Ada mahasiswa yang memberikan alasan seperti berikut ini. Bapak dosen, mengenai karya tulis itu sebetulnya saya ingin sekali menyerahkan tepat pada waktunya, tetapi saya sangat sibuk. Kemarin ketika tanggal merah 17 Agustus saya harus mudik pulang kampung, karena tidak membawa laptop tugas tersebut tidak saya kerjakan di rumah. Setelah saya kembali ke kos, saya teringat ternyata ada mata kuliah lain yang memberikan tugas juga. Terpaksa saya kerjakan tugas mata kuliah tersebut terlebih dahulu. Tiba-tiba, teman di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) menghubungi saya untuk mengikuti pertandingan bulu tangkis dalam rangka peringatan HUT RI. Sebagai pemain andalan, saya tidak dapat menolak permintaan tersebut. Jadi Bapak dosen, saya mohon dengan sangat untuk dapat menyerahkan tugas karya tulis itu setelah pelaksaan UAS (Ujian Akhir Semester), sehingga masih cukup waktu bagi saya untuk menyelesaikannya.
Ada juga tipe mahasiswa lain yang memberikan alasan seperti ini. Bapak dosen, mengenai karya tulis yang harus diserahkan akhir minggu ini, saya sangat suka dengan topik yang diberikan, dan saya telah banyak melakukan kajian mengenai itu. Saya telah banyak menemukan tulisan-tulisan di jurnal yang berkenaan dengan topik yang diberikan, tetapi saya belum selesai membacanya. Bapak menginginkan sebuah karya tulis yang bermutu, dan saya bangga akan itu, serta ingin membuat tulisan yang terbaik. Saya tahu Bapak menikmati membaca karya tulis yang bermutu secara keseluruhan. Untuk menulis karya tulis yang bermutu sepertinya saya membutuhkan waktu ekstra. Saya sadari betul bahwa ini akan menyita waktu Bapak untuk membaca karya tulis yang terlambat diserahkan. Dapatkah kiranya Bapak memberikan perpanjangan waktu seminggu untuk penyelesaian karya tulis saya?
Entah dengan para pembaca, tapi kalau saya lebih cenderung menyukai mahasiswa tipe yang kedua. Sebagaimana bukunya Pak Budyatna yang menyatakan bahwa biasanya sebagian besar orang akan lebih menganggap pesan kedua lebih cerdas atau lebih cakap. Tetapi kemudian akan muncul pertanyaan-pertanyaan, mengapa bisa begitu? Apa yang membuat pesan itu cakap atau cerdas? Pada umumnya, apakah yang memungkinkan orang berkomunikasi dengan mahirnya dalam konteks yang beraneka ragam? Apakah keuntungan-keuntungan dihubungkan dengan kemahiran berkomunikasi dalam hal ini? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi pusat perhatian dalam teori komunikasi yang dikenal sebagai TEORI KONSTRUKTIVISME atau CONSTRUCTIVISM THEORY.
Teori konstruktivisme merupakan teori komunikasi interpersonal yang terpusat pada individu. Teori ini mencoba menjelaskan perbedaan-perbedaan individual dalam kecapakan komunikasi fungsional: Apakah perbedaan-perbedaan ini? Mengapa perbedaan-perbedaan itu ada? Dari mana asalnya? Mengapa perbedaan itu berarti? Konstruktivisme memberikan model-model mengenai kemampuan komunikasi yang bermacam-macam, sebab-sebabnya, asal-usulnya, serta hasil-hasilnya.
Konstruktivisme memandang manusia sebagai agen atau perantara yang menginterpretasi pengalaman-pengalaman, dan bertindak atas dasar interpretasi-interpretasi ini. Manusia merupakan pembuat makna yang aktif yang menafsirkan atau menguraikan dunia melalui bermacam-macam rencana interpretif. Manusia memiliki struktur kognitif untuk menginterpretasikan peristiwa-peristiwa. Konseptualisasi ini mengemukakan bahwa komunikasi memulai melalui empat proses yang berhubungan: pembuatan pesan, pemrosesan pesan (atau penerimaan pesan), koordinasi interaksi, dan persepsi sosial.
Konsisten dengan fokusnya pada perbedaan-perbedaan individual, konstruktivisme memandang manusia sebagai terampil secara berbeda berkenaan dengan pembuatan pesan-pesan, pemrosesan pesan-pesan, mengoordinasikan interaksi, dan memahami peran sosial. Selanjutnya, manusia berbeda-beda dalam kompleksitas mengenai gagasan-gagasan mereka. Karena gagasan-gagasan antarpribadi mendasari semua proses persepsi sosial (seperti membuat atribusi, membentuk impresi atau kesan), manusia dengan gagasan-gagasan yang lebih kompleks lebih terampil dalam proses ini; misalnya, mereka telah diketahui lebih mampu untuk membentuk dan mengingat beraneka ragam kesan-kesan mengenai orang lain, mengintegrasikan informasi yang tidak konsisten mengenai orang lain, belajar informasi sosial yang kompleks secara cepat, dan menggunakan perspektif orang lain.
Baca juga materi Teori Komunikasi Antarpribadi
Dalam contoh kasus yang diutarakan sebelumnya dapat dikatakan bahwa pesan dari mahasiswa pertama berkategori low person centeredness (keterpusatan orang yang rendah), sedangkan pesan kedua adalah high person centeredness (keterpusatan orang yang tinggi). Dapat kita lihat bahwa pesan dari mahasiswa kedua lebih sensistif dan menyesuaikan pada tujuan-tujuan penerima, dimana perpanjangan waktu akan juga menguntungkan sang dosen karena akan membaca karya yang lebih bermutu.
Kita juga pernah melihat bagaimana seseorang diijinkan merokok oleh keluarganya, sementara orang lain harus sembunyi-sembunyi untuk sekedar merokok. Mungkin saja ini juga berkaitan dengan tipe pesan yang disampaikan orang tersebut kepada keluarganya ketika dia meminta ijin untuk merokok. Perokok yang mengatakan bahwa dia sangat butuh merokok, tidak bisa hidup tanpa merokok, dan sebagainya mungkin akan ditolak oleh keluarganya. Sebaliknya, perokok yang mengatakan butuh rokok untuk berkonsentrasi agar menghasilkan karya-karya tulisan yang baik sehingga dapat membantu ekonomi keluarga, mungkin akan lebih diijinkan oleh keluarganya. Terlepas dari itu, nilai-nilai dalam keluarga saya kira juga berperan sekali dalam menentukan diterima-tidaknya sebuah pesan komunikasi mengenai perilaku merokok ini.
Lebih lanjut, faktor anteseden dikatakan dapat membentuk kemampuan komunikasi seseorang. Hal ini bahkan dapat dirunut hingga pda pengasuhan ketika orang tersebut masih anak-anak. Dua kebiasaan pengasuh berkontribusi kepada perkembangan anak mengenai gagasan-gagasan antarpribadi dan menggunakan pesan-pesan terampil: (a) menggunakan bahasa yang secara eksplisit menyebutkan keadaan-keadaan internal (perasaan-perasaan, keinginan-keinginan), dan (b) menggunakan pesan-pesan terpusat pada orang apabila mengasuh dan menertibkan anak.
Jadi teringat beberapa waktu lalu ketika saya melakukan perjalanan ke salah satu kota di Jawa Tengah. Anak sulung saya yang berusia 6 tahun selalu ingin duduk di depan, sehingga mau tidak mau harus menggunakan sabuk pengaman. Namanya anak kecil pasti malas-malasan disuruh memakai sabuk pengaman (orang dewasa juga sama mungkin). Dari barisan kursi belakang nenek mengingatkan anak saya dengan mengatakan, “Sabuknya dipakai lho, kalau enggak nanti dimarahi Pak Polisi”. Sementara itu, saya bilang ke anak saya seperti ini, “Sabuknya dipakai ya Mas, kalau enggak nanti bisa bahaya. Kepalanya bisa terbentur lho”.
Sepertinya berbeda ya cara menyampaikan peringatan antara saya dan nenek. Kalau menurut pembaca, bagaimana? Apakah sama atau berbeda? Kalau sama termasuk kategori manakah? Low person centeredness atau high person centeredness? Kalau berbeda manakah yang termasuk kategori low person centeredness, dan mana pula yang high person centeredness?
Referensi :
Budyatna, M. (2015). Teori-teori Mengenai Komunikasi Antar-pribadi. Jakarta: Prenada Media Group