Di era serba teknologi saat ini, kiranya menjadi unik membicarakan mengenai penyuluhan pertanian. Kesannya tema ini merupakan sesuatu yang usang, mengingat teknologi yang sudah demikian canggihnya. Masyarakat pun sudah semakin melek teknologi dan mungkin sudah tidak membutuhkan penyuluh lagi. Namun, lagi-lagi mengutip Bung Karno, janganlah sekali-kali melupakan sejarah. Meskipun, misalnya penyuluhan pertanian sudah habis, nilai-nilai kesemangatan dan visi tokoh yang satu ini dapat menjadi tauladan sepanjang zaman.
Lahir pada 20 Agustus 1927 dari keluarga bangsawan (putra dari bupati Garut Raden Tumenggung Agoes Padmanagara) dan beristerikan bangsawan juga, yakni Nyi Raden Siti Patimah (putri bupati Sumedang Tumenggung Mochamad Singer), Salmon tidak pernah menggunakan gelar ningrat Raden di depan namanya. Sosoknya yang merakyat diwariskan dari kedua orangtuanya, pangreh praja yang selalu gelisah memikirkan kesejahteraan rakyat petani di tengah kolonialisme Belanda.
Pemiskinan petani sudah ada sejak zaman Belanda yang membentuk dua poros terdepan (twee vooruit geschoven posten) berupa onderneming (perkebunan) dan binnelands bestuur. Yang disebut pertama adalah alat kolonial Belanda yang mengeruk kekayaan. Sementara yang kedua bertugas untuk mengamankan alat tersebut, yaitu para pangreh praja atau binnelands bestuur’s ambtenaren. Jadi para bupati hingga wedana memiliki tugas memastikan hasil bumi yang dihasilkan oleh petani disumbangkan sebesar-besarnya untuk penjajah.
Rupanya gambaran penderitaan petani, serta kegelisahan orangtuanya sebagai pangreh praja membekas dalam ingata Salmon. Hal ini nampak pada salah satu potongan pidatonya: “…pada zaman revolusi, saya berada di desa-desa, memegang tugas sebagai pembina masyarakat. Dalam melaksanakan tugas itu, saya banyak bergaul dengan petani, pemuda-petani muda, dan ibu-ibu tani. Saya hidup bersama mereka, bekerja bersama mereka. Latar belakang itu memberikan keyakinan pada saya bahwa mereka, masyarakat petani, adalah unsur penting dari bangsa ini. Di samping masyarakat tani itu, mayoritas merupakan masyarakat terbesar dalam jumlah, mereka pun menjadi penghasil komoditas pertanian paling besar serta menjadi sumber penghidupan terbesar….”
“…Pada zaman revolusi, petani menjadi pemberi kehidupan bagi bangsa ini. Merekalah yang memberi makan seluruh anak bangsa yang sedang berjuang merebut dan mempertahankan negeri ini, dan juga kepada mereka yang sedang mengungsi. Karenanya pada saat itu, petani disebut juga sebagai Soko Guru Revolusi. Setelah kemerdekaan tercapai, kedudukan dan peranan petani dalam pengadaan pangan bagi kehidupan bangsa ini tetap menjadi andalan. Karenanya, saat itu pun, petani mendapat predikat sebagai Soko Guru Pembangunan…” Pidato tentang semangat dan visi Salmon Padmanagara ini diucapkan dengan lantang pada pemberian gelar doktor kehormatan di Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran Tahun 2004, membuktikan berlanjutnya semangat untuk tetap memerhatikan petani meskipun sudah memasuki usia 77 tahun ketika itu.
Gelar “Bapak Penyuluh Pertanian” untuk Salmon Padmanagara ditetapkan oleh organisasi Kontak Tani-Nelayan Andalan (KTNA) pada acara Pekan Nasional Kontak Tani di Simalungun, Sumatera Utara 1986 dan Penas IX di Lombok 1996. Gelar tersebut tidak semata-mata karena Salmon adalah pejabat tinggi ketika itu, namun lebih didasarkan pada pengabdian, serta visinya pada penyuluhan pertanian.
Pada 1960, bersama Yahod Sumabrata (Kepala Bagian Publikasi, Dokumentasi, dan Penerangan Dinas Pertanian Rakyat Provinsi Jawa Barat) membuat konsep “Kelompok Tani” dalam rangka pelaksanaan Organisasi Pelaksanaan Swasembada Beras. Konsep ini kemudian hari dikembangkan dalam program Bimas, Insus, dan Supra Insus.
Pada awal 1969, ketika dimulai Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I, disusunlah pola pengembangan penyuluhan pertanian yang dikenal sebagai Improvement and Strengthening of Agricultural Extension Activities (Memperbaiki dan Memperkuat Kegiatan Penyuluhan Pertanian), baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Demonstrasi Plot Pancausaha Tani (Demplot), Demonstrasi Usaha Tani secara Berkelompok (Denfarm), dan Demonstrasi Usaha Tani dalam Suatu Wilayah Unit Desa (Demunit), siaran perdesaan, pertemuan, bahan cetakan/visual, pendidikan, serta pelatihan pegawai di lingkungan sektor pertanian yang menangani penyuluhan pertanian.
Pada kurun Pelita I juga ada penyuluhan massal yang bersifat “memaksa” kepada petani. Slogannya yang terkenal kala itu, “Dipaksa, Terpaksa, dan Biasa”, yaitu mengikuti program dan menerapkan paket teknologi yang dianjurkan. Hasilnya memang spektakuler. Dalam Pelita I, produksi beras naik rata-rata 4,6% per tahun, lebih tinggi dari rata-rata kenaikan penduduk yang sebesar 2,5% per tahun. Salmon lah yang mengingatkan bahwa kita harus sangat hati-hati sebab pendekatan penyuluhan dengan slogan “Dipaksa, Terpaksa dan Biasa” pada dasarnya menyimpang dari etika penyuluhan pertanian yang semestinya. Slogan ini memosisikan petani hanya sebagai obyek, bukan menjadi subyek pembangunan pertanian. Hasilnya, “petani biasa dipaksa”, dimana mereka hanya menunggu dan takut berinisiatif.
Salmon juga dianggap mengembangkan Pusat Pelatihan Petani Pedesaan Swadaya (P4S). P4S dianggap sebagai perwujudan dari prinsip penyuluhan yang benar, konsekuen dianut, dan selalu dikembangkan oleh Salmon. Sehingga pada tataran selanjutnya, kebiasaan petani yang hanya menunggu dan minim inisiatif sudah semakin berubah menjadi petani yang mandiri dan kreatif.
Salmon Padmanagara saat ini menikmati hari tuanya di kawasan Pasar Minggu. Kendati telah malang melintang ke berbagai tempat di pelosok bumi ini, dan sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta, tapi Salmon tetaplah Salmon Padmanagara yang nyunda, bertutur kata sehari-hari menggunakan bahasa Sunda.
(Disarikan dari Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi Senin 4 April 2016)
Kredit Foto:
1. cianjurekspres.com
2. twitter.com @dadangpadma