prinsip psikologi evolusioner. Teori neo-Darwinian seperti TPK berkonsentrasi dalam proses seleksi alam, yang menyatakan bahwa perilaku manusia telah berevolusi dalam menanggapi sebuah kesulitan kehidupan dengan sedemikian rupa sehingga karakteristik yang memberi keuntungan dalam menjawab tantangan-tantangan hidup dan/atau melanjutkan keturunan akan lebih sering diwariskan ke generasi berikutnya dibandingkan karakteristik yang netral atau negatif.
Selanjutnya, manusia telah mengembangkan serangkaian strategi tertentu untuk menarik dan mempertahankan pasangan yang memiliki sifat-sifat menguntungkan serta untuk meneruskan sifat-sifat ini kepada keturunannya melalui proses reproduksi seksual. TPK mengkonseptualisasikan bahwa mengungkapkan dan menerima kasih sayang merupakan perilaku evolusioner menguntungkan yang meningkatkan kemungkinan bertahan hidup komunikator dan reproduksi yang sukses, di mana hal tersebut merupakan tujuan inti dari semua manusia.
Asumsi Teori
Asumsi-asumsi pokok TPK mengikuti tradisi pemikiran evolusi dalam mahzab neo-Darwinian. Beberapa asumsinya antara lain bahwa: (a) Reproduksi dan kelangsungan hidup, keduanya merupakan tujuan-tujuan manusia yang pokok; (b) Perilaku-perilaku komunikasi dapat bertindak terhadap salah satu atau kedua tujuan pokok tersebut, bahkan dengan cara-cara yang spekulatif; dan (c) Individu-individu tidak perlu sadar tentang tujuan perilaku-perilaku evolusioner yang mereka lakukan.
Selain ketiga asumsi di atas, ada dua asumsi lainnya yang mendukung. Pertama, manusia sebagaimana organisme lainnya, tunduk kepada prinsip-prinsip mengenai seleksi alam dan seleksi seksual. Artinya, seperti kata Darwin, sifat atau kecenderungan-kecenderungan yang menguntungkan sebuah organisme berkenaan dengan reproduksi atau kelangsungan hidup akan diseleksi guna memperbesar kemungkinan kelangsungan hidup generasinya. Kedua, perilaku komunikasi manusia hanya sebagian yang tunduk terhadap kesengajaan/kesadaran diri komunikator. Secara tidak sadar, selain dipengaruhi oleh konteks sosial, perilaku komunikasi manusia juga dalam pengaruh faktual proses biologis dan adaptasi evolusioner. Dengan kata lain aspek-aspek sosial hubungan manusia secara tidak langsung berkaitan dengan aspek biologis juga, bahkan evolusi. Komunikasi penuh kasih sayang dapat berkontribusi tidak hanya tentang kesehatan hubungan (sosial), tetapi juga kesehatan orang itu sendiri (biologis).
Beberapa postulat
TPK memulai dengan postulat pertama dengan proposisi “kebutuhan dan kapasitas untuk kasih sayang adalah pembawaan sifat manusia kita”. Manusia dilahirkan dengan kemampuan dan kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, dimana sebagian ditimbulkan oleh masyarakat, sebagian yang lain oleh struktur fisik otak kita. Dengan demikian, kasih sayang adalah sumber yang dicari dan diinginkan dalam hubungan interpersonal kita.
Postulat kedua mengenai TPK menekankan sebuah konsep penting bahwa “perasaan kasih sayang dan ekspresi penuh kasih sayang merupakan pengalaman berbeda yang seringkali (tapi tidak selalu) bervariasi bersama (co-vary)”. Dengan demikian, tipe-tipe pesan ini seringkali hanya melibatkan ekspresi kasih sayang, dan bukan pengalaman kasih sayang. Mengutip pendapat Ekman dan Friesen (1975) tentang aturan penampilan (display rules) yang melihat perbedaan pengalaman dan ekspresi kasih sayang dalam beberapa cara. Pertama, Komunikator bisa saja menghambat emosi mereka, di mana mereka tidak mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Kedua, komunikator dapat membuat simulasi emosi yang tidak mereka rasakan. Komunikator mungkin juga dapat mengekspresikan emosinya dalam tingkatan intensitas yang lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan emosi yang benar-benar mereka rasakan. Selain itu, emosi dapat juga tertutup oleh emosi lainnya.
Postulat TPK ketiga menyatakan bahwa “komunikasi penuh kasih sayang bersifat adaptif dan menguntungkan dalam kerangka ‘perburuan’ manusia terhadap kehidupan dan kesuburan,” sedangkan menerima dan menyampaikan pernyataan-pernyataan penuh kasih sayang berkontribusi bagi kelangsungan hidup dan keberhasilan reproduksi. Komunikasi penuh kasih sayang membantu dalam penciptaan ikatan antarmanusia, yang memberi manfaat perlindungan dan pembagian sumber daya dari kedua belah pihak. Dalam ikatan pasangan, misalnya, beban membesarkan anak terbagi secara fisik bagi pasangan tersebut, sehingga mengurangi beban masing-masing dan tentu saja bermanfaat juga untuk kelangsungan hidup anaknya. Sebagaimana tujuan reproduksi manusia adalah untuk melihat garis genetika yang disandang oleh keturunannya, manfaat fisik dan emosional memberikan kasih sayang kepada anak juga untuk memenuhi kebutuhan orangtua.
Keempat, “umat manusia berbeda dalam konteks toleransi-toleransi optimal bagi kasih sayang dan perilaku penuh kasih sayang.” Hal ini berarti tidak ada struktur kasih sayang standar yang sama bagi setiap manusia, sehingga ada berbagai toleransi untuk kasih sayang yang berbeda-beda tergantung individunya.
Postulat terakhir menyatakan “perilaku kasih sayang yang berada pada keadaan diatas atau di bawah rata-rata toleransi dapat mengakibatkan konsekuensi fisik, emosional, dan relasional yang negatif.” Beberapa penelitian juga mendukung postulat kelima, di mana ditemukan bahwa kurangnya kasih sayang merupakan pendorong banyak pasangan mencari terapi perkawinan. Kegagalan memenuhi kebutuhan kasih sayang, dengan demikian, merupakan ancaman stabilitas relasional. Hal yang sama juga terjadi bagi pasangan yang berlebihan dalam mengekspresikan kasih sayangnya, misalnya saja menjadikan seseorang posesif.
Model segitiga Floyd dan Morman (1998) mengenai perilaku kasih sayang menambahkan kejelasan konseptual mengenai kasih sayang dengan membedakan diantara tiga bentuk penampilannya. Pertama, komunikasi “verbal” tentang kasih sayang terdiri dari pernyataan-pernyataan penuh kasih sayang lisan dan tertulis seperti, “Aku cinta padamu” atau “Kau sangat berarti bagiku”. Kedua, komunikasi “nonverbal langsung” tentang kasih sayang meliputi perilaku-perilaku nonlinguistik dan paralinguistik yang menunjukkan kasih sayang dalam komunitas hubungan atau berbicara di mana hal itu digunakan termasuk dalam konteks ini misalnya saja perilaku memeluk, berciuman, atau berpegangan tangan, meskipun dalam budaya dan norma masyarakat tertentu, perilaku nonverbal langsung dapat berbentuk lain. Ketiga, komunikasi “nonverbal tidak langsung” terdiri dari perilaku-perilaku yang menunjukkan kasih sayang melalui alokasi tentang dukungan sosial atau materiil. Ini dapat meliputi hal-hal seperti membantu pengerjaan tugas, menawarkan tumpangan motor, meminjami motor dan sebagainya. Tidak seperti dengan pernyataan-pernyataan verbal dan nonverbal langsung, pesan dengan penuh kasih sayang dalam pernyataan-pernyataan nonverbal tidak langsung merupakan tambahan kepada konteks perilaku kasih sayang itu sendiri dan oleh karenanya seringkali kurang jelas.
Penelitian terkait
Meskipun kebanyakan orangtua mungkin akan menyatakan bahwa mereka menjalankan perilaku penuh kasih sayang secara sama kepada semua anak-anaknya, namun TPK menghipotesiskan sebaliknya. Para orangtua seringkali memberikan kasih sayang yang lebih kepada anak-anak yang paling mungkin menghasilkan keturunan dari mereka (meskipun teori ini tidak menyatakan bahwa para orangtua melakukannya secara sadar).
Hal pemberian kasih sayang yang berbeda ini tentu saja masih berkaitan dengan teori neo-Darwinisme yang dibahas sebelumnya. Misalnya saja penelitian Floyd (2001); Floyd, Sargent & DiCorcia (2004) bahwa para ayah cenderung memberikan kasih sayang yang lebih kepada anak-anak laki-laki mereka yang heteroseksual daripada anak-anak laki-laki mereka yang homoseksual. Menurut TPK, ini karena homoseksualitas juga menghalangi proses reproduksi.
Selain itu, sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa menerima perilaku kasih sayang (misalnya saja sentuhan dengan penuh kasih sayang) bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental. Namun demikian, TPK memiliki aspek inovatif di mana individu dapat juga memperoleh manfaat-manfaat kesehatan dengan “memberikan” kasih sayang kepada orang lain.
TPK juga menetapkan bahwa menyatakan kasih sayang mengurangi kerentanan tubuh terhadap stress dan menggerakkan sistem-sistem imbalan hormonnya, yang mengandung obat penenang dan pengaruh-pengaruh analgesik. Jadi jangan lupa untuk memberi dan menerima kasih sayang serta mengekspresikannya, semua untuk kesehatan kita.
Referensi:
Budyatna, M. (2015). Teori-teori Mengenai Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Prenadamedia Group
Redclick, M.H. (2015). Love Me True: Deception, Affection, and Evolutionary Strategies of Human Mating. The University of Texas at Austin : Tesis
Foto : www.telegraph.co.uk