Artikel ini akan membahas mengenai Soeharto dan fenomena kekuasaannya yang lama. Konon kekuasaan Soeharto mendapatkan peringkat kedua terlama di muka bumi ini setelah Fidel Castro yang baru-baru ini menyerahkan kekuasaan kepada Raul Castro. Fidel Castro menjabat sebagai pemimpin revolusioner Kuba selama hampir setengah abad. Sementara Soeharto selama kurang lebih tiga dasawarsa.
Lamanya kekuasaan Soeharto menjadi lebih fenomenal lagi apabila dilihat latar belakangnya. Soeharto, sebagaimana dituturkannya dalam otobiografinya, berasal dari kalangan bawah masyarakat pedesaan. Terlepas kontroversi seputar hubungannya dengan kalangan darah biru kesultanan Yogyakarta, banyak ahli setuju bahwa memang masa kecil dan remajanya Soeharto dihabiskan di Desa Kemusuk, Godean, Yogyakarta. Setelah itu, daerah Wuryantoro, Wonogiri merupakan tempatnya melanjutkan masa kecilnya hingga masa dewasa awal.
Selain berlatar belakang Soeharto yang dipercaya dari keluarga miskin, intelegensinya juga merupakan faktor fenomenal dalam kekuasaan. Alih-alih pandai, banyak ahli menganggap Soeharto sebagai orang yang bodoh. Apabila Soekarno sering menggunakan peribahasa Perancis ataupun Belanda, maka Soeharto hanya memahami Bahasa Jawa sebagai pilihan pertama dan Bahasa Indonesia beraksen Jawa sebagai bahasa kedua. Wajar saja, karir politiknya tidak begitu cemerlang. Para ahli yang merunut sejarah perjuangan Soeharto, baru menemukan namanya dalam arsip intelijen Belanda ketika menjadi komandan Wehrkreise III Yogyakarta.
Lalu bagaimana Soeharto bisa berhasil memerjuangkan tujuannya? Ternyata nasib mujur benar-benar berperan dalam karir politiknya. Pertama, ia bernasib mujur ketika menanjak dewasa pada saat terjadi perubahan sosial serta mobilitas yang luar biasa, akhir perang pasifik serta dimulainya apa yang disebut sebagai revolusi fisik. Terlebih lagi, ia bernasib mujur berada di dan sekitar Yogyakarta, pusat perjuangan revolusioner, serta berada dekat dan akrab dengan para pemimpin politk dan militer bangsa: Soekarno, Sjahrir, Hatta, Soedirman, Nasution dan yang lainnya. Pada era 1950-an, ia bernasib mujur; masa jabatannya sebagai panglima Diponegoro di Jawa Tengah berbarengan dengan pernyataan keadaan negara dalam perang dan bahaya, satu hal yang memungkinkannya untuk mulai menjalankan seni kekuasaan politik dan militer.
Soeharto juga bernasib mujur dengan adanya intervensi AS dalam krisis Irian Barat yang terjadi persis ketika ia hendak mengerahkan tentara dalam skala besar untuk menyerang Belanda—hal yang pasti membuahkan bencana militer serta mungkin juga bencana politik. Selanjutnya ia juga bernasib mujur ketika kebetulan berada di Jakarta sebagai perwira senior yang menguasai langsung pasukan pada pagi 1 Oktober 1965, saat terjadinya usaha kudeta.
Soeharto bernasib mujur karena kenaikannya ke puncak kekuasaan terjadi persis pada masa-masa Perang Dingin paling beku, ketika di tahun yang sama AS melibatkan pasukan darat ke Vietnam, dan ketika kemnculannya disambut dan didukung oleh AS sebagai kabar terbaiknya di Asia selama bertahun-tahun. Sehingga saat itu, pembunuhan-pembunuhan kejam rezimnya terhadap kaum komunis dan yang lainnya bisa begitu saja diabaikan oleh komunitas dunia sebagai tindakan yang patut disayangkan namun perlu diambil.
Soeharto bernasib mujur lagi, ketka masa yang paling goyah dalam kekuasaannya di awal era 1970-an, berbarengan dengan membubungnya harga minyak,bukan saja menjadi ‘durian runtuh’ bagi keperluan patronase politik, tapi juga mengonsolidasi dan memacu proses pembangunan perekonomian dalam negeri ang pada akhirnya kelak melahirkan sebutan “legitimasi berkat prestasi” baginya. Soeharto masih bernasib mujur, ketika pada era 1980-an harga minyak anjlok, ia dapat meloncat naik lokomotif mukjizat perekonomian Asia.
Kemujuran ini nampaknya mulai meredup pada dekade 1990-an. Dimana Soeharto sudah semakin tua dan kelihatan lelah. Perekonomian kemudian, sebagaimana kita semua tahu, mulai banyak ditopang oleh adanya korporatisasi atau konglomeratisasi, yang notabene merupakan lingkaran-lingkaran kecil yang hanya mengambil manfaat dari kekuasaannya yang tidak terbatas. Kemujuran ini akhirnya menukik tajam pada tahun 1997, dengan tidak adanya lagi keajaiban yang menolongnya ketika terjadi krisis ekonomi di Asia. Langkah sabar dan menunggu saat tepat yang biasa dilakukan selama ini dan berhasil, kali ini tidak menemukan momentumnya. Soeharto kalah oleh kecepatan jaman yang sudah melampaui prediksi hati-hatinya.
Pada 1996 Soeharto ditahbiskan sebagai orang terkuat di Asia. Tiga tahun kemudian orang yang sama keluar dari RSPP dengan wajah kuyu serta tubuh yang ditopang kursi roda. Kebijakan-kebijakannya yang semula sangat diagungkan—konon ada angket dari tabloid monitor yang menempatkan Soeharto sebagai tokoh yang paling dikenal sementara Nabi Muhammad hanya menempati urutan ke-11—pada tahun 1999 menjadi kebijakan yang paling dicaci.
Namun, dibalik hal-hal yang dianggap jelek tersebut, prestasi ekonominya tidak boleh dipandang sebelah mata. Prestasi ekonomi ini bahkan belum pernah disamai oleh Indonesia semenjak jaman kolonial tahun 1920 hingga saat ini. Bahkan diantara pekatnya lumpur pun masih ada permata ang bisa dicari. Hendaknya, ada langkah-langkah Soeharto yang dicontoh oleh pemimpin saat ini atau berikutnya. Akhirnya selamat jalan Jenderal Mujur.
Lamanya kekuasaan Soeharto menjadi lebih fenomenal lagi apabila dilihat latar belakangnya. Soeharto, sebagaimana dituturkannya dalam otobiografinya, berasal dari kalangan bawah masyarakat pedesaan. Terlepas kontroversi seputar hubungannya dengan kalangan darah biru kesultanan Yogyakarta, banyak ahli setuju bahwa memang masa kecil dan remajanya Soeharto dihabiskan di Desa Kemusuk, Godean, Yogyakarta. Setelah itu, daerah Wuryantoro, Wonogiri merupakan tempatnya melanjutkan masa kecilnya hingga masa dewasa awal.
Selain berlatar belakang Soeharto yang dipercaya dari keluarga miskin, intelegensinya juga merupakan faktor fenomenal dalam kekuasaan. Alih-alih pandai, banyak ahli menganggap Soeharto sebagai orang yang bodoh. Apabila Soekarno sering menggunakan peribahasa Perancis ataupun Belanda, maka Soeharto hanya memahami Bahasa Jawa sebagai pilihan pertama dan Bahasa Indonesia beraksen Jawa sebagai bahasa kedua. Wajar saja, karir politiknya tidak begitu cemerlang. Para ahli yang merunut sejarah perjuangan Soeharto, baru menemukan namanya dalam arsip intelijen Belanda ketika menjadi komandan Wehrkreise III Yogyakarta.
Lalu bagaimana Soeharto bisa berhasil memerjuangkan tujuannya? Ternyata nasib mujur benar-benar berperan dalam karir politiknya. Pertama, ia bernasib mujur ketika menanjak dewasa pada saat terjadi perubahan sosial serta mobilitas yang luar biasa, akhir perang pasifik serta dimulainya apa yang disebut sebagai revolusi fisik. Terlebih lagi, ia bernasib mujur berada di dan sekitar Yogyakarta, pusat perjuangan revolusioner, serta berada dekat dan akrab dengan para pemimpin politk dan militer bangsa: Soekarno, Sjahrir, Hatta, Soedirman, Nasution dan yang lainnya. Pada era 1950-an, ia bernasib mujur; masa jabatannya sebagai panglima Diponegoro di Jawa Tengah berbarengan dengan pernyataan keadaan negara dalam perang dan bahaya, satu hal yang memungkinkannya untuk mulai menjalankan seni kekuasaan politik dan militer.
Soeharto juga bernasib mujur dengan adanya intervensi AS dalam krisis Irian Barat yang terjadi persis ketika ia hendak mengerahkan tentara dalam skala besar untuk menyerang Belanda—hal yang pasti membuahkan bencana militer serta mungkin juga bencana politik. Selanjutnya ia juga bernasib mujur ketika kebetulan berada di Jakarta sebagai perwira senior yang menguasai langsung pasukan pada pagi 1 Oktober 1965, saat terjadinya usaha kudeta.
Soeharto bernasib mujur karena kenaikannya ke puncak kekuasaan terjadi persis pada masa-masa Perang Dingin paling beku, ketika di tahun yang sama AS melibatkan pasukan darat ke Vietnam, dan ketika kemnculannya disambut dan didukung oleh AS sebagai kabar terbaiknya di Asia selama bertahun-tahun. Sehingga saat itu, pembunuhan-pembunuhan kejam rezimnya terhadap kaum komunis dan yang lainnya bisa begitu saja diabaikan oleh komunitas dunia sebagai tindakan yang patut disayangkan namun perlu diambil.
Soeharto bernasib mujur lagi, ketka masa yang paling goyah dalam kekuasaannya di awal era 1970-an, berbarengan dengan membubungnya harga minyak,bukan saja menjadi ‘durian runtuh’ bagi keperluan patronase politik, tapi juga mengonsolidasi dan memacu proses pembangunan perekonomian dalam negeri ang pada akhirnya kelak melahirkan sebutan “legitimasi berkat prestasi” baginya. Soeharto masih bernasib mujur, ketika pada era 1980-an harga minyak anjlok, ia dapat meloncat naik lokomotif mukjizat perekonomian Asia.
Kemujuran ini nampaknya mulai meredup pada dekade 1990-an. Dimana Soeharto sudah semakin tua dan kelihatan lelah. Perekonomian kemudian, sebagaimana kita semua tahu, mulai banyak ditopang oleh adanya korporatisasi atau konglomeratisasi, yang notabene merupakan lingkaran-lingkaran kecil yang hanya mengambil manfaat dari kekuasaannya yang tidak terbatas. Kemujuran ini akhirnya menukik tajam pada tahun 1997, dengan tidak adanya lagi keajaiban yang menolongnya ketika terjadi krisis ekonomi di Asia. Langkah sabar dan menunggu saat tepat yang biasa dilakukan selama ini dan berhasil, kali ini tidak menemukan momentumnya. Soeharto kalah oleh kecepatan jaman yang sudah melampaui prediksi hati-hatinya.
Pada 1996 Soeharto ditahbiskan sebagai orang terkuat di Asia. Tiga tahun kemudian orang yang sama keluar dari RSPP dengan wajah kuyu serta tubuh yang ditopang kursi roda. Kebijakan-kebijakannya yang semula sangat diagungkan—konon ada angket dari tabloid monitor yang menempatkan Soeharto sebagai tokoh yang paling dikenal sementara Nabi Muhammad hanya menempati urutan ke-11—pada tahun 1999 menjadi kebijakan yang paling dicaci.
Namun, dibalik hal-hal yang dianggap jelek tersebut, prestasi ekonominya tidak boleh dipandang sebelah mata. Prestasi ekonomi ini bahkan belum pernah disamai oleh Indonesia semenjak jaman kolonial tahun 1920 hingga saat ini. Bahkan diantara pekatnya lumpur pun masih ada permata ang bisa dicari. Hendaknya, ada langkah-langkah Soeharto yang dicontoh oleh pemimpin saat ini atau berikutnya. Akhirnya selamat jalan Jenderal Mujur.
Foto:
mojok.co