Filsafat sejati tidak berada dalam berjilid-jilid buku tebal di perpustakaan, ataupun di tengah ingar-bingar perdebatan filsafat di kampus-kampus ternama. Filsafat sejati lahir dan tumbuh dalam pikiran seorang manusia yang mempertanyakan hakikat jati dirinya dan dunia tempatnya berada (Magee, 2005). Setidaknya dua kalimat pembuka tersebut dapat menggambarkan bagaimana filsafat sebenarnya berasal dan kembali kepada kegundahan manusia. Selama manusia masih merasakan kegundahan–masih hidup–filsafat juga akan tetap hidup.
Perjalanan filsafat, yang selama ini sebagian besar periodisasinya mengikuti enam zaman besar filsafat (Pra-Yunani Kuno, Yunani, Pertengahan, Renaissance, Modern, Kontemporer), pasti akan selalu berkembang seiring perjalanan waktu. Seiring perjalanan waktu pula, filsafat berkembang atau surut. Salah satu cabang pengetahuan filsafati yang tak lekang oleh pasang surutnya filsafat adalah filsafat ilmu, yang menelaah secara sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual (Benyamin dalam Banasuru, 2014). Filsafat ilmu inilah yang kemudian memiliki cabang ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Secara khusus tulisan ini akan membahas mengenai kajian filsafat dalam bidang ilmu komunikasi. Pertimbangan pilihan pengkhususan pada kajian filsafat ilmu komunikasi adalah kenyataan bahwa penulis berkecimpung di dalamnya. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi landasan sekaligus tambahan pengkayaan perspektif bagi penulis pribadi, lebih baik lagi apabila bermanfaat bagi sidang pembaca.
Memaknai Ontologi
Objek telaah ontologi adalah ‘yang ada’. Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas ‘yang ada’ dalam konteks filsafat ilmu. Aristoteles menjelaskan ontologi sebagai sinonim dari metafisika, yaitu studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti, struktur, dan prinsip bend tersebut (dalam Gie, 1977). Lorens Bagus (dalam Banasuru, 2014) menegaskan bahwa ontologi menjelaskan ‘yang ada’ meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Sementara itu Heidegger (1999) mengatakan ontologi sebagai doctrine of being. Ontologi, dengan demikian, memiliki karakter sebagai kajian segala sesuatu yang ada (exist) di alam semesta (Hacking, 2002).
Kajian tentang “ada” selanjutnya menjadi penekanan sekaligus pertentangan oleh setiap filsuf. Mereka berdebat panjang lebar tentang apakah yang dikatakan “ada” (existence) benar-benar “ada” (exist). Dialektika mengenai “ada” terus menerus berlangsung dalam diskusi mengenai filsafat. Dialektika tersebut meliputi jawaban terhadap beberapa persoalan; seperti “Apakah artinya ada? Hal ada?”, “Apakah golongan-golongan dari hal yang ada?”, “Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?”, “Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan (seperti objek-objek fisik, pengertian universal, abstraksi, dan bilangan) dapat dikatakan ada?” (Gie, 1977). Pertanyaan-pertanyaan itu bahkan menjadi bahan perdebatan dalam kajian filsafat ilmu (komunikasi).
Secara umum dijelaskan bahwa aspek ontologis dari ilmu pengetahuan hendaknya diuraikan melalui beberapa cara. Pertama, metodis yakni penguraian aspek ontologis dengan menggunakan cara ilmiah. Kedua, sistematis di mana anasir-anasir dalam aspek ontologis berkaitan satu dengan lainnya secara teratur dalam suatu keseluruhan. Ketiga, koheren yang menyatakan bahwa anasir-anasir dalam ontologis hendaknya bertautan, serta tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan. Keempat, rasional di mana aspek ontologis hendaknya berdasar pada kaidah berfikir yang benar atau logis. Kelima, komprehensif yang melihat objek ontologis tidak hanya dari satu sudut pandang belaka, melainkan secara holistik. Keenam, radikal yang menguraikan aspek ontologis hingga akar persoalan atau esensinya. Terakhir, universal yakni kebenarannya sampai tingkat umum serta berlaku di mana pun.
Kredit foto : iai.tv