Komunikasi merupakan istilah yang popular dewasa ini. Forum yang memelajari ilmu komunikasi, kelas bertujuan memahami ilmu komunikasi, jurusan ilmu komunikasi akan selalu penuh dengan peminat. Fakultas ilmu komunikasi Universitas Padjajaran bahkan menempatkan dirinya sebagai pesaing utama fakultas kedokteran dalam hal peminat. Padahal, konon ceritanya, fakultas publisistik sebagai awal mula adanya fakultas ilmu komunikasi, merupakan tempat anak buangan—istilah tempat studi yang diprediksi mempunyai masa depan suram.
Seiring berjalannya waktu, semuanya berubah. Ilmu komunikasi identik dengan ilmunya selebriti, ilmunya presenter televisi, ilmunya penyiar berita, dan ilmunya pemain sinetron. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa yang belajar ilmu komunikasi.
Pada hakikatnya, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu dikemukakan sebagai proses kontemplatif mengenai studi komunikasi: Mengapa manusia perlu memelajari ilmu komunikasi? Bukankah komunikasi merupakan hal yang mudah? Bukankah seorang bayi yang baru lahir pun sudah bisa berkomunikasi?
Pertanyaan-pertanyaan yang nampaknya sepele ini ternyata perlu jawaban yang tidak sederhana. Jawaban pertanyaan mengenai alasan belajar ilmu komunikasi sebenarnya terletak pada kata kunci yang merupakan antitesis dari anggapan umum bahwa “komunikasi merupakan hal yang mudah.” Komunikasi itu sulit! Kira-kira demikianlah jawaban singkat pertanyaan diatas. Namun, kebanyakan orang tidak percaya apabila jawaban itu diberikan tanpa disertai contoh-contoh jelas dalam kehidupan sehari-hari. Mulyana (dalam Tubss & Moss, 1996: viii) misalnya memberikan contoh mengenai sulitnya berkomunikasi.
Digambarkan pengalaman seorang suami yang ketika pulang kantor mendapatkan istrinya cemberut dan membisu seribu bahasa. Pasalnya, sang istri menemukan sebuah memo dari sekretaris sang suami yang berisi tulisan “Pak, ditunggu di Hotel X pukul 12.00 siang.” Memo itu sebenarnya sekedar peringatan dari sekretaris kepada atasannya untuk menghadiri rapat seluruh staf perusahaan seraya makan siang. Namun karena secarik kertas yang isinya menimbulkan salah pengertian itu, suami istri harus perang dingin selama beberapa hari, dan sempat perang mulut. Masalahnya menjadi jernih ketika istri mengecek kebenaran ucapan suaminya dengan meminta konfirmasi kepada beberapa pegawai sang suami.
Kesulitan komunikasi diiringi pula dengan kerumitannya. Karena ternyata komunikasi tidak hanya terjadi antarmanusia saja. Komunikasi juga terjadi antara hewan, antara tumbuhan, bahkan komunikasi juga terjadi dengan air. Seperti dikemukakan oleh Kuswarno (2008: 19-21) mengenai pembentukan pola-pola kristal air tertentu setelah diberikan perlakuan komunikasi yang beraneka ragam. Kenyataan bahwa manusia 70 persen tubuhnya merupakan air, demikian pula halnya dunia yang kita diami ini di dominasi oleh air, maka dapat dipahami bahwa kepandaian kita berkomunikasi dengan air akan menentukan masa depan manusia, bahkan dunia! Sebuah hal yang sangat rumit.
Kesulitan dan kerumitan komunikasi itulah yang mendorong manusia memelajari dan berusaha memecahkannya. Namun, tidak semata-mata centang perenang dunia komunikasi saja yang mendorong manusia memelajarinya, melainkan juga keuntungan-keuntungan memelajarinya. Salah satunya adalah keuntungan pemahaman terhadap budaya-budaya lain di luar kebudayaan pembelajar komunikasi, sehingga mengurangi kecenderungan etnosentrismenya.
Kecenderungan etnosentrik manusia dapat menimbulkan bahaya besar apabila dipelihara secara berlebihan bahkan dipupuk. Dari etnosentrisme inilah akhirnya muncul berbagai stereotype terhadap kebudayaan lain. Penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki mungkin tidak terjadi apabila terjadi pemahaman budaya antara pihak Amerika dan Jepang. Konon, ketika itu Amerika menawarkan Jepang agar menyerah tanpa syarat. Saat itu sebuah kata dilontarkan Jepang: Mokusatsu. Amerika menerjemahkan kata ini sebagai sebuah bentuk ketidak pedulian (diterjemahkan i dont care). Padahal menurut versi Jepang, kata itu merupakan bentuk penangguhan pengambilan keputusan (diterjemahkan sebagai please wait). Akhirnya yang terjadi adalah sebagaimana yang kita ketahui melalui arsip-arsip sejarah, pengeboman terdahsyat sepanjang masa terhadap dua kota di Jepang itu. Satu hal yang terlewat disini adalah kurangnya pemahaman masing-masing budaya terhadap budaya lainnya. Sebagaimana kita ketahui budaya Jepang adalah budaya kolektivis, seperti juga budaya Indonesia. Keputusan mengenai hal-hal yang penting (apalagi pernyataan menyerah tanpa syarat) memerlukan musyawarah yang tidak bisa seketika. Sehingga wajar apabila mereka meminta penangguhan waktu. Namun, kebiasaan pengambilan kesepakatan ini tidak dikenali oleh Amerika yang terbiasa hidup dengan budaya individualismenya. Sekali lagi, beruntunglah orang-orang yang terampil berkomunikasi.
Di Indonesia, kasus stereotype terbesar terjadi pada bekas pengikut PKI (Partai Komunis Indonesia) dan keturunannya, bahkan sampai sekarang. PKI selalu dikaitkan dengan dugaan kudeta pada 30 September 1965. PKI juga identik dengan kegiatan-kegiatan yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan. Stereotype ini menimbulkan korban jiwa yang melebihi tsunami di Aceh beberapa waktu lalu. Konon, 800 ribu jiwa melayang saat terjadi pembantaian besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sampai sekarang kebanyakan masyarakat kita memaklumi pembunuhan keji itu, hanya karena stereotype PKI. Sedihnya lagi, kebanyakan mereka yang dibantai itu tidak pernah diajukan ke meja pengadilan. Orang tidak pernah bertanya, “Benarkah PKI yang kudeta kepada negara dan membunuh jenderal-jenderal itu?”, “Mengapa mereka melakukannya?”, “Seandainya PKI benar melakukan kudeta dan kegiatan keji pembunuhan jenderal itu, mengapa mesti semua anggotanya dibantai habis?”. Prinsip triangulasi yang harusnya dilakukan guna keseimbangan penyelidikan. Saat ini, tokoh-tokoh kunci yang bisa diambil keterangannya sudah banyak yang tiada, sehingga tabir stereotype itu nampaknya tidak akan pernah dapat dikuak selamanya.
Dunia bisnis juga membuktikan bahwa pengetahuan komunikasi yang banyak dapat membantu kesuksesan. Salah satu kegagalan komunikasi adalah ketika Chevrolet pernah mengeluarkan produk dengan nama Nova. Nampaknya pertimbangan pemberian nama Nova ini adalah agar produk tersebut bersinar sebagaimana sebuah nova. Namun, produk ini ternyata tidak laku di Spanyol. Selidik punya selidik, ternyata Nova dalam bahasa Spanyol berarti tidak jalan (No = tidak, Va = jalan).
Foto: everything-pr.com
Daftar Bacaan:
Tubss, Stewart L. Tubbs, Sylvia Moss. 1996. Human Communication, Prinsip-Prinsip Dasar. Penerjemah: Deddy Mulyana & Gembirasari. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Kuswarno, Engkus. 2008. Komunikologi Hado, Sebuah Rekonstruksi Filosofis Metafisika Komunikasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Gurubesar dalam Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran: tidak diterbitkan